BAGHDAD
- Irak menjadi tuan rumah konferensi para pejabat senior parlemen dari
dua negara yang bermusuhan, Arab Saudi dan Iran, pada hari Sabtu.
Langkah Baghdad ini sejalan dengan komitmen Perdana Menteri Adel Abdul
Mahdi yang ingin meningkatkan peran negaranya sebagai mediator di Timur
Tengah.
Konferensi di Baghdad untuk membahas masalah keamanan
regional, diplomasi dan ekonomi juga dihadiri pemimpin parlemen dari
Turki, Kuwait, Suriah dan Yordania.
Abdul Mahdi baru-baru ini
kembali dari kunjungannya ke Iran dan Arab Saudi, kedua negara kaya
minyak yang telah lama berlomba-lomba untuk dominan di Timur Tengah.
Pemandangan di Baghdad ini tidak biasa, karena mempertemukan pejabat
Saudi dan Iran dalam satu forum.
PM Mahdi seperti dikutip Reuters,
Minggu (21/4/2019), mengatakan Irak tidak hanya akan mempertahankan
hubungan kuat dengan Iran, tetapi juga dengan Amerika Serikat (AS) dan
negara-negara tetangga, seperti Arab Saudi yang menganggap Teheran
sebagai musuh.
Abdul Mahdi telah bertemu Raja Salman dan Putra
Mahkota Mohammed bin Salman selama kunjungannya ke Riyadh baru-baru ini.
Itu merupakan kunjungan resmi pertamanya ke Kerajaan Saudi sejak
menjabat enam bulan lalu.
Irak dan Arab Saudi berselisih sejak
invasi Irak ke Kuwait pada tahun 1990, tetapi baru-baru ini melakukan
upaya diplomatik untuk meningkatkan hubungan.
Kunjungan Abdul
Mahdi ke Riyadh terjadi 10 hari setelah dia mengunjungi Iran. Selama
perjalanannya ke Teheran, dia bertemu Presiden Hassan Rouhani dan
Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei.
Pemerintah Irak saat ini didominasi para politisi Syiah yang memiliki hubungan dekat dengan Iran.
"Ini
adalah pesan positif bagi semua negara tetangga dan dunia bahwa Irak
bertekad untuk mendapatkan kembali kewarasannya dan kembali ke
lingkungan Arab-nya di kawasan serta mengambil tempat yang layak di peta
keseimbangan kekuasaan," kata wakil ketua parlemen Irak, Bashir Haddad.
Baquba, Irak (CB) - Pasukan keamanan menewaskan komandan ISIS
dan empat anggota lainnya di daerah Pegunungan Hamrin di bagian
timur-laut Irak pada Minggu, demikian informasi militer.
Pesawat tempur koalisi pimpinan AS dan Irak melancarkan sejumlah
serangan udara di daerah tersebut, dengan menyerang persembunyian
gerilyawan, selama tiga hari.
Pasukan Elit Dinas Kontra-Terorisme dan komandan operasi militer
Provinsi Diyala tidak menyebutkan nama komandan tersebut namun dalam
pernyataannya, mereka mengaku bertanggung jawab atas pasukan ISIS di
Hamrin.
Komandan dan empat "pengikutnya" tewas di daerah timur laut Baquba, Ibu Kota Provinsi tersebut pada Minggu, kata dia.
Irak menyatakan kemenangan atas kelompok itu, yang pernah memegang banyak posisi di negara tersebut pada Desember 2017.
Bersama mimpinya tentang kekhalifahan di Timur Tengah yang kini telah
pupus, ISIS beralih ke serangan kilat yang bertujuan mengacaukan
pemerintah Baghdad.
Para gerilyawan kembali berkumpul di pegunungan Hamrin di bagian timur
laut Irak, yang membentang dari Provinsi Dilaya di perbatasan dengan
Iran, barat laut, hingga Sungai Tigris di Provinsi Kirkuk.
Pembom bunuh diri di Iran ditunjukan ke bus IRGC (Antaranews)
Baghdad (CB) - Pemimpin Gerakan Kebijakan Nasional Irak, dalam
reaksi terhadap tindakan Amerika Serikat membidik Korps Pengawal
Revolusi Islam Iran (IRGC) sebagai organisasi teroris, memperingatkan AS
agar tidak menciptakan krisis baru dengan tindakan tanpa berpikir.
Ammar Hakim mendesak semua pihak agar menempuh jalan yang beradab untuk menyelesaikan masalah melalui perundingan.
Ia memperingatkan AS agar tidak menciptakan krisis baru yang
membahayakan kestabilan dan keamanan semua negara di wilayah tersebut.
Tokoh agama Irak itu menyampaikan penentangan terhadap tindakan untuk
mengubah Irak menjadi pangkalan untuk melancarkan agresi ke negara lain
di wilayah tersebut, demikian laporan Kantor Berita Iran, IRNA --yang
dipantau Antara di Jakarta, Rabu malam.
"IRGC adalah alat utama Pemerintah Iran dalam mengarahkan dan
melaksanakan kegiatan teroris globalnya," kata Presiden AS Donald Trump
di dalam satu pernyataan pada Senin (8/4).
"Kami akan terus meningkatkan tekanan keuangan dan menaikkan tebusan
atas rejim Iran karena dukungannya buat kegiatan teroris sampai negara
itu meninggalkan prilaku jahat yang melanggar hukum," kata Trump.
Sebagai reaksi terhadap tindakan AS tersebut, Duta Besar Iran untuk
London Hamid Baeedinejad mengatakan tindakan AS itu terhadap IRGC pada
saat badan militer Iran tersebut membantu rakyat yang dilanda banjir
dengan seluruh daya adalah hadiah buat Perdana Menteri Israel Benjamin
Netanyahu guna mendongkrak dia dalam pemilihan umum.
Tindakan anti-Iran yang paling akhir tersebut oleh Trump juga disambut dengan reaksi keras dari para pejabat Iran.
Menteri Luar Negeri Mohammad Javad Zarif menyarankan Dewan Keamanan
Nasional Tertinggi Iran (SNSC) mesti menambahkan pasukan Amerika di Asia
Barat, yang dikenal dengan nama United States Central Command
(CENTCOM), ke dalam daftar kelompok terorisnya.
