JAKARTA
- Pemerintah Ukraina mendesak dunia internasional, termasuk di dalamnya
Indonesia, untuk membantu mengakhiri aneksasi Rusia terhadap Crimea,
yang saat ini telah memasuki tahun kelima.
"Ukraina mendesak
masyarakat internasional dan khususnya Republik Indonesia sebagai
anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB saat ini untuk terus melanjutakan
upaya untuk menghentikan agresi hibrida Rusia terhadap Ukraina,
termasuk pendudukan temporal Crimea, dengan tujuan akhir pemulihan
integritas wilayah Ukraina di dalam perbatasannya yang diakui secara
internasional," kata Duta Besar Ukraina untuk Indonesia, Volodymyr
Pakhil dalam keterangan tertulis yang diterima Sindonews pada Selasa
(26/2).
Pakhil, dalam keterangan menuturkan bahwa lima tahun lalu
pasukan Rusia atau yang disebut "orang hijau kecil" memasuki Crimea
tanpa lencana militer. Pada awalnya, papar Pakhil, Presiden Rusia,
Vladimir Putin membantah keterlibatan negaranya, kemudian mengakui bahwa
ia telah berbohong kepada seluruh dunia.
Dengan
keberadaan “lelaki hijau kecil” bersenjata, Moskow berhasil melakukan
referendum palsu tentang transisi Crimea ke Rusia, yang tidak diakui
oleh dunia yang beradab secara demokratis.
"Yaitu, Resolusi
Majelis Umum PBB “Integritas Teritorial Ukraina” menegaskan komitmen
terhadap integritas teritorial Ukraina dalam batas-batasnya yang diakui
secara internasional dan menggarisbawahi ketidakabsahan referendum palsu
yang disebutkan. Dokumen itu didukung oleh 100 negara anggota PBB. Oleh
karena itu, sejak awal Rusia mendapati dirinya berada dalam isolasi
internasional, yang didukung hanya oleh 10 negara yang memiliki catatan
demokrasi serupa dengan Moskow," ucapnya.
Dia
kemudian menambahkan, pendudukan sementara Crimea berarti bahwa, untuk
pertama kalinya sejak 1940-an, sebuah negara Eropa merebut sebagian
wilayah dari tetangga dengan paksa, sehingga secara besar-besaran
melanggar hukum dan ketertiban internasional.
"Selain itu,
pendudukan Crimea menjadi awal perang hibrida Rusia melawan Ukraina,
termasuk agresi militer yang sedang berlangsung di timur Ukraina serta
perang informasi yang sangat besar. Untuk beberapa alasan, kampanye
disinformasi besar-besaran dan intervensi agresif ke dalam urusan
internal Ukraina serta banyak negara lain menjadi praktik umum bagi
Kremlin," tukasnya.
JAKARTA
- Ukraina menyatakan Rusia saat ini telah menjadikan Crimea sebagai
pangkalan militer mereka di Semenanjung Laut Hitam. Crimea, di mata
Ukraina, adalah wilayah yang dianeksasi Rusia lima tahun lalu.
Duta
Besar Ukraina untuk Indonesia, Volodymyr Pakhil dalam keterangan
tertulis yang diterima Sindonews pada Selasa (26/2), menuturkan
pelanggaran HAM terus menerus dilakukan oleh Rusia di Crimea.
Namun,
selain pelanggaran HAM, papar Pakhil, Moskow juga mengubah Krimea
menjadi pangkalan militer besar, mengubah keseimbangan keamanan
regional.
"Orang
tidak dapat mengesampingkan bahwa militerisasi Krimea dapat digunakan
untuk memperluas agresi Rusia terhadap Ukraina ke wilayah Ukraina baru
dengan kemungkinan upaya pendudukan Laut Azov dan bagian selatan
Ukraina," tulisnya.
"November lalu, Rusia melakukan satu lagi
tindakan agresi terbuka terhadap Ukraina dengan cara serangan bersenjata
dan penangkapan kapal-kapal angkatan laut Ukraina di perairan
internasional Selat Kerch dan Laut Azov, serta melukai dan menangkap
anggota kru mereka," sambung Pakhil.
