Warga Korea Selatan (Korsel) menonton tayangan
peluncuran proyektil Korea Utara (Korut) dalam program berita di Seoul
Railway Station di Seoul, Korsel, Sabtu (4/5).
Foto: AP Photo/Ahn Young-joon
Korut menembakkan dua rudal jarak pendek pada Kamis pekan lalu.
CB,
BEIJING -- Diplomat tinggi pemerintah Cina mengatakan masih ada
kemungkinan memecahkan masalah nuklir Korea Utara (Korut) melalui dialog
internasional. Pernyataan ini diungkapkan setelah Pyongyang melepaskan
dua tembakan rudal jarak pendek.
Korut menembakkan dua rudal jarak pendek pada Kamis pekan lalu. Hal
itu menjadi uji coba kedua semacam ini dalam waktu kurang dari satu
pekan.
Dalam perjalanannya menuju Rusia, Penasihat Negara
Cina Wang Yi mengatakan proses resolusi sudah buntu. Menurutnya, sejak
pertemuan AS-Korut di Hanoi pada Februari gagal, ketidakpastian terus
meningkat.
"Tapi kami melihat dari sisi Korut masih
menahan tujuan dasar untuk mencapai denuklirisasi semenanjung (Korea),
dan dari sisi AS belum mengabaikan pemikiran dasar untuk menyesaikan isu
ini melalui dialog," kata Wang dalam pernyataan Kementerian Luar Negeri
Cina, Selasa (14/5).
Wang yakin proses denuklirisasi
Semenanjung Korea belum keluar jalur. "Dan tetap dalam kerangka kerja
untuk resolusi politik," katanya.
Ia menambahkan
kebuntuan terjadi karena kedua belah pihak belum menemukan peta jalan
yang layak dan realistis untuk membuat resolusi. Sebelumnya, Presiden
Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan ia tidak melihat uji coba
rudal Korut telah 'melanggar kepercayaan'.
Menteri
Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov mengatakan, Iran memiliki hak untuk
menangguhkan sebagian komitmennya di bawah kesepakatan nuklir.
Foto/Reuters
MOSKOW
- Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov mengatakan, Iran memiliki
hak untuk menangguhkan sebagian komitmennya di bawah Rencana Aksi
Komprehensif Bersama (JCPOA), atau yang lebih dikenal dengan nama
kesepakatan nuklir.
Berbicara saat melakukan pernyataan bersama
dengan Menteri Luar Negeri China, Wang Yi di Moskow, Lavrov mengatakan,
Beijing dan Moskow yakin bahwa penting untuk mempertahankan perjanjian
itu.
Lavrov kemudian mengatakan, dia dan Wang Yi juga telah
menyetujui bahwa sanksi sepihak Washington terhadap Iran tidak sah dan
bertujuan untuk menghentikan ekspor minyak dari negara tersebut.
"Kami
juga mencatat bahwa Iran tetap berkomitmen pada JCPOA, tetapi
mengharapkan hal yang sama dari rekan-rekan Eropa kami, yang juga harus
melaksanakan bagian mereka dari perjanjian itu," ucap Lavrov, seperti
dilansir Sputnik pada Senin (13/5).
Diplomat senior Rusia itu
kemudian menyatakan harapan untuk melakukan pembicaraan "jujur" dengan
Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo tentang masalah ini. Keduanya
dijadwalkan melakukan pertemuan di Sochi, hari ini.
Pernyataan
Lavrov datang beberapa hari setelah Presiden Iran, Hassan Rouhani
mengatakan bahwa ia telah memberi tahu para penandatangan kesepakatan
itu, yakni Prancis, Rusia, China, Inggris dan Jerman bahwa mereka akan
menangguhkan sebagian dari komitmen dalam kesepakatan yang diteken tahun
2015 lalu.
Washington (CB) - Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres
berharap kesepakatan nuklir Iran dapat diselamatkan, kata juru bicaranya
pada Rabu (8/5), setelah Teheran mengancam akan keluar dari kesepakatan
2015 tersebut.
"Sekretaris Jenderal terus kembali menyatakan bahwa Rencana Aksi
Gabungan Menyeluruh (JCPOA) merupakan prestasi besar dalam
anti-penyebaran nuklir dan diplomasi dan telah memberi sumbangan bagi
ekamanan serta perdamaian regional dan internasional," kata Farhan Haq
dalam satu taklimat.
Kesepakatan bersejarah itu antara Iran kelompok negara P5+1 -- kelima
anggota tetap Dewan Keamanan PBB ditambah Jerman-- memberlakukan
pengekangan ketat atas program nuklir Iran sebagai imbalan bagi
pencabutan sanksi lama AS.
Presiden Iran Hassan Rouhani pada Rabu mengancam akan keluar dari
kesepakatan tersebut dalam waktu 60 hari jika kepentingan Teheran tidak
dilindungi.
Iran juga bersiap melanjutkan kegiatan pengayaan uraniumnya kapan saja
diperlukan, kata Kepala Badan Tenaga Atom Iran Ali Akbar Salehi.
"(Guterres) sangat berharap bahwa Rencana Aksi Gabungan Menyeluruh dapat
dipelihara," kata Haq, sebagaimana dikutip Kantor Berita Turki, Anadolu
--yang dipantau Antara di Jakarta, Kamis pagi.
Tahun lalu, Presiden AS Donald Trump membawa Washington ke luar dari
kesepakatan nuklir itu, dan apa yang mengikuti adalah kegiatan "tekanan
maksimal", yaitu pemerintah Trump menjatuhkan kembali sanksi ekonomi
atas sektor energi dan perbankan Iran. Washington juga mengakhiri
keringanan sanksi buat negara yang membeli minyak Iran.
PM Israel, Benjamin Netanyahu, bersumpah tidak
akan membiarkan Iran memperoleh senjata nuklir setelah Hassan Rouhani
mengancam akan memperkaya uranium lagi. (Sebastian Scheiner/Pool)
Jakarta, CB -- Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, bersumpah tidak akan membiarkan dan mengizinkan Iran memperoleh senjata nuklir lagi.
"Pagi
ini dalam perjalanan, saya mendengar bahwa Iran bermaksud melanjutkan
program nuklirnya lagi. Kami tidak akan mengizinkan Iran memperoleh
senjata nuklir," ucap Netanyahu, Rabu (8/5).
Pernyataan itu diutarakan Netanyahu menyusul sikap Iran yang mengancam
melanjutkan pengayaan uranium jika pihak-pihak penandatangan kesepakatan
nuklir 2015 tak membela Teheran dari sanksi Amerika Serikat.