WASHINGTON
- Perwakilan Khusus Amerika Serikat (AS) untuk Iran, Brian Hook
mengatakan bahwa Iran bertanggung jawab atas kematian ratusan personel
militer mereka yang ditempatkan di Irak.
Hook menuturkan,
informasi mengenai hal ini awalnya adalah sebuah informasi rahasia. Oleh
karena itu, mengapa informasi mengenai banyaknya tentara AS tewas oleh
Iran baru diungkap saat ini.
"Di Irak, saya dapat mengumumkan
hari ini, berdasarkan laporan militer AS yang tidak diklasifikasikan,
bahwa Iran bertanggung jawab atas kematian sedikitnya 608 tentara
Amerika," kata Hook dalam sebuah pernyataan.
"Jumlah
ini merupakan 17 persen dari semua kematian personel AS di Irak dari
2003 hingga 2011," sambungnya, seperti dilansir Sputnik pada Rabu (3/4).
Dia
kemudian mengklaim bahwa apa yang dia sebut dengan proksi Garda
Revolusi Iran atau IRGC bertanggung jawab atas tewasnya lebih banyak
warga Irak.Terlebih lagi, Hook menuduh bahwa Teheran berusaha membawa
Irak di bawah kendali Iran dan bahwa kunjungan terakhir oleh Presiden
Iran, Hassan Rouhani ke Baghdad adalah bagian dari upaya ini.
Teheran sendiri sejauh ini belum memberikan komentar mengenai tuduhan itu, yang diklaim oleh Hook.
Baghdad, Irak (CB) - Empat gerilyawan Da'esh tewas pada Selasa,
dalam serangan udara terhadap tempat persembunyian mereka di Provinsi
Diyala di Irak Timur, kata beberapa sumber keamanan provinsi.
Pesawat bermeriam Irak, yang bertindak berdasarkan laporan intelijen,
menggempur satu tempat persembunyian Da'esh di satu daerah desa, sekitar
110 kilometer di sebelah timur-laut Ibu Kota Irak, Baghdad, demikian
satu pernyataan yang dikeluarkan oleh Direktorat Intelijen Provinsi
Diyala.
Pernyataan itu, sebagaimana dikutip Kantor Berita Irak, NINA --yang
dipantau Antara di Jakarta, Rabu siang, tidak menyebutkan secara pasti
jumlah korban jiwa di pihak Da'esh, tapi mengatakan ada tiga sampai enam
gerilyawan fanatik di dalam tempat persembunyian tersebut selama
pemboman.
Satu sumber intelijen mengatakan empat gerilyawan Da'esh tewas dalam serangan udara itu, kata beberapa laporan belakangan.
Kendati operasi berulangkali dilancarkan di Diyala, gerilyawan Da'esh
masih bersembunyi di beberapa tempat terjal di dekat perbatasan dengan
Iran, dan di daerah yang membentang dari bagian barat provinsi itu ke
gugusan gunung Himreen di sebelah utara provinsi tersebut.
Jakarta, CB -- Koalisi yang dipimpin AS dalam memerangi para jihadis Negara Islam di Suriah dan Irak (ISIS) menyatakan setidaknya 1.257 warga sipil telah tewas dalam serangan udara sejak operasi perburuan dimulai pada 2014.
Korban jatuh dalam 34.038 serangan antara Agustus 2014 hingga akhir Februari tahun ini.
"Setidaknya
1.257 warga sipil telah secara tidak sengaja terbunuh oleh serangan
Koalisi sejak awal Operasi Inherent Resolve," kata pernyataan koalisi
seperti dikutip dari AFP, Jumat (29/3).
Koalisi juga
mengumumkan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka telah menerima 147
laporan terkait kemungkinan jatuhnya korban sipil lebih.
Tapi, mereka hanya meninjau satu, pada Februari.
Satu
laporan yang kredibel mengacu pada pemboman di sebuah pabrik amunisi
dekat Rawa, Irak 13 September 2017 silam. Dua warga sipil terluka
terluka dalam serangan tersebut.
Tapi Airwars, sebuah LSM yang memantau korban sipil dari serangan udara di seluruh dunia membantah pengakuan tersebut.
Mereka
memperkirakan setidaknya 7.595 warga sipil telah tewas dalam serangan
bom koalisi, jauh melebihi jumlah yang diakui oleh koalisi.
Ramallah, Palestina (CB) - Presiden Palestina menyampaikan
penolakan tegas dan pengutukan kerasnya terhadap serangkaian keputusan
yang dikeluarkan Presiden AS Donald Trump mengenai Al-Quds (Jerusalem)
dan Dataran Tinggi Golan, yang diduduki, yang katanya bertentangan
dengan hukum dan keabsahan internasional.
Presiden Palestina kembali menegaskan kedaulatan bukan diputuskan oleh
AS maupun Israel, tak peduli berapa lama pendudukan berlangsung dan
masalah Palestina, Al-Quds serta tempat sucinya, dan wilayah Palestina
yang diduduki adalah milik Palestina, Arab dan garis merah internasional
--yang tak bisa dilangkahi.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas menekankan bahwa tak ada keabsahan
tanpa resolusi Dewan Keamana, Sidang Majelis Umum PBB dan gagasan
perdamaian Arab, demikian laporan Kantor Berita Palestina, WAFA --yang
dipantau Antara di Jakarta, Selasa pagi.
Presiden Palestina tersebut kembali menyampaikan pengutukannya atas
peningkatan serangan Israel baru-baru ini di Jalur Gaza, tindakan
penindasan yang belum lama ini dilakukan terhadap tahanan Palestina di
penjara Israel, dan berlanjutnya kebijakan Israel untuk menyerang dan
melakukan agresi terhadap tempat suci serta wilayah Palestina yang
diduduki.
Abbas menegaskan rakyat Palestina akan tetap teguh dan terus melakukan
pertahanan nasionalnya serta tempat suci dalam menghadapi rencana
terbesar yang ditujukan kepada Palestina dan persatuan serta kedaulatan
semua negara Arab di wilayah mereka.