Dia lalu menuturkan, Ukraina
sangat menyambut keputusan Majelis Umum PBB pada akhir tahun lalu untuk
mengadopsi Resolusi "Masalah militerisasi Republik Otonomi Crimea dan
kota Sevastopol (Ukraina), serta bagian dari Laut Hitam dan Laut Azov",
mendesak Rusia menarik pasukan bersenjatanya dari Krimea.
"Pada
saat yang sama, sanksi terhadap Rusia terbukti menjadi salah satu
langkah terkuat yang diterapkan oleh komunitas internasional untuk
mendukung Ukraina, 41 negara saat ini telah menjatuhkan sanksi terhadap
Rusia untuk agresi terhadap Ukraina. Sanksi-sanksi ini harus tetap
berlaku sampai de-pendudukan wilayah Ukraina terjadi," tukasnya.
JAKARTA
- Duta Besar Ukraina untuk Indonesia, Volodymyr Pakhil menuturkan,
pihak yang paling rentan akibat aneksasi Rusia atas Crimea, yang saat
ini telah memasuki tahun kelima adalah kelompok Muslim Tatar.
Dalam
keterangan tertulis yang diterima Sindonews pada Selasa (26/2), Pakhil
menuturkan pendudukan sementara Crimea berarti bahwa, untuk pertama
kalinya sejak 1940-an, sebuah negara Eropa merebut sebagian wilayah dari
tetangga dengan paksa, sehingga secara besar-besaran melanggar hukum
dan ketertiban internasional.
Selain itu, pendudukan Crimea
menjadi awal perang hibrida Rusia melawan Ukraina, termasuk agresi
militer yang sedang berlangsung di timur Ukraina serta perang informasi
yang sangat besar.
"Untuk
beberapa alasan, kampanye disinformasi besar-besaran dan intervensi
agresif ke dalam urusan internal Ukraina serta banyak negara lain
menjadi praktik umum bagi Kremlin," tulis Pakhil.
Dia lalu
menuturkan, Crimea sekarang menjadi zona ilegalitas dan pelanggaran
hukum bagi semua orang yang menolak bekerja sama dengan Rusia. Kelompok
yang paling rentan adalah Tatar Crimea, di mana mayoritas dari mereka,
dipenjara secara ilegal di bawah motif politik. Kremlin, lanjut Pakhil
juga melarang Parlemen Nasional Tatar Crimea, serta media, pendidikan,
budaya, dan agama Tatar telah dilecehkan secara sistematis.
"Lebih
dari 70 Tatar Muslim dan etnis Ukraina lainnya tetap ditahan secara
ilegal di bawah dakwaan yang bermotivasi politik dan tidak memiliki
hukum di Rusia dan Crimea yang diduduki Rusia. Daftar ini diperbarui
berdasarkan bergulir ketika penangkapan baru, penahanan dan keputusan
pengadilan berlangsung. Aktivis hak asasi manusia, pengacara, dan semua
orang yang memberikan dukungan kepada warga Ukraina, termasuk Tatar
Crimea, berada di bawah tekanan konstan," ucapnya.
Diplomat
Kiev itu menyebut larangan Moskow bagi pengawas internasional dan
lembaga bantuan untuk masuk ke Crimea membuat hampir tidak mungkin untuk
memberikan bantuan yang diperlukan bagi mereka yang sangat membutuhkan
di wilayah di Semenanjung Laut Hitam itu.
"Karena tidak ada
lembaga penegakan hukum independen dan pengadilan yang adil di Rusia,
satu-satunya alat adalah untuk melanjutkan dan memperkuat tekanan
politik dan sanksi internasional. Pelanggaran hak asasi manusia dan
nasional di Krimea oleh Rusia telah berulang kali dikutuk oleh PBB dan
organisasi internasional lainnya," tukasnya.
BRUSSELS
- Menteri Luar Negeri Uni Eropa (UE), Federica Mogherini menyatakan, UE
dapat menjatuhkan sanksi baru terhadap Rusia atas Crimea. Pernyataan
ini datang beberapa hari jelang peringatan apa yang disebut aneksasi
Crimea oleh Rusia.
"Mungkin ada keputusan dengan suara bulat
tentang sanksi baru yang akan datang dalam beberapa minggu ke depan
terkait dengan perkembangan terakhir," kata Mogherini dalam menanggapi
pertanyaan tentang kemungkinan sanksi baru terhadap Moskow.