Melalui
pidato di stasiun televisi nasional, Presiden Iran Hassan Rouhani
melontarkan langsung ancaman tersebut kepada negara-negara yang
menandatangani kesepakatan nuklir JCPOA, yakni Inggris, Prancis, Jerman,
China, dan Rusia.
Rouhani memberikan waktu 60 hari bagi
kelima negara tersebut untuk berjanji melindungi sektor minyak dan
perbankan Iran di tengah sanksi AS.
Netanyahu sendiri telah menjadi penentang keras perjanjian nuklir yang disepakati era Presiden Barack Obama tersebut.
Dilansir AFP,
ia bahkan sangat mendukung keputusan Presiden Donald Trump menarik
Amerika keluar dari perjanjian itu dan menerapkan kembali sanksi
terhadap Iran.
Israel merupakan musuh bebuyutan Iran dan selama
ini dianggap sebagai negara dengan kapabilitas militer terdepan di Timur
Tengah. Negara Zionis itu juga disebut-sebut sebagai satu-satunya yang
memiliki senjata nuklir di kawasan.
Di
sisi lain, Iran juga tidak mengakui kedaulatan Israel sebagai negara.
Penentangan terhadap pembentukan negara Yahudi telah lama menjadi
prinsip utama kebijakan resmi Iran pasca-revolusi.
Iran telah menjadi pendukung setia Palestina dan kelompok-kelompok anti-Israel lainnya, termasuk Hamas dan Hizbullah di Libanon.
Prancis menyerukan Iran untuk tetap memegang komitmen kesepakatan nuklir 2015. Foto/Istimewa
PARIS
- Prancis meminta Iran untuk menghormati semua komitmennya setelah
Teheran mengumumkan pihaknya akan melonggarkan beberapa pembatasan
terhadap program nuklirnya. Paris memperingatkan terhadap tindakan apa
pun yang akan mengarah pada eskalasi.
Iran mengumumkan
langkah-langkah untuk menghentikan pelanggaran terhadap kesepakatan 2015
dengan kekuatan dunia, namun Teheran mengancam akan ada tindakan lebih
lanjut jika negara-negara kekuatan dunia tidak melindunginya dari sanksi
Amerika Serikat (AS).
“Perancis memperhatikan pernyataan ini
dengan prihatin. Prancis berkomitmen untuk memastikan bahwa perjanjian
ini, kunci untuk rezim non-proliferasi internasional dan keamanan
internasional, sepenuhnya dilaksanakan,” kata wakil juru bicara
Kementerian Luar Negeri Prancis Olivier Gauvin dalam sebuah pernyataan.
"Adalah
penting untuk menghindari tindakan apa pun yang akan menghalangi
pelaksanaan kewajiban mereka oleh para pihak yang sekarang terlibat
dalam perjanjian atau yang akan memicu eskalasi," imbuhnya.
"Prancis
bertekad untuk memastikan bahwa perjanjian itu sepenuhnya dilaksanakan
dan bahwa saluran keuangan dan ekspor Iran tetap terbuka," tukasnya
seperti dilansir dari Reuters, Kamis (9/5/2019).
Gauvin
mengatakan Prancis berhubungan erat dengan pihak-pihak yang tersisa dari
perjanjian tersebut, terutama Eropa, untuk meninjau kembali pernyataan
Iran.
Amerika
Serikat mengatakan belum selesai menjatuhkan sanksi terhadap Iran dan
merencanakan lebih "segera". AS memperingatkan Eropa agar tidak
melakukan bisnis dengan Teheran melalui sistem perdagangan non-dolar
untuk menghindari sanksi AS.
Terbaru, AS menjatuhkan sanksi
terhadap Iran. Sanksi itu menyasar sektor baja, alumunium, tembaga dan
besi Iran yang bernilai sekitar 10 persen dari ekonomi negara itu.
Iran tidak lagi akan mematuhi beberapa "komitmen sukarela" perjanjian nuklir.
Pemerintah
Iran hari Rabu (8/5) menyatakan telah memberi tahu para penandatangan
Perjanjian Nuklir 2015 bahwa pihaknya tidak lagi akan mematuhi beberapa
"komitmen sukarela" yang tertera dalam perjanjian itu. Presiden Iran
Hassan Rouhani dalam pidato yang disiarkan televisi, mengatakan, Iran
akan melanjutkan program pengayaan uranium jika pihak-pihak lain tidak
menepati janji mereka.
Para penandatangan
Kesepakatan Nuklir 2015 adalah Iran, Jerman, Inggris, Prancis, Cina dan
Rusia. Iran mengatakan para pihak itu memiliki waktu 60 hari untuk
melaksanakan janji-janji mereka untuk melindungi sektor minyak dan
perbankan Iran. Jika tidak, Iran akan memulai lagi program pengayaan
uraniumnya.
Kementerian Luar Negeri Iran mengumumkan, keputusan itu telah
dikomunikasikan kepada para kepala negara pihak penandatangan. Iran
menjelaskan bahwa tindakan itu diambil karena Uni Eropa dan pihak-pihak
lain ternyata "tidak memiliki kekuatan untuk melawan tekanan AS."
Pernyataan
Iran itu dikeluarkan setelah AS mengumumkan mengirim beberapa kapal
perangnya ke Timur Tengah sebagai peringatan terhadap Teheran.
Prancis ancam berlakukan lagi sanksi terhadap Iran
Prancis
bereaksi terhadap pengumuman dari Teheran dan mengatakan, akan
menetapkan lagi beberapa sanksi, jika Iran benar-benar melanggar
kewajibannya yang disepakati tahun 2015.
"Kami
mengirim pesan ke Teheran untuk mengatakan bahwa kami bertekad untuk
mengimplementasikan perjanjian itu, bahwa kami benar-benar ingin mereka
tetap dalam perjanjian ini meskipun kami mempertimbangkan kompleksitas
situasi dan menyampaikan pesan yang sama kepada sekutu kami Amerika,"
kata sebuah sumber di kantor kepresidenan Prancis.
Pejabat
Prancis itu mengatakan, ada mekanisme penyelesaian perselisihan dalam
masalah ini melalui pemeriksaan. Dia juga menambahkan, bahwa sanksi
Dewan Keamanan PBB terhadap Iran dapat diberlakukan kembali jika perlu.
Apa latar belakangnya?
AS
sebelumnya mengumumkan telah mengirim kapal induk USS Lincoln bersama
gugus tugas pembom ke Timur Tengah untuk menghadapi "ancaman kredibel
dari pasukan rezim Iran." Washington mengatakan, langkah itu dimaksudkan
sebagai pesan yang jelas dan tegas terhadap Teheran.