Presiden Abbas siap menyampaikan pidato dalam Pertemuan Puncak Arab di
Tunisia pada akhir Maret. Presiden Palestina tersebut menegaskan reaksi
Arab akan tetap sama, "Takkan ada kompromi mengenai Al-Quds atau tanah
lain Arab dan kebijakan pemerintah AS hanya akan meningkatkan ketegangan
serta ketidak-stabilan dan takkan mewujudkan perdamaian serta keamanan
buat siapa pun."
Perdana Menteri Irak Adel Abdul Mahdi
secara resmi meminta parlemen memecat Gubernur Nineveh Nawfal Hammadi
al-Sultan setelah kecelakaan kapal ferry sungai yang menewaskan
sedikitnya 90 orang di Mosul, ibu kota provinsi itu..
Baghdad (CB) - Parlemen Irak memutuskan pada Ahad (24/3) untuk
memecat gubernur Nineveh, setelah kapal feri yang sesak dengan penumpang
terbalik, dan menewaskan sedikitnya 90 orang di Mosul, Ibu Kota
provinsi itu, kata media negara.
Kapal tersebut membawa para keluarga menuju ke satu pulau tempat
rekreasi di Sungai Tigris pada Kamis, ketika terbalik. Banyak di antara
wanita dan anak-anak yang berada di kapal itu tak dapat berenang.
Para militan IS (Daesh) dipukul mundur dari Mosul hampir dua tahun lalu,
tapi bantuan telah memberi jalan bagi orang-orang atau pejabat-pejabat
diduga terlibat dalam korupsi sementara pembangunan kembali kota yang
rusak itu tak berjalan sebagaimana semestinya.
Sejumlah orang mendatangi presiden Irak dan gubernur itu pada Jumat, dan
memaksa mereka pergi dari tempat kejadian. Kerumunan massa melempari
bebatuan dan sepatu ke arah mobil yang di dalamnya ada Gubernur Nawfal
Hammadi al-Sultan. Karena dalam keadaan kecepatan relatif tinggi, mobil
itu menabrak dua orang, satu di antaranya harus dilarikan ke rumah
sakit.
Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi pada Sabtu meminta parlemen memecat
Sultan. Undang-Undang Irak memberikan hak kepada parlemen federal untuk
memecat gubernur-gubernur provinsi atas dasar saran dari perdana
menteri.
Parlemen juga memecat dua wakil Sultan, sesuai dengan permintaan Abdul
Mahdi. Gubernur itu dapat mengajukan banding di pengadilan. Ia belum
memberikan komentar mengenai hal itu.
Dalam sepucuk surat kepada parlemen, Abdul Mahdi menuding Sultan lalai
dalam menjalankan tugasnya, dan mengatakan sudah ada bukti dia
menyalahgunakan dana masyarakat dan kekuasaan.
Para pemerotes menyalahkan kelalaian yang dilakukan pemerintah lokal
atas kecelakaan tersebut. Kapal itu berisi penumpang lebih lima kali
dari kapasitasnya, demikian kata seorang pejabat lokal.
Feri di Sungai Tigris, Irak, (AFP/Waleed AL-KHALED)
Jakarta, CB -- Korban meninggal dari kejadian tenggelamnya feri di Sungai Tigris,Irak semakin bertambah. Dilansir dari AFP, saat ini korban meninggal mencapai 100 orang.
Perdana
Menteri Irak Adel Abdel Mahdi mendekritkan tiga hari berkabung nasional
karena kejadian ini. Dia mengumumkan hari berkambung ketika mengunjungi
lokasi kejadian tak lama setelah kecelakaan terjadi.
Televisi pemerintah mengatakan Mahdi juga mengunjungi sebuah rumah sakit dan kamar mayat di bekas benteng jihad.
Kapal
ini dipenuhi oleh keluarga yang merayakan Tahun Baru Kurdi. Kecelakaan
ini diperkirakan menewaskan lebih dari 70 orang dan menjadi kecelakaan
terburuk di Irak dalam bertahun-tahun.
Kecelakaan itu memicu curahan kesedihan di antara penduduk yang
baru-baru ini memulai kembali perayaan di tepi Tigris. Setelah kota
utara itu direbut kembali dari kelompok Negara Islam.
Kapal itu penuh dengan pria, wanita dan anak-anak yang menyeberangi Tigris untuk pergi ke tempat piknik yang populer.
"Ini bencana, tidak ada yang mengharapkan itu," kata seorang pria muda yang baru saja berhasil mencapai pantai.
"Ada banyak orang di kapal, terutama wanita dan anak-anak," katanya kepada AFP.
CB, Jakarta - Salah seorang dari 14 eks militan asing ISIS asal Prancis mengaku pernah menjadi tentara di kesatuan militer Prancis.
Pengadilan Tinggi Irak merilis rekaman pengakuan 14 eks militan ISIS yang ditahan di Suriah dan dikirim ke Irak.
Salah
seorang pria berusia 37 tahun mengaku dia adalah keturunan Tunisia, dan
pernah bertugas di kesatuan militer Prancis dan tinggal di Toulouse,
Prancis selatan.
"Saya lahir di Prancis dan tamat sekolah di sana. Saya bergabung
dengan angkatan darat Prancis pada 2000 selama sepuluh tahun, kemudian
saya ditugaskan ke Afganistan pada 2009 sebagai tentara Prancis di
sana," katanya, seperti dikutip dari Kurdistan24, 12 Maret 2019.
"Ketika
saya kembali ke Prancis dan kontrak saya di angkatan darat Prancis
berakhir, saya bekerja sebagai sopir untuk perusahaan minyak sampai
menikah dengan perempuan Prancis," katanya. "Alasan saya bergabung ke
ISIS karena keinginan berpindah dari satu tempat ke tempat lain dan
tertarik kepada kelompok ini setelah mencari tentang mereka di media
sosial hingga situsnya."
Beberapa anggota ISIS Prancis yang ditahan dan dipindahkan dari Suriah ke Irak.[Supreme Judicial Council of Iraq/Kurdistan24]
Kemudian
dia pindah ke Belgia dan bertemu teman yang bertugas merekrut anggota
untuk kelompok militan. Dari Belgia, dia pindah ke Maroko bersama
temannya. Dia menikah lagi dengan seorang perempuan yang dikenal di
media sosial, dan juga ingin tinggal di Suriah yang dikuasai ISIS.