Dia
menuturkan UE telah menjatuhkan sanksi terhadap Rusia selama lima tahun
terakhir. Mogherini mengatakan bahwa blok itu juga terus-menerus
memperbarui sanksi-sanksi tersebut.
"Ini
mengingat kenyataan bahwa kami belum melihat implementasi perjanjian
Minsk dan kami belum melihat perkembangan berjalan dengan baik,"
ungkapnya, seperti dilansir Anadolu Agency pada Selasa (18/2).
"Tujuan
dari sanksi adalah bahwa suatu hari itu akan dicabut, tetapi kami tidak
melihat langkah-langkah positif dan inilah mengapa negara anggota UE
sejauh ini selalu menegaskan kembali keinginan mereka untuk
mempertahankannya," tambahnya.
Ukraina bagian timur telah dilanda konflik sejak Maret 2014 setelah aneksasi Crimea oleh Rusia.
Pihak-pihak
yang bertikai kemudian menandatangani perjanjian gencatan senjata di
Minsk pada Februari 2015 dengan mediasi Prancis dan Jerman, tetapi
pertempuran berlanjut, merenggut lebih dari 10 ribu jiwa.
Rusia selesaikan pembangunan pagar perbatasan Ukraina-Crimea. Foto/Istimewa
MOSKOW - Rusia mengumumkan telah menyelesaikan penghalang perbatasan antara Ukraina dan Crimea. Konstruksi yang membutuhkan waktu lebih dari setahun pembangunannya itu membutuhkan dana kurang dari Rp43,7 miliar.
Penawaran untuk membangun pagar setinggi dua meter, panjang 60 kilometer yang memisahkan semenanjung Ukraina dibuka pada September 2017. Dinas Keamanan Federal (FSB) mengumumkan penyelesaian proyek pada hari Kamis. Kontrak tersebut diperkirakan sekitar USD2,87 juta atau Rp41,8 miliar.
Seperti dilansir dari RT, Sabtu (29/12/2018), pagar pembatas ini dilaporkan dilengkapi dengan perangkat pengawasan teknologi tinggi, mulai dari sensor getaran hingga kamera night vision.
Kemampuan Rusia untuk membangun pagar dengan begitu cepat dan dengan biaya yang cukup rendah telah mendorong beberapa komentar tajam tentang Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan ketidakmampuannya untuk bahkan memulai pembangunan temboknya di perbatasan dengan Meksiko.
Di antara komentar yang lebih konstruktif adalah pernyataan dari seorang Amerika Russophile yang menggambarkan dirinya sendiri bahwa Rusia harus diberi kontrak untuk membangun tembok Trump. Jika harga pagar Crimea diekstrapolasi untuk panjang perbatasan AS selatan, itu bisa dilakukan untuk sekitar Rp2,1 triliun, katanya.
Dewan Perwakilan Rakyat AS mengeluarkan undang-undang alokasi dana Rp77,2 triliun untuk tembok dan langkah-langkah keamanan perbatasan lainnya awal bulan ini. Tetapi Demokrat menolak menyetujui pendanaan untuk pembangunan tembok, sama sekali, selamanya. Trump telah mengancam akan menutup seluruh perbatasan jika halangan berlanjut.
Kebuntuan ini telah menyebabkan penutupan sebagian pemerintah AS yang telah berlangsung seminggu dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir.
Rusia mengerahkan lebih dari selusin jet tempur Su-27 dan Su-30 ke Crimea di tengah ketegangan dengan Ukraina. Foto/Istimewa
BELBEK - Lebih dari selusin jet tempur Su-27 dan Su-30 dikerahkan Rusia untuk meningkatkan kekuatan udaranya tiba di Crimea. Pengerahan sejumlah jet tempur ini dilakukan di tengah meningkatnya ketegangan dengan Ukraina.
Seperti disitir dari Reuters, Minggu (23/12/2018), seorang saksi melihat jet-jet itu mendarat di pangkalan udara Belbek di Crimea yang dianeksasi oleg Rusia pada 2014. Crimea dianeksasi Rusia setelah Presiden Ukraina yang condong ke Moskow, Viktor Yanukovich, melarikan diri dari Kiev menyusul bentrokan di jalan-jalan dan aksi protes keras.