AS
telah meningkatkan sanksi terhadap Iran dalam beberapa bulan terakhir,
dan memasukkan Garda Pengawal Revolusi Iran dalam daftar kelompok
teroris.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo hari
Selasa (7/5) melakukan kunjungan mendadak ke Irak untuk membahas situasi
di negara itu. Dia menjelaskan, "AS khawatir dengan situasi keamanan di
Irak di tengah meningkatnya aktivitas Iran."
Kesepakatan
Nuklir 2015, yang awalnya juga ditandatangani AS, menjanjikan
pencabuitan sanksi terhadap Iran sebagai imbalan jika Teheran membatasi
program nuklirnya. Namun setelah terpilih menjadi presiden, Donald Trump
menyatakan AS menarik diri secara sepihak dari kesepakatan itu dan
memulihkan sanksi-sanksi ekonomi terhadap Iran yang sebelumnya sudah
dicabut.
Trump mengatakan kesepakatan yang dicapai
presiden AS sebelumnya, Barack Obama itu adalah perjanjian yang buruk
dan merugikan kepentingan AS dan harus dinegosiasi ulang.
Presiden Iran, Hasan Rouhani, melontarkan
langsung ancaman tersebut kepada negara-negara yang menandatangani
kesepakatan nuklir JCPOA. (Reuters/Danish)
Jakarta, CB -- Iran mengancam
bakal melanjutkan pengayaan uranium jika pihak-pihak penandatangan
kesepakatan nuklir pada 2015 lalu tak membela negara tersebut dari dera
sanksi Amerika Serikat.
Melalui
pidato di stasiun televisi nasional, Presiden Iran, Hasan Rouhani,
melontarkan langsung ancaman tersebut kepada negara-negara yang
menandatangani kesepakatan nuklir JCPOA itu, yakni Inggris, Prancis,
Jerman, China, dan Rusia.
Rouhani memberikan waktu 60 hari bagi kelima negara tersebut untuk
berjanji melindungi sektor minyak dan perbankan Iran di tengah sanksi
AS.
"Jika kelima negara tersebut datang ke meja perundingan dan
kami mencapai kesepakatan itu, dan jika mereka dapat melindungi
kepentingan sektor minyak dan perbankan kami, kami akan tetap
melanjutkan komitmen," ujar Rouhani.
Ia kemudian kembali
mengancam akan memberikan respons keras jika isu ini kembali dibawa ke
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Rouhani menyatakan Iran tetap
siap untuk bernegosiasi.
"Rakyat Iran dan dunai harus tahu bahwa
hari ini bukan akhir dari JCPOA. Semua tindakan ini sesuai dengan
JCPOA," tutur Rouhani sebagaimana dikutip Reuters.
Perjanjian yang diteken pada 2015 lalu itu menyepakati bahwa negara Barat akan mencabut serangkaian sanksi terhadap Teheran.
Sebagai balasan, Iran harus menyetop segala bentuk pengembangan senjata rudal dan nuklirnya, termasuk pengayaan uranium.
Namun, AS menarik diri secara sepihak dari perjanjian nuklir itu pada Mei 2018 lalu dan kembali menerapkan sanksi atas Iran.
Sebuah
rudal balistik antarbenua berhulu ledak nuklir yang disimpan di
Malmstrom Air Force Base, Montana, Amerika Serikat. Foto/USAF/Airman
John Parie /Handout Via REUTERS
WASHINGTON
- Departemen Energi Amerika Serikat (AS) pernah secara resmi menolak
permintaan informasi tentang jumlah persediaan senjata nuklir yang
diajukan oleh Federasi Ilmuwan Amerika. Penolakan itu merupakan yang
pertama kali sejak hampir satu dekade.
Para ilmuwan telah mendapat akses untuk menghitung stok senjata nuklir Amerika Serikat. Dalam laporan di Bulletin of the Atomic Scientists
terungkap bahwa negara itu total memiliki 6.185 hulu ledak nuklir yang
disimpan di 24 lokasi di 11 negara bagian AS, serta lima negara Eropa.
Laporan
stok senjata berbahaya Amerika itu ditulis Hans M. Kristensen, direktur
Proyek Informasi Nuklir di Federasi Ilmuwan Amerika, dan rekannya dalam
proyek tersebut, Matt Korda. Laporan yang mereka tulis berjudul "United States nuclear forces, 2019" dan dirilis pada 29 April lalu.
Dari
penghitungan para ilmuwan tersebut, Departemen Pertahanan Amerika
Serikat mempertahankan cadangan hampir 3.800 hulu ledak nuklir. Sebagian
besar hulu ledak itu tidak dikerahkan, termasuk 2.385 hulu ledak yang
menunggu untuk pembongkaran.
Sedangkan yang dikerahkan sebanyak
1.750 hulu ledak. Yakni, sekitar 1.300 hulu ledak dipasang pada
rudal-rudal balistik, 300 hulu ledak ditempatkan di pangkalan pesawat
pembom strategis di Amerika Serikat, dengan 150 hulu ledak menjadi
senjata taktis dan sisanya dikerahkan di pangkalan-pangkalan militer di
Eropa.
Ketika Pentagon menolak merilis stok senjata nuklir AS
pada bulan lalu, para ilmuwan mengecamnya. Keputusan Pentagon bulan lalu
tersebut dinilai menciptakan ketidakpastian dan ketidakpercaya publik
tentang jumlah arsenal nuklir AS.
Pemerintahan Presiden Donald Trump pada awal tahun ini memutuskan untuk keluar dari Intermediate Range Nuclear Forces (INF) Treaty, perjanjian yang dibuat tahun 1978 untuk mencegah perang nuklir AS dan Rusia (saat itu masih bernama Uni Soviet).
Tak
hanya Perjanjian INF 1978, Moskow juga telah menyatakan keprihatinannya
soal nasib perjanjian New Start yang berada dalam bahwa jika tak ada
pembaruan sampai umur perjanjian akan berkahir pada 2021.
Bulletin of the Atomic Scientists
juga menyuarakan keprihatinan yang sama atas masa depan Perjanjian New
START. "Pemerintahan Trump belum mengindikasikan apakah akan berusaha
untuk memperpanjang perjanjian (atau tidak)...mengingat penasihat
Keamanan Nasional AS John Bolton meremehkan perjanjian pengendalian
senjata itu, prospek untuk ekstensi tampak agak suram," bunyi laporan
buletin tersebut, yang dikutip Kamis (2/5/2019).
Menurut
data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), Rusia
dan AS terus mempertahankan cadangan nuklir terbesar di dunia.
Masing-masing memiliki 6.850 dan 6.450 hulu ledak nuklir.