"Saya
masuk Aleppo Suriah secara ilegal lewat Turki dan menyelesaikan latihan
militer dan keagamaan di sana. Kemudian saya ke Mosul di Irak untuk
bersumpah setia kepada salah satu pemimpin ISIS yang saat itu mengenakan
penutup wajah," katanya.
Dia
mengatakan banyak pemimpin ISIS yang takut menunjukkan wajah mereka
kepada milisi asing karena takut mereka adalah mata-mata intelijen
asing.Dewan Kehakiman Irak telah mengkonfirmasi pengakuan dari 14 terdakwa ISIS asal Prancis, dan mereka semua menikah di Suriah dan memiliki anak.
CB, Jakarta - Pengadilan tinggi Irak mengungkapkan pengakuan 14 mantan militan asing ISIS asal Prancis yang ditangkap dan dikirim dari Suriah ke Irak.
Pengakuan
eks militan itu direkam di ruang pengadilan Karkh di Baghdad, yang
digunakan untuk mengadili kasus terorisme, seperti dikutip dari laporan
Kurdistan24, 12 Maret 2019.
"Salah satu dari mereka adalah mantan tentara Prancis, yang bertugas di Afganistan pada 2009," kata dewan pengadilan.
Para militan terdiri dari keturunan asli Prancis dan sebagian
keturunan Arab berkebangsaan Prancis. Mereka menerima pelatihan militer
dan doktrin agama sebelum bergabung ke ISIS. Para militan mengaku
bergabung dengan kelompok faksi militan lain sebelum bergabung ke ISIS.
Agen
intelijen pasukan khusus Irak memeriksa identitas pria ketika mencari
anggota ISIS di Mosul, Irak pada 27 November. [Goran Tomasevic /
Reuters]
Salah satu terdakwa mengaku sebelum ke Suriah
untuk bertempur, dia bekerja sebagai sopir truk di perusahaan pembersih
di Prancis. Dia tinggal di kota Figeac sebelum ke Mesir untuk studi
Bahasa Arab sampai 2013.
"Saya
bertemu seorang teman di sana, ketika belajar di Kairo, Mesir, dan dia
berencana untuk pergi ke Suriah untuk berperang. Dia mulai membujuk saya
untuk ikut bertempur dengan menunjukkan aksi mereka di sana." kata
salah seorang eks militan berusia 33 tahun.
"Saya
pergi dari Mesir ke Prancis untuk beberapa lama, bertemu keluarga:
ayah, ibu, istri, adik, yang kemudian semuanya ikut ISIS. Dari Paris
saya ke Istanbul lalu masuk ke Suriah ilegal," lanjutnya.Pria itu
mengaku bergabung dengan Front Al-Nusra pada 2013. Dia bertugas sebagai
penerjemah dan pengajar Bahasa Arab untuk militan asing.
Pria Prancis itu kemudian bergabung ISIS setelah mendeklarasikan "kekhalifahan" pada 2011 dan ikut pelatihan militer di Homs sampai 2015.
Irak dan Iran pernah terlibat perang beberapa dekade lalu.
CB,
BAGHDAD – Irak dan Iran menyepakati sejumlah perjanjian awal tentang
perdagangan pada Senin, (11/3). Kesepakatan muncul usai Presiden Iran
Hassan Rouhani memulai kunjungan pertamanya ke Iran.
Langkah itu dipandang perlu mengingat adanya sanksi perdagangan dari Amerika Serikat terhadap negeri para mullah itu.
Salah satu kesepakatan kedua negara tersebut meliputi
pembangunan jalur kereta api yang menghubungkan kedua negara itu.
Sebelumnya, Iran dan Irak pernah terlibat perang pada 1980-1988.
"Hubungan
kami tidak bisa dibandingkan dengan Amerika yang dibenci di sini. Kami
tidak lupa akan bom yang Amerika jatuhkan di Irak, Suriah," kata
Rouhani.
Bentuk kerjasama kedua negara juga mencakup
minyak, perdagangan, dan kesehatan. Rel yang menghubungkan kedua negara
secara khusus melintasi kota kaya minyak, Basra di Irak dan Shalamcheh
di Iran.
"Perjanjian membicarakan kemudahan pebisnis
dan investor untuk mendapat visa. Bahkan visa harus gratis," ucap
pejabat Irak Abdul Mahdi.
Rencananya, Rouhani akan
mengunjungi kota suci di Iran yaitu Karbala dan Najaf pada Selasa dan
Rabu ini. Dia bakal menemui pemuka agama Iran Imam Besar Ayatollah Ali
al-Sistani di Najaf.
"Pertemuan ini jadi langkah
Iran untuk menembus sanksi Amerika yang tak adil. Kunjungan ini bakal
jadi peluang buat ekonomi Iran," ucap pejabat senior Iran.
Presiden Irak, Barham Salih, mengatakan bahwa
militan asing ISIS yang diadili di negaranya terancam dijerat hukuman
mati. (Christophe Ena/Pool via Reuters)
Jakarta, CB -- Presiden Irak, Barham Salih, mengatakan bahwa militan asing ISIS yang diadili di negaranya terancam dijerat hukuman mati.
"[Militan
asing ISIS] akan diadili sesuai hukum Irak dan bisa dijatuhi hukuman
mati jika terbukti bersalah [membunuh warga Irak]," ujar Salih kepada
harian The National sebagaimana dikutip Reuters.
Pernyataan ini dilontarkan sebulan setelah pasukan koalisi AS di Suriah
mengirimkan 280 anggota ISIS asal Irak dan sejumlah militan asing ke
Irak.
Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi mengatakan bahwa Irak
dapat merepatriasi para tahanan asing ISIS ke negara asalnya. Namun,
Irak juga dapat mengadili mereka yang melakukan kejahatan terhadap
negaranya atau warganya.
Berdasarkan hukum Irak, tindakan
kriminal semacam itu dapat dijatuhi hukuman mati, tapi Mahdi tak
menyebutkan hal tersebut. Pernyataan Salih adalah konfirmasi pertama
bahwa militan asing juga dapat terjerat hukuman mati.