Ketegangan antara Moskow dan Kiev telah meningkat dalam beberapa pekan terakhir setelah Rusia menangkap tiga kapal angkatan laut Ukraina dan awaknya pada 25 November silam dalam sebuah insiden yang diwarnai saling tuding antara Moskow dan Kiev.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menuduh Ukraina sedang mempersiapkan "provokasi" di dekat Crimea sebelum akhir tahun.
MOSKOW
- Dua pekan usai pasukan Rusia menangkap tiga kapal militer Ukraina dan
para awaknya, Moskow semakin gencar menumpuk pasukan di Crimea. Setelah
mengerahkan tambahan sistem pertahanan rudal canggih S-400 ke sekitar
wilayah Crimea, Moskow kini menerbangkan tiga pesawat Ilyushin-76 ke
lokasi yang sama.
Citra satelit Imagesat International yang
diambil pada hari Sabtu menunjukkan tiga pesawat itu terlihat di
pangkalan udara Dzhankoi di Crimea. Gambar satelit itu ikut dirilis Fox News, Senin (10/12/2018).
Sekadar
diketahui, pesawat kargo Ilyushin-76 biasa digunakan oleh Angkatan
Darat Rusia untuk mengirimkan kargo besar atau berat yang tidak bisa
dibawa melalui jalur darat. Pesawat kargo juga digunakan untuk
memobilisasi sejumlah besar pasukan.
Penumpukan pasukan oleh
Moskow ini kian gencar sejak Crimea bergabung dengan Rusia tahun 2014.
Wilayah itu sebelumnya bagian dari Ukraina, namun memisahkan diri
melalui referendum. Namun, Kiev dan negara-negara Barat tak mengakui
referendum itu dan menganggap Rusia menganeksasi Crimea secara ilegal.
Meski
dari citra satelit ada tiga pesawat Ilyushin yang berada di Crimea,
laporan media sosial di Rusia menyebutkan ada empat pesawat seperti itu
yang terbang pada 6 Desember dari bandara Anapa di Novorossiysk dan
mendarat di Dzhankoi.
Pangkalan unit elite pasukan Angkatan Udara
Rusia juga terletak di Novorossiysk, tidak jauh dari Anapa. Pasukan
elite itu dilaporkan berpartisipasi dalam putaran terakhir kekerasan
antara Ukraina dan Rusia pada Agustus 2014 dan terlibat dalam
pertempuran di Suriah.
Penumpukan pasukan Moskow ini terjadi
ketika Kementerian Pertahanan Ukraina memperingatkan bahwa pihaknya akan
segera mengirimkan kapal-kapal angkatan laut melalui Selat Kerch.
Parlemen
Ukraina telah menyetujui pemberlakukan undang-undang darurat militer
setelah Rusia menangkap tiga kapal angkatan laut Kiev di pantai Crimea,
Selat Kerch, dua pekan lalu.
"Ukraina akan mengirim kapal-kapal
(angkatan) laut melalui Selat Kerch segera, jika tidak, Rusia akan
sepenuhnya menduduki Laut Azov," kata Menteri Pertahanan Ukraina Stepan
Poltorak, pekan lalu.
WASHINGTON
- Citra satelit yang diambil pada hari Minggu menunjukkan sejumlah
baterai sistem rudal S-400 Moskow yang baru dikerahkan di pangkalan
udara Dzhankoy, Crimea. Pengerahan senjata pertahanan canggih ini
terjadi sepekan setelah kapal militer Rusia dan Ukraina bentrok di Selat
Kerch.
Gambar satelit yang merupakan data intelijen Amerika Serikat (AS) itu diperoleh Fox News dan dipublikasikan hari Senin (3/12/2018).
Gambar
yang dihasilkan oleh ImageSat International itu menunjukkan bahwa
infrastruktur untuk baterai S-400 disiapkan dalam beberapa bulan
terakhir, atau jauh hari sebelum bentrok kapal militer Moskow dan Kiev
pecah 25 November.
Citra satelit juga menampikan kondisi lapangan
pada April 2018 yang masih berupa tanah kosong. Konstruksi untuk
penempatan senjata pertahanan itu dimulai pada 10 November.
Ada
delapan baterai S-400 yang dibagi menjadi empat. Semuanya terletak di
wilayah barat daya pangkalan udara Dzhankoy. Selain itu juga ada dua
sistem radar dan beberapa truk di dekatnya, yang salah satunya diduga
membawa rudal untuk S-400.