SIPRI
melanjutkan, Prancis, China, Inggris, Pakistan, India, Israel dan Korea
Utara memiliki persenjataan yang lebih kecil, masing-masing dengan 300,
280, 215, 140-150, 130-140, 80 dan 10-20 nuklir.
Pesawat pembom jarak jauh Tu-160 Rusia yang memiliki kemampuan menjatuhkan bom nuklir. Foto/REUTERS/Grigory Dukor/File Photo
WASHINGTON
- Rusia dituduh secara diam-diam telah memasang rudal berhulu ledak
nuklir di Venezuela. Tuduhan senasional ini muncul dari anggota Kongres
Amerika Serikat (AS) Mario Diaz-Balart.
Klaim politisi partai
Republik itu menggemakan kembali Krisis Rudal Kuba. Menurutnya, senjata
nuklir rezim Vladimir Putin sekarang menjadi ancaman langsung terhadap
keamanan nasional Amerika Serikat.
Dia membuat tuduhan tersebut
beberapa jam setelah Venezuela di ambang perang saudara ketika pemimpin
oposisi Juan Guaido menyerukan militer bergabung dengannya untuk
menggulingkan Presiden Nicolas Maduro.
Diaz-Balart mengatakan kepada Fox News
jika Maduro tetap berkuasa, itu bisa menjadi pintu terbuka bagi Rusia,
China dan pihak lain untuk meningkatkan aktivitas mereka terhadap
kepentingan keamanan nasional AS.
Jurnalis Fox News, Tucker Carlson, kemudian bertanya; "Apakah Anda bersugesti mereka akan menyerang?"
"Yang paling dekat dengan perang nuklir adalah karena Rusia menempatkan rudal, benar, rudal nuklir di Kuba," jawab Diaz-Balart.
"Apakah Anda mengatakan Rusia akan menempatkan rudal nuklir di Venezuela?," tanya Carlson lagi.
"Sugesti saya adalah mereka sudah ada di sana," jawab Diaz-Balart, tanpa menawarkan bukti untuk mendukung klaimnya.
Dukungan
Putin yang sangat terbuka kepada Presiden Maduro telah lama
dibandingkan dengan krisis tahun 1962 yang dipicu oleh pemasangan
rudal-rudal nuklir Soviet di Kuba.
Klaim Diaz-Balart juga muncul
setelah Rusia mendaratkan dua pesawat pembom nuklir di Venezuela sebagai
bentuk penolakan terhadap kebijakan Presiden AS Donald Trump terhadap
negara Amerika Selatan tersebut.
Dua
pesawat pembom Tu-160 Rusia mendarat di Caracas pada bulan Desember
ketika Putin secara terbuka mengumbar dukungannya kepada presiden
sosialis Venzuela. Kedatangan kedua pesawat pembom Rusia di tanah
Venezuela hanya berselang seminggu setelah Maduro yang hendak
digulingkan oposisi melakukan perjalanan ke Moskow untuk bertemu dengan
Putin.
Para pengamat internasional menduga hubungan Putin dan Maduro didasarkan pada keuangan ketimbang persahabatan. Mengutip laporan The Sun,
Kremlin memiliki dana senilai 13 miliar poundsterling yang dipinjamkan
untuk menopang kekuasaan Maduro. Uang Rusia itu bisa hilang jika Maduro
dilengserkan dari kekuasaan.
Pemerintah Rusia maupun Venezuela belum berkomentar atas tuduhan politisi AS tersebut.
Senjata nuklir dimiliki sejumlah negara besar dengan total kepemilikan hulu ledak mencapai sekitar 15.000 hulu ledak. Armscontrol.org CB, Jakarta - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump,
melontarkan ide perlunya perjanjian internasinal untuk mengontrol
produksi berbagai senjata termasuk senjata nuklir dan rudal. Dia menilai
AS, Rusia, Cina dan sejumlah negara besar lain menghabiskan uang
terlalu banyak untuk memproduksi senjata pemusnah massal ini.
“Akan lebih baik jika dana itu digunakan untuk kepentingan lain,” kata Trump seperti dilansir Reuters beberapa waktu lalu.
Situs armscontrol.org melansir jumlah hulu ledak nuklir, yang
dipasang pada kepala rudal balistik, mencapai sekitar 15 ribu buah pada
2018. Berikut beberapa poin menarik soal senjata nuklir global saat
ini:
Dua Teratas
--- Rusia dan AS menempati urutan teratas sebagai negara pemilik
senjata nuklir dengan masing-masing 6.850 dan 6.550 hulu ledak. Dari
jumlah itu, Rusia telah menonaktifkan sebanyak 2.500 hulu ledak.
Sedangkan AS telah menonaktifkan seanyak 2.550 hulu ledak.
Negara Nuklir lain
--- Prancis, Cina, dan Inggris memiliki masing-masing 300, 280 dan 215
hulu ledak. Pakistan, India, Israel dan Korea Utara, masing-masing,
memiliki 145, 135, 80 dan 15 hulu ledak.
Teknologi
--- Teknologi senjata nuklir ini awalnya dikuasai oleh AS. Namun
kemudian menyebar dengan cepat. AS sempat menjatuhkan dua bom atom di
Kota Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945. Uni Sovyet menggelar uji
coba pertama bom nuklir 1949. Inggris melakukannya pada 1952, dan
Prancis pada 1960. Cina mengikuti melakukan uji coba ini pada 1964.
NPT --- Pada 1964, AS dan sejumlah negara mencoba mencegah penyebaran teknologi nuklir ini dengan Nonproliferation Treaty. Ini diikuti dengan pelarangan total uji coba senjata nuklir pada 1996 yang disebut Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty.
Korea Utara menarik diri dari NPT ini pada Januari 2003 dan melanjutkan
uji coba bom nuklir. Sedangkan India, Israel dan Pakistan tidak pernah
menandatangani NPT.
Iran menyebut tengah mempertimbangkan opsi keluar dari Kesepakatan Nuklir 2015.
CB,
TEHERAN -- Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif mengatakan
keluar dari kesepakatan nuklir 2015 menjadi salah satu opsi dalam
mengatasi sanksi ekonomi yang dijatuhkan Amerika Serikat (AS).
Kesepakatan nuklir 2015 dirancang agar Iran tidak menyalahgunakan
teknologi nuklir yang mereka miliki.
Ketegangan antara Washington dan Teheran semakin memanas setelah
Presiden AS Donald Trump menarik negaranya dari kesepakatan tahun 2015
lalu. Trump kemudian memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap
negara Timur Tengah itu.