"Ada
beberapa kasus yang memungkinkan militan asing terlibat dalam kasus
terorisme di tanah Irak atau terhadap warga Irak. Di Irak, hukum harus
ditegakkan," ucap Salih.
Namun, Salih menekankan bahwa Irak tak akan mengadili semua militan yang dikirim dari Suriah ke negaranya.
"Membebani Irak dengan isu ini atas nama dunia terlalu berat bagi Irak," katanya.
LONDON
- Angkatan Udara Kerajaan (RAF) Inggris mengklaim pemboman
pesawat-pesawat jet tempurnya di Suriah dan Irak telah membunuh 4.012
militan ISIS dan hanya menewaskan satu warga sipil. Data itu berasal
dari Kementerian Pertahanan negara tersebut.
Penelitian dari
badan amal Action on Armed Violence (AOAV) memperoleh data tersebut di
bawah undang-undang kebebasan informasi yang melacak serangan bom RAF
dari September 2014 hingga Januari 2019.
AOAV telah menyatakan
skeptis bahwa RAF berhasil melindungi warga sipil meski mengklaim
berhasil menewaskan ribuan petempur musuh.
Direktur
eksekutif badan amal tersebut, Ian Overton, mengatakan; "Klaim RAF atas
rasio satu korban sipil terhadap 4.315 musuh harus menjadi rekor dunia
dalam konflik modern. Namun sedikit ahli konflik percaya itu benar."
Angka 4.315 tersebut termasuk mereka yang terluka dan juga yang terbunuh.
Inggris
berada di garis depan Koalisi Global dari 79 negara yang memerangi
jaringan teroris ISIS melalui aksi militer. Setelah Amerika Serikat,
Inggris melakukan serangan udara terbanyak.
Data
Kementerian Pertahanan menunjukkan bahwa dari 4.315 kombatan yang tewas
maupun terluka, 75 persennya berada di Irak. Kemudian 25 persen lainnya
berada di Suriah.
Menurut analisis AOAV, sebagian besar serangan RAF terhadap Mosul dan Raqqa—bekas benteng ISIS— ditujukan pada bangunan.
Badan
amal itu melanjutkan, mayoritas serangan udara juga menanggapi
peristiwa yang terjadi di darat dan meningkatkan risiko bagi warga
sipil.
RAF mengatakan kepada badan amal tersebut bahwa angka itu baru
dikeluarkan, tetapi hanya bisa menjadi perkiraan, mengingat Inggris
tidak memiliki kehadiran di lapangan untuk menilai serangan.
Seorang juru bicara Kementerian Pertahanan kepada The Guardian,
Jumat (8/3/2019), telah menjelaskan metodologi untuk menghasilkan data
serangan tersebut. "Setelah setiap serangan udara Inggris, kami
melakukan penilaian kerusakan pertempuran secara terperinci, yang
memeriksa secara menyeluruh hasil serangan terhadap sasarannya, baik itu
petempur, senjata, atau pangkalan Daesh (ISIS)," kata juru bicara itu
tanpa disebutkan namanya.
“Penilaian ini juga melihat dengan
sangat hati-hati apakah ada korban sipil atau kerusakan infrastruktur
sipil atau tidak," lanjut dia.
Jakarta, CB -- Aparat keamanan Irak dan Kurdi dilaporkan menyiksa sejumlah anak-anak yang ditahan karena dituduh terlibat dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Menurut lembaga pemantau hak asasi manusia, Human Rights Watch, mereka
juga mengadili para bocah hanya berbekal bukti-bukti yang tidak memadai.
"Penyaringan,
penyelidikan, dan penuntutan terhadap anak-anak sebagai tersangka ISIS
oleh otoritas Irak dan Kurdi sangat cacat, seringkali mengarah pada
penahanan sewenang-wenang dan pengadilan yang tidak adil," demikian isi
laporan Human Rights Watch, seperti dilansir AFP, Rabu (6/3).
Laporan
Human Rights Watch itu didasarkan pada hasil wawancara dengan 29
anak-anak Irak yang saat ini atau pernah ditahan oleh pasukan Kurdi.
Mereka juga mewawancarai kerabat para bocah, penjaga penjara, dan
petugas pengadilan.
Irak mengumumkan telah mengalahkan ISIS
pada akhir 2017, tetapi mereka terus mengadili pria, wanita, anak-anak,
dan termasuk orang asing, yang dituduh menjadi anggota ISIS.
Banyak anak laki-laki yang ditangkap di kamp atau pos pemeriksaan berdasarkan bukti yang lemah.
Mereka
dipukuli dan disetrum ketika diinterogasi, serta tidak diberi akses
kepada kerabat atau kuasa hukumnya. Mereka dipaksa untuk mengaku sebagai
anggota ISIS, meskipun mereka tidak pernah bergabung dengan ISIS.
"Mereka
memukuli saya di seluruh tubuh saya dengan pipa plastik. Pertama mereka
meminta saya harus mengakui bergabung dengan ISIS, jadi saya setuju,"
kata seorang anak berusia 14 tahun yang ditahan oleh aparat Kurdi.
ISIS
memang banyak merekrut dan mendoktrin anak-anak. Sebagian dari
anak-anak yang diwawacarai oleh Human Rights Watch mengaku bahwa mereka
tidak pernah berselisih dengan kelompok tersebut.
Mereka diadili
tanpa pengacara dalam sidang yang hanya berlangsung tidak lebih dari
sepuluh menit dan menggunakan bahasa Kurdi. Kebanyakan dari mereka
adalah orang Arab dan tidak memahaminya.
Hukuman yang diterima anak-anak itu dari aparat Kurdi berkisar antara enam dan sembilan bulan penjara.
Sementara
itu, pengadilan federal Irak menghukum hingga 15 tahun penjara.
Seringkali pemerintah Irak menempatkan mereka di penjara yang penuh
sesak bersama orang dewasa yang melanggar standar dunia.
"Setiap
hari adalah siksaan. Kami dipukuli setiap hari, kita semua," kata
seorang perempuan berusia 17 tahun yang berada di penjara federal selama
sembilan bulan.
Bahkan setelah mereka dibebaskan, anak-anak lelaki itu memilih untuk tidak pulang ke rumah karena takut ditangkap kembali.