Sistem rudal S-400 mobile
memiliki jangkauan hingga hampir 250 mil dan dapat menjangkau pada
ketinggian hampir 19 mil. Sistem ini dimaksudkan untuk menjatuhkan
berbagai target udara, mulai dari pesawat terbang hingga rudal balistik.
Pada
28 November 2018, Kementerian Pertahanan Rusia mengeluarkan pernyataan
bahwa dalam beberapa hari setelah bentrok kapal militer yang
mengisyaratkan akan mengerahkan tambahan sistem rudal S-400 di Crimea.
Crimea
adalah wilayah yang melepaskan diri dari Ukraina melalui referendum
tahun 2014. Sejak itu, Crimea bergabung dengan Rusia. Namun, Ukraina dan
negara-negara Barat tidak mengakui referendum itu dan menganggapnya
sebagai aneksasi ilegal oleh Moskow.
Moskow sebelumnya telah
memperkuat pertahanan militer di semenanjung Laut Hitam dengan tiga
sistem rudal S-400 sejak 2017. Pengerahan tambahan senjata pertahanan
itu akan memperkuat yang sudah ada.
KIEV
- Kementerian Luar Negeri Ukraina mengutuk rencana Rusia untuk
menyebarkan sebuah batalion sistem pertaahanan udara S-400 ke
semenanjung Crimea. Kiev menyebut langkah ini hanya akan memperburuk
situasi.
Direktur Politik Kemlu Ukraina, Olexiy Makeyev
mengatakan bahwa pengiriman sistem pertahanan udara itu sangat berbahaya
tidak hanya untuk Ukraina, tetapi seluruh wilayah Laut Hitam.
"Jangkauan
operasional sistem itu mencapai 400km sehingga menempatkan semua negara
di wilayah Laut Hitam, termasuk anggota NATO di bawah ancaman serangan.
Kami tahu bahwa rudal itu dapat digunakan juga untuk target darat,"
ucap Makeyev.
Makeyev mengatakan bahwa Moskow telah militerisasi
Crimea sejak 2014, dengan membawa sistem senjata baru termasuk pesawat
dan rudal yang mampu membawa hulu ledak nuklir serta personil militer.
"Pendudukan
dan militerisasi berikutnya di Crimea adalah perluasan area penggunaan
kapal perang Rusia dan pesawat militer di Laut Hitam dan mungkin jauh
melampauinya, bahkan di wilayah Mediterania," ungkapnya.
"Militerisasi
semacam itu memiliki konsekuensi luas untuk keamanan tidak hanya di
wilayah Laut Hitam tetapi di seluruh Eropa selatan, serta Afrika Utara
dan Timur Tengah," tukasnya.
CB, Jakarta - Rusia
akan mengerahkan sistem rudal pertahanan udara terbarunya, S-400, di
semenanjung Crimea, setelah insiden penyitaan kapal perang Ukraina di Selat Kerch, Crimea yang berujung pada darurat militer Ukraina.
Kantor
berita Interfax, seperti dikutip dari Reuters, 28 November 2018,
melaporkan pengerahan S-400 terjadi setelah Ukraina memberlakukan
darurat militer selama 30 hari di beberapa bagian negara menyusul
penyitaan tiga kapal perang Ukraina oleh RFusia di lepas pantai Crimea
pada Minggu 25 November.
Kantor berita RIA mengatakan sistem S-400 akan beroperasi pada akhir tahun ini.
Sebuah
kapal perang bersenjata artileri miliki Ukraina dan kapal tunda
terlihat berlabuh di pelabuhan Kerch, Crimea, Rusia pada 26 November
2018. Reuters
Sementara media Rusia Sputniknews melaporkan
aktivitas pesawat pengintai asing dan pesawat tanpa awak meningkat di
dekat perbatasan Rusia, terutama di wilayah Crimea dan Krasnodar.
Boeing
P-8 Poseidon, sebuah pesawat militer yang dikembangkan untuk Angkatan
Laut Amerika Serikat melakukan penerbangan pengintaian di Selat Kerch
dan Krimea pada 27 November, berdasarkan pemantauan situs PlaneRadar.