Pada awal bulan ini, AS
memasukkan Garda Revolusi Iran ke dalam daftar kelompok teroris. Mereka
juga mencabut keringanan beberapa importir minyak Iran sehingga
negara-negara yang sebelumnya masih diperbolehkan membeli minyak Iran
tidak bisa lagi mendapatkan pasokan minyak dari negara itu sejak awal
Mei mendatang atau mereka akan mendapatkan sanksi.
"Republik
Islam (Iran) memiliki banyak pilihan dan pihak berwenangan negara ini
mempertimbangkannya, dan meninggalkan Perjanjian Nonproliferasi Nuklir
(NPT) menjadi salah satu di antaranya," kata Zarif di situs stasiun
televisi IRIB, Ahad (28/4).
Sebelumnya, Iran juga
pernah mengancam akan meninggalkan NPT. Ketika itu, Trump menarik AS
dari kesepakatan tahun 2015 yang ditandatangani enam kekuatan dunia,
yakni AS, Rusia, Cina, Jerman, Inggris dan Prancis.
Iran
juga mengancam akan menarik diri dari kesepakatan tahun 2015 kecuali
jika negara-negara besar Eropa dapat memastikan Iran mendapatkan manfaat
ekonomi dari kesepakatan itu. Eropa mengatakan mereka akan membantu
perusahaan-perusahaan untuk berbisnis dengan Iran dengan syarat Iran
tetap mematuhi kesepakatan perjanjian nuklir tahun 2015.
Tapi
Iran mengkritik upaya lambat Eropa dalam menciptakan mekanime
pembayaran baru yang menjadi solusi untuk perdagangan Eropa-Iran.
"Eropa
punya waktu satu tahun tapi sayangnya mereka sama sekali tidak
melakukan langkah yang praktis, harapan kami kepada mereka untuk
menunjukannya tidak terlihat, dan saya pikir mereka tidak punya waktu
lagi," kata Zarif kepada IRIB.
MPCV (Multi-Purpose Combat Vehicle)
berbasis Sherpa dengan sistem senjata peluncur peluru kendali
darat-udara anti serangan udara jarak pendek Mistral (Rheinmetal/MBDA)
yang dapat dioperasikan dimana saja. Ini merupakan kendaraan tempur
pengadaan paling baru di lingkungan Angkatan Darat. (ANTARA
Photo/Reuter)
"Pertama, apa yang sudah ada (melalui perjanjian kendali senjata) perlu dihormati," kata Ushakov.
Moskow
(CB) - Pembantu Kremlin Yuri Ushakov, yang memberikan komentar
mengenai laporan media bahwa Presiden Amerika Serikat Donald Trump
menginginkan perjanjian kendali senjata yang baru dengan Moskow dan
Beijing, mengatakan Rusia terbuka bagi kemungkinan pembuatan perjanjian
senjata yang baru, tetapi sejauh ini belum ada pembicaraan mengenai hal
itu.
Dengan mengutip sejumlah pejabat pemerintah, harian The Washington Post
melaporkan pada Kamis bahwa Trump telah memerintahkan pemerintahannya
untuk menyiapkan dorongan bagi pembuatan perjanjian senjata baru dengan
Rusia dan China karena alasan peningkatan biaya dari perlombaan senjata
nuklir abad ke-21.
Ushakov, dalam keterangannya kepada TV negara Rusia yang disiarkan pada
Ahad, mengatakan Moskow siap mengadakan pembicaraan mengenai perihal
tersebut.
"Pertama, apa yang sudah ada (melalui perjanjian kendali senjata) perlu
dihormati," kata Ushakov. "Kami juga siap untuk membicarakan
perjanjian-perjanjian yang baru, tetapi diperlukan perundingan yang
serius dan sayangnya belum ada pihak yang memulai."
Kata-kata Ushakov lebih menunjukkan optimisme daripada apa yang
disampaikan seorang juru bicara Kremlin yang pada Sabtu menepis proposal
Trump mengenai perlucutan senjata nuklir "tak serius."
Hubungan antara Moskow dan Washington terganggu dan kedua negara telah
menyatakan mereka meninggalkan Perjanjian Senjata Nuklir (INF) jangkauan
menengah, menimbulkan ketakutan akan perlombaan senjata yang lebih
besar.
BEIJING
- Usulan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengenai perlucutan
senjata nuklir tidak serius. Hal itu dikatakan oleh seorang juru bicara
Kremlin.
Sebelumnya Trump memerintahkan pemerintahannya untuk
mempersiapkan dorongan bagi perjanjian kontrol senjata baru dengan Rusia
dan China dengan mengutip biaya perlombaan senjata nuklir abad ke-21.
Demikian laporan yang diturunkan The Washington Post mengutip para
pejabat pemerintahan.
"Akan ideal untuk membersihkan seluruh
dunia dari senjata nuklir ... tetapi di sisi lain kita akan dicabut dari
faktor pencegah," ujar Dmitry Peskov di sela-sela pertemuan puncak
tentang rencana Jalur Sutra Baru China.
"Jangan lupa tentang faktor pencegah, tentang paritas pencegah," imbuhnya seperti dikutip dari Reuters, Sabtu (27/4/2019).
Peskov
juga mengatakan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi
Jinping mengadakan pembicaraan penting dan bertukar pandangan tentang
Suriah, Venezuela dan Libya ketika mereka bertemu pada hari Jumat
kemarin.
Sebelumnya Washington telah mengumumkan bahwa mereka
akan memulai proses penarikan dari Perjanjian INF 1987 pada 2 Februari
2019. Menurut Washington Moskow telah gagal memberikan bukti bahwa
mereka menghentikan pelanggaran tersebut.
Perjanjian INF atau
perjanjian Kekuatan Nuklir Jarak Menengah adalah perjanjian yang
ditandatangani oleh Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet pada 1987 lalu.
Donald Trump tidak acuh saat melewati Vladimir Putin saat sesi foto KTT G20 di Argentina.[REUTERS]
CB, Washington – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, sedang menggodok kesepakatan nuklir besar dengan Rusia dan Cina.
Ini
karena kesepakatan nuklir yang ada saat ini yaitu START Treaty bakal
berakhir pada 2021. Pada saat yang sama Trump juga sedang mengupayakan
denuklirisasi Semenanjung Korea.
“Presiden telah menyatakan
dengan jelas bahwa dia berpikir perjanjian kontrol senjata harus
melibatkan Rusia dan Cina. Ini harus meliputi semua jenis senjata, semua
hulu ledak nuklir, semua jenis rudal,” kata seorang pejabat senior
Gedung Putih seperti dilansir CNN pada Jumat, 26 April 2019.