Human Rights Watch memperkirakan pada akhir 2018 aparat Irak dan Kurdi
telah menahan sekitar 1.500 anak-anak karena diduga terlibat ISIS.
Human
Rights Watch mendesak pemerintah Irak dan Kurdi berhenti menangkap
anak-anak yang dituduh terlibat ISIS, dan meminta semuanya dibebaskan
kecuali mereka dituduh melakukan kejahatan kekerasan.
"Irak dan
perlakuan keras Kurdi terhadap anak-anak lebih mirip pembalasan buta
dibanding keadilan atas kejahatan ISIS," kata Direktur Hak Asasi Anak
HRW, Jo Becker.
"Anak-anak yang terlibat dalam konflik bersenjata berhak mendapatkan
rehabilitasi dan reintegrasi, bukan penyiksaan dan penjara," kata Jo
Becker.
CB, Jakarta - Milisi ISIS kini sedang bertempur mempertahankan benteng terakhirnya di tepi sungai Eufrat, desa Baghouz, yang berbatasan dengan Irak.
Posisi ISIS di ujung tanduk, namun ancaman ISIS belum dipastikan hilang setelah kehilangan seluruh wilayahnya.
PBB
mengungkapkan kelompok teroris ISIS masih memiliki dana tunai hingga
US$ 300 juta (Rp 4,2 triliun) untuk mempertahankan operasinya meskipun
kehilangan banyak wilayah, menurut laporan Sputnik.
Kehilangan Wilayah Bagi ISIS
Kekuasaan ISIS atas tanah di Irak dan Suriah membedakannya dari
kelompok-kelompok lain yang sepaham seperti Al Qaeda dan menjadi pusat
bagi misinya ketika ISIS mengumumkan kekhalifahan pada tahun 2014.
Penghancuran
negara kuasi di Irak dan Suriah menyangkal legitimasi ISIS. Wilayah
Irak dan Suriah menjadi alat propaganda dan perekrutan yang paling kuat
serta basis logistik tempat mereka melatih para milisi, dan merencanakan
serangan terkoordinasi di luar negeri, menurut laporan Reuters, 4 Maret
2019.
Di
wilayahnya, ISIS juga melakukan eksekusi dan hukuman kejam karena
melanggar hukum ketatnya atau terhadap sebagian minoritas, perbudakan
seksual dan pembantaian.
Namun pertempuran memusnahkan ribuan
milisinya, dan secara finansial, kekalahannya membuatnya kehilangan
sumber daya yang lebih besar daripada yang dinikmati oleh gerakan
teroris modern mana pun, termasuk pajak dari penghuninya dan hasil
penjualan minyak. Ancaman ISIS di Irak dan Suriah
Asap tebal terlihat di langit Baghouz, selama serangan ke kantong terakhir ISIS.[Sky News]
ISIS
mengklaim diri sebagai cabang al Qaeda di Irak sepuluh tahun lalu,
namun ditolak oleh kepemimpinan al Qaeda pusat. ISIS secara
sembunyi-sembunyi memulai propaganda bawah tanahnya, menunggu waktunya
untuk bangkit kembali secara tiba-tiba.
Sejak menderita kekalahan
teritorial yang pada tahun 2017, ISIS terus beralih ke taktik bawah
tanah. Sel-sel ISIS yang tidur di Irak mulai melakukan penculikan dan
pembunuhan untuk mengintimidasi pemerintah Baghdad.
ISIS
juga telah melakukan banyak pengeboman di timur laut Suriah, yang
dikendalikan oleh pasukan Kurdi yang didukung AS, termasuk yang
menewaskan empat orang Amerika pada Januari. Pejabat Kurdi dan AS
mengatakan ISIS tetap menjadi ancaman di sana.
Di Suriah, para milisi IS berada di ambang kekalahan di wilayah terakhirnya di Baghouz, perbatasan Irak.
Namun
mereka masih bercokol di wilayah yang jarang penduduknya di sebelah
barat Sungai Eufrat di daerah yang dikuasai pemerintah Suriah. Bagaimana Nasib Pengikut ISIS?
Nasib pemimpin ISIS, Abu Bakr al-Baghdadi, tetap menjadi misteri.
Pakar pemerintah AS sangat percaya dia masih hidup dan mungkin
bersembunyi di Irak, kata sumber-sumber AS baru-baru ini.
Sementara para pemimpin eselon tinggi ISIS lainnya tewas dalam serangan udara.
Ribuan
milisi ISIS beserta warga sipil pendukungnya juga tewas, dan ribuan
lainnya ditangkap. Jumlah milisi ISIS yang tidak diketahui tetap buron
di Suriah dan Irak.
Irak sedang mengadili, memenjarakan dan sering
mengeksekusi milisi ISIS yang tertangkap. Pasukan Demokratik Suriah
(SDF) yang didukung AS menahan ratusan milisi dan pengikut ISIS.
Menjelang
serangan terakhir di Baghouz, SDF mengatakan mereka menahan 800 milisi
ISIS asing dan lebih dari 2.000 istri dan anak-anak mereka.
SDF terus mengevakuasi sejumlah besar pengikut ISIS dari Baghouz, jadi kemungkinan jumlah ini sekarang lebih tinggi.
Banyak operasi lokal tingkat rendah telah diluncurkan di Suriah.
SDF
mengeluh bahwa negara-negara Barat enggan untuk mengambil kembali para
milisi asing, yang dianggap sebagai ancaman keamanan di tanah air
mereka. Ancaman Luar Negeri Setelah ISIS Kalah
Seorang anggota SDF berbicara dengan seorang perempuan yang meninggalkan ISIS.[Sky news]
Ketika
ISIS mempertahankan wilayah terakhirnya, kepala agen mata-mata Inggris
MI6 memperingatkan bahwa kelompok itu akan kembali menggunakan serangan
"asimetris".
Bahkan setelah mulai kehilangan kekuatan militer,
ISIS masih mengklaim bertanggung jawab atas serangan yang dilakukan di
berbagai negara, meskipun sering kali ISIS dipersalahkan sebagai dalang
tunggal.
Teror luar negeri ISIS dimulai bertahun-tahun yang lalu
ketika meminta pengikutnya di luar negeri untuk merencanakan serangan
mereka sendiri.
