Credit
cnnindonesia.com
Teror Bom Irlandia Utara dan Memori Kelam The Troubles
Jakarta, CB -- Sabtu (19/1) malam pekan
lalu Gina McFeely sedang berdandan di rumah susunnya di Kota
Londonderry, Irlandia Utara. Dia sedang bersiap untuk pergi ke perayaan ulang tahun keponakannya yang ke 21.
Gina tersentak ketika mendengar sebuah suara dentuman. Dia tidak menyangka ternyata itu adalah sebuah bom mobil.
"Semua
orang berhamburan ke jalanan. Saya lihat sebuah mobil terbakar. Apinya
sangat besar dan saya mengatakan, 'Ya Tuhan'," kata Gina seperti
dilansir CNN, Senin (21/1).
Terlanjur berdandan dan berjanji akan datang, Gina tidak punya pilihan lain. Dia tetap pergi ke pesta ulang tahun keponakannya.
"Sudah lama sekali tidak ada bom di Derry. Itu memang mengejutkan. Hal
itu enggak membuat saya takut. Saya berasal dari Derry, dan kami pernah
mengalami hal ini sebelumnya, tetapi ini membuat saya marah. Saya enggak
mau kembali ke saat itu," ujar Gina.
Kenangan akan masa-masa kelam konflik Irlandia Utara, atau diistilahkan
The Troubles,
kembali mencuat selepas teror bom mobil pada akhir pekan lalu. Gina
mungkin adalah satu dari sekian penduduk di Irlandia Utara yang
terdampak pertikaian berdarah selama hampir tiga dasawarsa itu.
Masa konflik Irlandia Utara terekam dalam berbagai karya seni, seperti lagu '
Sunday Bloody Sunday' yang dilantunkan grup musik U2. Bahkan juga dalam sejumlah film.
Selama
itu pula penduduk Irlandia Utara terbelah, antara mereka yang mendukung
kemerdekaan atau bergabung dengan Republik Irlandia, dengan warga yang
pro kekuasaan Inggris. Lingkungan perumahan dan pedesaan yang tenang
mendadak menjadi medan perang. Antar tetangga kiri dan kanan saling
curiga bahkan bermusuhan karena keberpihakan dan ideologi.
Kelompok
gerakan pro kemerdekaan atau penggabungan dengan Republik Irlandia yang
awalnya berjuang melalui jalan politik akhirnya angkat senjata. Mereka
membentuk Tentara Republik Irlandia (IRA). Sedangkan yang mendukung
kekuasaan Inggris juga mempersenjatai diri. Perang gerilya pun dimulai.
Pemerintah
Inggris juga menerjunkan pasukan untuk memerangi kelompok pro Republik.
Malah mereka juga menerjunkan pasukan elite Special Air Service (SAS)
guna mengimbangi taktik gerilya IRA.
Karena lelah berperang,
kedua belah pihak lantas menggelar perundingan damai pada 10 April 1998.
Hari itu dikenal sebagai Kesepakatan Jumat Baik (Good Friday
Agreement).
Korban dari konflik itu diperkirakan sekitar 50 ribu
orang. Rinciannya 3,532 orang meninggal dan 47,500 terluka. Meski sudah
berdamai, pertikaian tetap berjalan hingga 2002.
Kekuatan para
pihak yang bertikai lantas diakomodasi melalui partai politik. Kelompok
pro Republik lantas mendirikan Partai Sinn Fein dan Partai Sosial
Demokrat dan Buruh (SDLP).
Sementara mereka yang pro Inggris membentuk Partai Persatuan Ulster dan Partai Persatuan Progresif (PUP).
Meski
sudah berdamai, ada faksi di dalam IRA yang menyempal. Mereka tetap
berkeras melanjutkan perlawanan bersenjata dengan menamakan diri Real
IRA (RIRA) atau New IRA (NIRA). Kelompok ini lah yang dianggap mengancam
stabilitas di Irlandia Utara. Apalagi dengan gonjang-ganjing Brexit
yang hingga saat ini belum menemukan titik terang. Mereka memanfaatkan
celah itu untuk memantik kembali bara pertikaian yang sudah meredup dan
yang diharapkan bisa kembali mengoyak ketenangan warga Irlandia Utara.
Credit
cnnindonesia.com