Pejabat
ini melanjutkan,”Kami memiliki ambisi bisa memberikan sejumlah opsi
kepada Presiden secepatnya sehingga dia memiliki waktu luang di kalendar
yang memadai.”
Menurut pejabat senior ini,”Hal ini tidak pernah
dikerjakan oleh pemerintahan sebelumnya. Tapi, saya juga berargumentasi
tidak ada pemerintahan AS sebelumnya yang mencoba apa yang Trump lakukan
terhadap Korea Utara, misalnya.”
Seorang pengamat kontrol senjata mengatakan Trump melibatkan Cina karena memiliki tujuan tertentu.
“Satu-satunya
alasan Anda melibatkan Cina adalah jika Anda tidak berniat untuk
memperpanjang New START Treaty,” kata Alexandra Bell, seorang direktur
senior bidang kebijakan pada Pusat Kontrol Senjata dan Non-Proliferasi.
Soal
ini, Menlu AS, Mike Pompeo, mengatakan perjanjian baru ini untuk
menggantikan perjanjian lama di era baru dan untuk meningkatkan keamanan
global.
“Jika kita bisa membuat kesepakatan yangbenar, jika kita
bisa membuat perjanjian yang cocok untuk 2021 dan seterusnya, Presiden
Trump telah menyatakan dengan jelas bahwa jika kita bisa mendapatkan
perjanjian kontrol senjatan yang kokoh maka kita harus membuatnya,” kata
Pompeo kepada Kongres AS pada April 2019.
Pompeo
mengatakan perjanjian nuklir baru ini juga harus melibatkan
negara-negara lain selain Rusia dan Cina. Saat ini, pemerintah AS sedang
menggelar pembicaraan sangat awal dengan sejumlah negara soal ini.
Sumber CNN
melansir,”Presiden ingin semua senjata itu dikontrol. Kita harus
menghilangkan sebanyak mungkin senjata-senjata itu. Kita harus mencoba
menghilangkan kelompok senjata.”
Rudal
balistik jarak menengah DF-26 dapat membawa hulu ledak konvensional dan
nuklir. Spesifikasi rudal balistik Cina ini belum banyak diketahui,
tapi diyakini bahwa rudal ini mampu membawa hulu ledak konvensional
seberat 1.200-1.800 kg. Dong Feng 26 memiliki akurasi yang bagus, yaitu
di bawah 100 meter. zainkhan.org
Media Foreign Policy
melansir Partai Demokrat di Kongres mengkritik kebijakan pemerintah AS
yang justru dinilai meningkatkan perlombaan senjata.
Dalam
peringatan 40 tahun hubungan diplomatik AS dan Cina, Trump mengatakan
ada banyak hal yang bisa dikerjakan kedua negara termasuk Rusia.
“Antara Rusia,
Cina, dan kita, kita semua membuat ratusan miliar dolar senjata
termasuk senjata nuklir, yang sebenarnya konyol,” kata Trump seperti
dilansir media South China Morning Post. Menurut Trump, hubungan semua negara akan menjadi lebih baik jika tidak membuat berbagai senjata ini.
Gambar satelit yang dipublikasi sebuah lembaga kajian dari
Amerika Serikat memperlihatkan adanya aktivitas di pusat nuklir Korea
Utara. Sumber: Reuters
CB, Jakarta - Sejumlah
gambar satelit yang dipublikasi sebuah lembaga kajian dari Amerika
Serikat memperlihatkan adanya aktivitas di pusat nuklir Korea Utara. Aktivitas itu kemungkinan bisa dikaitkan dengan pemprosesan ulang bahan-bahan radioaktif untuk menjadi bahan bakar bom.
Dikutip
dari reuters.com, Rabu, 17 Maret 2019, aktivitas baru di pusat nuklir
Korea Utara ini menjadi bukti kegagalan pertemuan kedua antara Presiden
Amerika Serikat Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di
kota Hanoi, Vietnam, pada akhir Februari lalu. Pertemuan itu ditujukan
untuk mencetak kemajuan dalam upaya denuklirisasi Korea Utara.
Foto
satelit itu dipublikasi oleh lembaga kajian Pusat Strategi dan Studi
Internasional yang bermakas di Washington, Amerika Serikat.
Gambar-gambar itu diambil mulai pada 12 April 2019 di area uji coba
nuklir Yongbyon, Korea Utara. Dari foto-foto itu, terlihat sejumlah
kendaraan berada dekat fasilitas pengayaan uranium dan labolatorium
radiokimia. Aktivitas pergerakan disana bisa mengindikasikan adanya
transfer bahan-bahan radioaktif.
"Di masa lalu, kendaraan pengangkut semacam ini muncul terkait
pergerakan bahan-bahan radioaktif atau pemprosesan ulang. Aktivitas yang
ditemukan saat ini sejalan dengan konfigurasi mereka tanpa
mengesampingkan kemungkinan aktivitas seperti yang dilakukan
sebelumnya," tulis Pusat Strategi dan Studi Internasional dalam
laporannya.
Kementerian
Luar Negeri Amerika Serikat menolak berkomentar atas laporan ini. Namun
sebuah sumber mengatakan tim ahli Amerika Serikat telah menduga
aktivitas di pusat nuklir Yongbyon itu terkait dengan pemprosesan, namun
mereka masih belum bisa meyakinkan adanya peningkatan aktivitas nuklir.
Jenny Town, ahli dari masalah Korea Utara dari lembaga kajian
Pusat Stimson, mengatakan jika pemprosesan ulang telah dilakukan, maka
hal ini akan menjadi pukulan telak terhadap dialog Amerika Serikat - Korea Utara dalam setahun terakhir dan menjadi kegagalan dalam mencapai sebuah kesepakatan kedua negara terkait masa depan Yongbyon.
CB, Washington - Menteri Energi Amerika Serikat, Rick Perry, mengatakan pemerintah Arab Saudi
kemungkinan bakal bekerja sama dengan Rusia atau Cina untuk
mengembangkan industri energi nuklir. Ini akan terjadi jika AS tidak
bekerja sama dengan Saudi.
“Bisa saya yakinkan Anda bahwa dua negara itu tidak peduli sedikitpun mengenai non-proliferasi,” kata Perry seperti dilansir CNN pada Ahad, 7 April 2019.
Perry melanjutkan,”Itu sebabnya kami bekerja dengan hati-hati dengan
negara-negara yang ingin mengembangkan teknologi nuklir ke dalam
pengaruh AS karena kita berkomitmen pada non-proliferasi.”
Menurut
Perry, kementerian Energi telah menyetujui sejumlah permohonan dari
perusahaan AS untuk menjual teknologi energi nuklir dan memberikan
bantuan teknis ke Arab Saudi. Namun, mereka tidak diizinkan untuk
mentransfer material nuklir, peralatan ataupun komponen.