Pada awal 2018, kepala komando pusat militer AS mengatakan ISIS masih mampu untuk mendorong serangan di berbagai negara.
Pengaruh Kejatuhan ISIS Bagi Terorisme Global
Meskipun
wilayah inti ISIS ada di Irak dan Suriah, milisi yang bertempur di
negara-negara lain, terutama Nigeria, Yaman dan Afganistan, telah
bersumpah setia.
Apakah kelompok-kelompok itu akan tetap setia,
terutama jika Baghdadi ditangkap atau dibunuh, adalah pertanyaan
terbuka, tetapi tampaknya kecil kemungkinan mereka akan segera
mengakhiri kampanye teror mereka.
Al Qaeda juga mempertahankan
banyak waralaba di seluruh dunia, dan kelompok-kelompok militan lainnya
beroperasi di negara-negara di mana pemerintahan tidak stabil.
Ideologi teror telah lama membuktikan dirinya mampu bermutasi ketika keadaan berubah. Kekalahan ISIS
tidak menjamin hilangnya peperangan, ketidakadilan, penindasan,
kemiskinan, sektarianisme dan kebencian religius karena bisa
dieksploitasi oleh kelompok teror serupa.
Ilustrasi keluarga militan ISIS di Suriah. (Delil souleiman / AFP)
Jakarta, CB -- Ribuan anak-anak para pengikut Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS)
yang selamat dari peperangan kini kondisinya memprihatinkan. Mereka
dilaporkan mengalami tekanan psikologis akibat kerap melihat kekerasan
dan perang.
Menurut sebuah badan amal Inggris, Save the Children,
menyatakan anak-anak yang melarikan diri dari daerah kekuasaan ISIS
kemungkinan besar mengalami gangguan kejiwaan karena telah menyaksikan
tindakan brutal. Apalagi mereka juga menghadapi pengeboman dan
pertempuran yang terjadi secara intens di basis pertahanan terakhir
kelompok itu.
"Anak-anak menunjukkan tanda-tanda tekanan
psikologis, seperti perasaan gugup, tidak percaya diri, bersikap agresif
serta mengalami mimpi buruk dan mengompol, terutama anak-anak berusia
10 hingga 14 tahun," demikian keterangan Save the Children, seperti
dilansir AFP, Rabu (27/2).
"Banyak orang mungkin
membutuhkan perawatan kesehatan mental dan psikososial jangka panjang
agar dapat pulih dari apa yang mereka alami," lanjut isi pernyataan itu.
Lembaga itu mencontohkan seorang anak pengikut ISIS bernama Mai (11)
mengaku menyaksikan pemancungan dan tindak kekerasan lain. Dia
menyatakan terus teringat akan kejadian itu.
"Setiap kali mereka
melihat seorang perempuan berbicara dengan seorang lelaki, mereka akan
melempari keduanya dengan batu, dan mereka akan memenggal kepala tahanan
di depan keluarganya," katanya Mai.
"Aku selalu berusaha untuk tidak melihat ketika ada pemenggalan. Aku akan bersembunyi di belakang ibuku," lanjut Mai.
Di
kamp Al-Hol, Save the Children mengatakan telah menyiapkan ruang
rekreasi untuk anak-anak, serta pusat penanganan anak-anak yang tidak
memiliki pendamping.
"Di
antaranya pendanaan dan akses untuk manajemen permasalahan serta
layanan perlindungan, termasuk juga repatriasi anak-anak asing ke negara
asal mereka," kata direktur respons Save the Children's Suriah, Sonia
Khush.
Sonia mengatakan lebih dari 2.500 anak-anak militan asing
ISIS dari 30 negara, termasuk 1.100 yang melarikan diri dari pertahanan
terakhir ISIS, Baghouz sejak Januari, saat ini tinggal di tiga kamp
pengungsi di timur laut Suriah.
Ribuan orang diyakini tetap
berada di Baghouz yang menjadi wilayah terakhir ISIS yang pernah
menduduki Suriah dan Irak dan memerintah jutaan orang.
Menurut
lembaga Observatory for Human Rights Suriah yang berbasis di Inggris,
sekitar 50 ribu orang telah keluar dari pertahanan terakhir ISIS, di
Lembah Eufrat, sejak Desember 2018.
Perang saudara di Suriah telah menewaskan lebih dari 360 ribu orang dan
jutaan orang terlantar sejak dimulai pada 2011 dengan banyaknya
penindasan brutal atas protes anti-pemerintah.
WASHINGTON - Jet tempur siluman F-35B Amerika Serikat (AS) ternyata telah digunakan untuk membombardir basis kelompok Islamic State
atau ISIS di Suriah dan Irak selama lebih dari 50 hari. Selama ini
publik hanya mengetahui bahwa jet tempur mahal itu baru digunakan untuk
misi tempur di Afghanistan pada bulan September tahun lalu.
Kontraktor
militer dan pertahanan AS memuji misi tempur F-35B di Afghanistan.
Sedangkan, misi tempur di Irak dan Suriah baru diungkap militer
Washington baru-baru ini.
"Mereka aktif dan melakukannya dengan
sangat baik," kata Kolonel Chandler Nelms dari Unit Ekspedisi Marinir
ke-13 dalam sebuah wawancara untuk Military.com, hari Senin yang dikutip Sputnik, Rabu (27/2/2019).
Menurut
sang kolonel, Skuadron Serangan Marinir Tempur 211 melakukan 1.200 jam
terbang dalam misi tempur untuk menggempur ISIS atau Daesh. Nelms
mengatakan jumlah pertemuan antara pesawat F-35 AS dan Angkatan Udara
Rusia digambarkan oleh pihak AS minim.
Pasukan Rusia sampai saat
ini masih berada di Suriah atas permintaan Presiden Suriah Bashar
al-Assad. "Kami sadar mereka mengudara," kata seorang komandan pesawat
tempur Rusia, yang berbicara dalam kondisi anonim. "Ada beberapa deconfliction yang sudah mapan antara pasukan Rusia dan AS. Itu semua ditaati, tetapi kami sadar."
Misi
tempur pertama F-35 terjadi pada bulan September, yakni ketika jet
tempur generasi kelima AS itu melakukan serangan terhadap Taliban di
Afghanistan.