Soal
ini, Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, mengatakan negaranya tidak
akan mengizinkan Saudi menjadi negara dengan kekuatan senjata nuklir.
“Kami tidak mengizinkan itu untuk terjadi di negara manapun di dunia,”
kata dia. Ini karena proliferasi teknologi nuklir untuk senjata
berbahaya bagi perdamaian dunai. “Kami tidak akan menulis cek senilai
US$150 juta ke Saudi dan menyerahkan mereka kapasitas untuk mengancam
Israel dan AS dengan senjata nuklir. Tidak akan.”
Sebuah resolusi
bipartisan di Senat pada Februari 2019 menyatakan penggunaan teknologi
nuklir di Arab Saudi harus dilengkapi dengan penjagaan keamana dan
memastikan tidak ada pengayaan uranium dan pemrosesan ulang sisa bahan
bakar nuklir.
Kritik
juga datang dari Iran yang berkeberatan dengan penjualan teknologi
nuklir AS ke Saudi. Menlu Iran, Javad Zarif, mengatakan,”Hari demi hari
semakin jelas bagi dunia mengenai hal yang selalu jelas bagi kami: isu
HAM dann program nuklir bukan keprihatinan nyata bagi AS. Pertama ada
jurnalis yang dibunuh, sekarang adanya rencana penjualan teknologi
nuklir ke Arab Saudi yang terekspos.”
Soal
penggunaan nuklir untuk senjata, Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed Bin
Salman, mengatakan negaranya tidak bertujuan membuat bom nuklir.
“Namun, jika Iran mengembangkan bom nuklir, kami juga akan mengikuti
secepat mungkin,” kata dia pada 2018.
Arab Saudi
berencana untuk memproduksi 17 gigawat energi listrik dari pembangkit
nuklir hingga 2040. Ini setara 15 persen dari total kebutuhan energinya.
Salah satu sudut di dalam reaktor Pembangkit Listrik Tenaga
Nuklir (PLTN) yang akan dibongkar di Muelheim-Kaerlich, Jerman, 22 Mei
2017. REUTERS/Thilo Schmuelgen
CB, Riyadh – Pemerintah Arab Saudi sedang membangun sebuah kompleks untuk eksperimen pembangkit listrik tenaga nuklir di luar ibu kota Riyadh.
Sejumlah gambar satelit menunjukkan kegiatan konstruksi kompleks ini berjalan dengan relatif cepat.
Beberapa
bangunan telah berdiri di dalam kompleks baru ini setelah tiga bulan
lalu pemerintah Saudi mengumumkan rencana pengembangan energi listrik.
Saudi mulai melirik energi nuklir untuk mengurangi ketergantungan pembangkit listrik menggunakan tenaga minyak.
“Pembangunan
reaktor nuklir eksperimental itu diperkirakan bakal kelar dalam
sembilan hingga satu tahun lagi,” kata Robert Kelly, bekas direktur
inspeksi nuklir di Lembaga Energi Nuklir Internasional IAEA, seperti
dilansir CNN pada Ahad, 7 April 2019.
Pemerintah Saudi
mengungkapkan keinginannya mengembangkan reaktor nuklir untuk memenuhi
kebutuhan listrik di negara ini. IAEA juga telah mengirim tim ke Arab
Saudi pada Juli 2018 untuk mengecek kesiapan rencana pembangunan.
Arab
Saudi memang memiliki cadangan uranium untuk memproses sendiri bahan
bakar nuklir ini. Sehingga, opsi untuk mengimpor bahan bakar nuklir atau
nuclear fuel dari negara lain belum dipertimbangkan.
“Tidak
alami bagi kami untuk mengimpor uranium yang telah diperkaya dari
negara asing untuk bahan bakar reaktor-reaktor kami,” kata Khalid al
Falih, menteri Energi Arab Saudi.
Rencana Saudi mengembangkan
energi nuklir untuk tujuan damai telah diungkapkan sejak sembilan tahun
lalu. Belakangan, rencana ini masuk dalam visi pembangunan 2030, yang
digagas Putra Mahkota Mohammed Bin Salman. Ini bagian dari upaya
meninggalkan ketergantungan pada energi minyak bumi dan melakukan
diversifikasi ekonomi kerajaan.
Saat
ini, Saudi mengkonsumsi seperempat dari produksi minyak domestik. Dan
cetak biru Visi 2030 juga memasukkan diversifikasi sumber energi dari
sinar matahari, dan angin untuk mengisi sepertiga energi dari sumber
non-minyak.
Media Russia Today
melansir, pemerintah Saudi berencana menggelar tender untuk pembangunan
dua reaktor nuklir pertama pada 2020. Selain menjajaki pemasok
teknologi nuklir dari AS, Saudi juga mencari pemasok dari sejumlah
negara lain seperti Rusia, Korea Selatan, Cina dan Prancis.
“Pemerintah
Saudi terus melanjutkan rencana pembangunan reaktor nuklir meskipun
berjalan lebih lambat dari rencana awal,” kata seorang sumber seperti
dilansir Russia Today.
Awalnya, Arab Saudi
bakal memilih vendor teknologi nuklir pada akhir 2018. Namun rencana
ini mundur pada 2019 dan sekarang baru akan digelar pada 2020.
Rudal balistik antarbenua berhulu ledak nuklir Amerika Serikat di Pangkalan Angkatan Udara Malstrom, Montana. Foto/REUTERS
WASHINGTON
- Seorang pejabat Pentagon mengatakan Amerika Serikat (AS) tetap
memegang hak untuk melakukan serangan nuklir pertama dalam menanggapi
serangan senjata konvensional musuh. Pentagon berniat meninggalkan
kebijakan "no-first-use" (bukan pengguna pertama) senjata nuklir.
Wakil Menteri Pertahanan David Trachtenberg mengatakan menerapkan kebijakan "no-first-use"
akan merusak kepercayaan sekutu AS terhadap tekad Washington untuk
datang melindungi mereka. Kebijakan seperti itu diartikan Pentagon akan
memaksa para sekutu Washington untuk membuat senjata nuklir sendiri.
Trachtenberg
menyampaikan sikap Pentagon tersebut dalam audiensi di hadapan Komite
Layanan Angkatan Bersenjata Parlemen hari Kamis (28/3/2019). Tanpa
kebijakan "no-first-use", berarti AS dapat membom musuh-musuhnya dengan senjata nuklir dalam keadaan ekstrem.
Menurut
Trachtenberg, Amerika Serikat telah puluhan tahun mempertahankan
kebijakan "ambiguitas konstruktif" mengenai penggunaan senjata nuklir,
yang telah menghalangi agresi nuklir terhadap musuh potensial.
"Suatu kebijakan 'no-first-use'
akan melemahkan AS untuk mencegah dan merusak kepercayaan aliansi kita
karena itu akan mempertanyakan kepastian bahwa Amerika Serikat akan
datang untuk membela sekutu dalam keadaan ekstrem," kata Trachtenberg,
dalam transkrip yang diterbitkan di situs web komite, seperti dikutip Sputnik, Jumat (29/3/2019).
Dia
juga menunjukkan bahwa, jika AS menerapkan kebijakan itu, sekutunya
mungkin merasa perlu untuk mengembangkan dan mengerahkan pasukan nuklir
mereka sendiri, sehingga merusak tujuan nonproliferasi AS.
Saat
ini, di antara sekutu AS, hanya Prancis dan Inggris yang memiliki
senjata nuklir sendiri. Israel diyakini memiliki senjata nuklir, tetapi
belum pernah secara resmi mengakuinya. Belgia, Jerman, Italia, Belanda,
dan Turki adalah bagian dari program berbagi nuklir NATO.
Di
bawah kebijakan saat ini, AS akan menggunakan senjata nuklir hanya
dalam keadaan ekstrem untuk membela kepentingan vital Amerika Serikat,
sekutu dan mitra. "Keadaan ekstrem itu termasuk serangan strategis
non-nuklir yang signifikan terhadap AS, sekutu atau mitra baik populasi
atau infrastruktur sipil, pasukan nuklir, komando dan kontrol atau pun
peringatan dan kemampuan penilaian serangan," kata Trachtenberg,
mengutip Nuclear Posture Review (NPR) atau Tinjauan Postur Nuklir 2018 yang diterbitkan Departemen Pertahanan AS.
AS kirim enam pesawat pembom B-52 ke Eropa. Foto/Istimewa
WASHINGTON
- Angkatan Udara Amerika Serikat (AS) baru-baru ini mengerahkan enam
pembom B-52 berkemampuan nuklir ke Eropa untuk latihan integrasi teater
dan pelatihan terbang dengan sekutu regional dan mitra NATO. Langkah ini
dipandang mengirim pesan kuat ke Rusia, yang merayakan lima tahun
aneksasi militer Crimea.
Satuan tugas pembom B-52
Stratofortresses, penerbang dan peralatan pendukung dari Wing Bom ke-2
yang berbasis di Barksdale Air Force Base, Louisiana, tiba di RAF
Fairford akhir pekan lalu dan telah berpartisipasi dalam berbagai misi
pelatihan di seluruh Eropa.
"Pada hari Senin, empat pesawat B-52
melakukan penerbangan ke beberapa tempat di Eropa, termasuk ke Laut
Norwegia, Laut Baltik/Estonia dan Laut Mediterania/Yunani," kata
Angkatan Udara AS seperti dikutip dari CNN, Kamis (21/3/2019).
Pembom
B-52 dari Pangkalan Angkatan Udara Andersen, Guam, dan RAF Fairford
juga telah melakukan pelatihan pengenalan teater secara serentak di
Indo-Pasifik dan Eropa ketika pembom terbang ke utara ke daerah di
sebelah timur Semenanjung Kamchatka, dekat Rusia.
"Secara
kolektif, penerbangan dari Indo-Pasifik dan Eropa menunjukkan komitmen
AS untuk sekutu dan mitra melalui pekerjaan global pasukan militer,"
kata Angkatan Udara dalam rilisnya.
Mempunyai berat 185 ribu
pound, B-52 pertama kali bertugas pada 1950-an selama puncak Perang
Dingin. Pesawat ini awalnya dirancang untuk bertugas sebagai pembom
nuklir jarak jauh jarak jauh yang bisa menyerang jauh ke dalam Uni
Soviet.
Pesawat B-52 terbaru terbang pada tahun 1962, dan pesawat setinggi 159 kaki itu pun menjadi ikon Perang Dingin.
Pesawat-pesawat
ini telah banyak dimodifikasi sejak akhir Perang Dingin dan telah
ditingkatkan dengan rudal presisi yang dipandu, elektronik dan sensor
teknologi tinggi. Setiap pesawat dapat membawa hingga 70.000 pound bom,
ranjau dan rudal, menurut lembar fakta resmi Angkatan Udara.
Ketegangan
antara AS dan Rusia terus meningkat dalam beberapa bulan terakhir
setelah Rusia menyita kapal-kapal dan menahan para pelaut Ukraina
setelah konfrontasi di Selat Kerch pada November.
Tindakan Rusia dan penahanan para pelaut Ukraina mendorong Presiden
Donald Trump untuk membatalkan pertemuan yang direncanakan dengan
Presiden Rusia Vladimir Putin selama KTT G-20 di Argentina tahun lalu.
John
Bolton mengatakan, pihaknya telah meminta China, sekutu utama dan mitra
dagang Korut untuk membantu mengembalikan pembicaraan ke jalur yang
benar. Foto/Istimewa
WASHINGTON
- Amerika Serikat (AS) dilaporkan telah meminta bantuan China untuk
melanjutkan pembicaraan denuklirisasi dengan Korea Utara (Korut).
Washington mengklaim bahwa Pyongyang tidak mau mengambil langkah-langkah
yang diperlukan untuk kembali ke meja perundingan.
Penasihat
Keamanan Nasional AS, John Bolton mengatakan, pihaknya telah meminta
China, sekutu utama dan mitra dagang Korut untuk membantu mengembalikan
pembicaraan ke jalur yang benar.
"Gagasan bahwa ada peran bagi
China dalam negosiasi adalah sesuatu yang kami bersedia pertimbangkan,
jika kami bisa melihat beberapa gerakan di pihak Korut," kata Bolton,
seperti dilansir Anadolu Agency pada Senin (18/3).
Dia
kemudian mengatakan, pemimpin Korut, Kim Jong-un tidak mau mengambil
langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai kesepakatan nuklir dengan
AS.
"Korut sayangnya tidak mau melakukan apa yang perlu mereka
lakukan. Baru tadi malam, mereka mengeluarkan pernyataan tidak membantu,
bahwa mereka berpikir untuk kembali ke pengujian rudal balistik nuklir,
yang tidak akan menjadi ide yang baik di pihak mereka," ungkapnya.
Bolton
merujuk pada pernyataan oleh Wakil Menteri Luar Negeri Korut, Choe Son
yang Jumat lalu mengatakan Kim Jong-un mungkin akan mempertimbangkan
kembali pembicaraan denuklirisasi dengan AS.