Dengan teknologi siluman, pesawat F-35 produksi
Lockheed Martin lebih sulit untuk dideteksi radar. Komandan tertinggi
AS, yakni Presiden Donald Trump dalam pidato November 2017 pernah
menyebutnya pesawat tempur yang tak terlihat.
"Dengan
Angkatan Udara, kami memesan banyak pesawat, khususnya jet tempur F-35,
yang hampir, Anda tahu, seperti sebuah jet tempur yang tak terlihat.
Saya bertanya kepada orang-orang Angkatan Udara seberapa bagus pesawat
ini, dan mereka berkata, 'Ya, Tuan, Anda tidak bisa melihatnya'. Saya
berkata ya tetapi dalam pertempuran, Anda tahu bertempur, seperti saya
menonton di film, pertempuran, mereka bertarung, seberapa bagus itu?
'Yah itu menang setiap kali, karena musuh tidak bisa melihatnya, bahkan
jika itu tepat di sebelahnya, ia tidak bisa melihatnya'. Saya mengatakan
itu membantu; itu hal yang baik," papar Trump.
Sejumlah pemuda Irak menggotong tiga
peti jenazah korban penculikan dan pembunuhan oleh pria bersenjata saat
prosesi pemakaman di Najaf, Irak, Rabu (20/2/2019). ANTARA
FOTO/Reuters/Alaa Al-Marjani/wsj.
Baghdad, Irak (CB) - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
dengan keras mengutuk serangan kekerasan terhadap pekerja kesehatan di
Irak, dan menyeru pemerintah Irak agar menjamin keselamatan pekerja
kesehatan.
Satu pernyataan dari WHO dikeluarkan setelah seorang pekerja kesehatan
diserang secara fisik saat ia memberi perawatan medis buat seorang
perempuan yang berusia 70-an tahun dan sedang sakit di Azadi Teaching
Hospital di Provinsi Kirkuk, Irak Utara.
"WHO menyeru pemerintah di Irak agar menjamin keselamatan pekerja
kesehatan, instalasi kesehatan, dan kesucian perawatan kesehatan," kata
pernyataan itu, yang mengutip Adham Rashad Ismail, Penjabat Wakil WHO di
Irak.
"Serangan semacam itu merupakan pelanggaran serius terhadap Hukum
Kemanusiaan Internasional dan melucuti hak warga yang paling rentan
--anak kecil, perempuan dan orang tua-- untuk memperoleh layanan
kesehatan dasar," kata Ismail, sebagaimana dikutip Kantor Berita China,
Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Selasa malam.
Pada 2018, sebanyak 42 serangan terhadap pekerja perawatan kesehatan
dicatat oleh WHO di Irak, 40 persen di antaranya terhadap praktisi
medis, kata pernyataan tersebut.
"Sangat penting bahwa Pemerintah Irak menjamin bahwa pekerja kesehatan
diperkenankan bekerja sepanjang waktu tanpa resiko, tak peduli lokasi
mereka, dan pasien serta instalasi kesehatan dilindungi," tambah
pernyataan itu.
Kementerian Kesehatan Irak mengatakan di jejaringnya bahwa Menterinya
Alas Ad-Dini Al-Awan menerima di kantornya dokter yang diserang di
Kirkuk dan menegaskan "dukungan penuhnya buat personel kesehatan dan
administratif di semua lembaga kesehatan dari setiap serangan saat
mereka melaksanakan tugas kemanusiaan mereka".
Ilustrasi militan ISIS. (REUTERS/Social Media Website via Reuters)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sekitar seribu militan kelompok ISIS dilaporkan kabur ke wilayah gurun di Irak,
dari basis pertahanan terakhir mereka di Suriah. Hal itu dikhawatirkan
bakal memberi mereka waktu untuk menyusun kekuatan sebelum kembali
menyerang.
Seperti dilansir Associated Press, Selasa
(26/2), militan ISIS lari karena digempur pasukan koalisi Kurdi dan
Amerika Serikat di sebelah timur Suriah. Mereka diduga bakal bergabung
dengan militan ISIS di sebelah utara Irak.
"ISIS mencoba menyusun
kekuatan di Irak, karena di Suriah mereka terdesak," kata Juru Bicara
Angkatan Bersenjata Irak, Brigjen Yahya Rasoul.
Di Irak,
militan ISIS kerap menculik, membunuh, menyergap kendaraan di jalan
untuk menakuti penduduk setempat, dan memeras warga. Jumlah mereka
sekitar 5000 sampai 7000 orang dan bersembunyi di wilayah gurun yang
tandus.
Pemerintah Irak sudah mengirim 20 ribu pasukan mereka untuk menjaga
perbatasan, tetapi para militan ISIS dari Suriah tetap bisa lolos.
Mereka memanfaatkan terowongan atau menyusup pada malam hari. Sebagian
menyamar menjadi penggembala ternak.
Menurut informasi intelijen
Irak, para militan ISIS itu tetap membawa senjata ringan seperti pistol,
dan juga mengantongi uang yang mereka peroleh ketika masih berjaya.
"Kalau
kita kirim pasukan terhebat di dunia, tidak mungkin mereka bisa
menguasai kawasan ini. Operasi kami membutuhkan bantuan informasi
intelijen dan serangan udara," ujar Rasoul.
Ketika berjaya, ISIS
menguasai sepertiga wilayah Irak dan Suriah. Sempalan Al-Qaeda itu
lantas memburu para kelompok minoritas. ISIS kemudian digempur dari dua
negara itu sampai terdesak.
Akan tetapi, militer Irak saat ini kembali waspada karena ISIS kembali
berulah, dan bahkan dikhawatirkan bisa kembali menguasai wilayah Syam.
Menurut informasi intelijen, pada Januari lalu tercatat ada sembilan
serangan yang dilakukan militan ISIS di Irak.
Mereka bahkan
membunuh tiga warga Desa Tal al-Asfour di kawasan Badush karena dituduh
menjadi mata-mata. Rekamannya lantas disebar melalui media sosial.
Menurut
kepala desa setempat, Syekh Mohamed Nouri, mereka melakukan itu untuk
membuat jera dan menekan warga supaya tidak buka mulut kepada aparat.