Pesawat
dengan nomor ekor 168848 adalah bagian dari VP-26 Tridents dan
merupakan skuadron pesawat Angkatan Laut Amerika Serikat. Pesawat
mendekati garis pantai semenanjung pada jarak 31 kilometer.
Boeing P-8 Poseidon.[www.militaryaerospace.com]
Boeing
P-8 Poseidon adalah pesawat patroli anti-kapal selam yang dirancang
untuk mendeteksi dan menghancurkan kapal selam musuh di area patroli,
pengintaian, partisipasi dalam operasi anti-kapal dan misi penyelamatan.
Insiden terjadi hanya beberapa hari setelah tiga kapal Ukraina
melintasi perbatasan maritim Rusia. Dinas Keamanan Federal Rusia (FSB)
melaporkan bahwa kapal-kapal perang Ukraina berlayar menuju Selat Kerch,
sebuah pintu masuk ke Laut Azov, yang kemudian disita oleh Rusia.
Jakarta, CB -- Pengadilan di Simferopol, Krimea memerintahkan dua bulan penahanan pra-ajudikasi bagi sembilan awak kapal angkatan laut Ukraina yang ditangkap dalam konfrontasi laut dengan Rusia.
Penahanan yang diputuskan pada Selasa (27/11) itu diprediksi bakal
semakin meningkatkan intensitas ketegangan antara Moskow dan Kiev.
Melansir AFP,
penahanan itu dipastikan bakal menyulut emosi Ukraina yang gencar
menuntut pembebasan para awak kapal dan mendesak sekutu Barat untuk
menjatuhkan sanksi terhadap Rusia.
Sebelumnya, sebanyak 24 pelaut
ditahan oleh Moskow sejak Minggu (25/11). Mereka ditangkap setelah
Rusia menahan dua kapal angkatan laut Ukraina yang mengawal sebuah kapal
tunda di Laut Hitam, berdekatan dengan Semenanjung Krimea.
Insiden itu merupakan konfrontasi besar pertama sejak usainya konflik berkepanjangan di antara kedua negara pada 2014 lalu.
Presiden
Rusia, Vladimir Putin mengingatkan Ukraina atas keputusannya
memberlakukan status darurat militer sebagai tanggapan atas penangkapan
tersebut. Putin menyebut langkah tersebut sebagai tindakan sembrono yang
dilakukan Ukraina.
Dalam percakapannya dengan Kanselir Jerman,
Angela Merkel, Putin menyatakan kekhawatirannya atas insiden tersebut.
Dia berharap agar Jerman bisa turut membantu Rusia untuk menghalangi
Ukraina melakukan tindakan yang lebih sembrono.
Dalam beberapa hari ke belakang, sejumlah pihak mengeluarkan seruan
agar Rusia membebaskan kapal beserta awak kapal yang ada di dalamnya.
Sejumlah negara Uni Eropa menyatakan dukungannya untuk Ukraina pada
Senin (25/11).
Namun, seolah tak peduli, Rusia malah bersikeras
bahwa kapal-kapal tersebut menyeberang secara ilegal ke perairan Rusia
dan mengabaikan peringatan dari petugas di perbatasan. Rusia juga
menuduh adanya campur tangan negara-negara Barat dalam tindakan
provokasi yang dilakukan Ukraina ini.
Menteri Luar Negeri
Austria, Karin Kneissl, mengatakan bahwa Uni Eropa bakal
mempertimbangkan sanksi lebih lanjut terhadap Rusia akibat serangan yang
dilakukannya.
CRIMEA
- Pasukan Rusia menembaki kapal-kapal Angkatan Laut Ukraina setelah
dianggap menerobos wilayah Crimea yang dinyatakan sebagai wilayah
kedaulatannya. Selama ketegangan berlangsung hari Minggu petang, tiga
kapal militer Ukraina ditangkap.
Angkatan Laut Ukraina mengatakan
tiga pelautnya terluka dan dua kapal artileri mereka terkena tembakan
Rusia di pantai Crimea, Laut Hitam. Angkatan Laut Ukraina bersikeras
Rusia telah diberitahu sebelumnya tentang perjalanan kapal-kapalnya yang
direncanakan.
"Kapal penjaga pantai Rusia melakukan tindakan agresif secara terbuka terhadap kapal angkatan laut Ukraina," katanya.
Dinas
Keamanan Federal (FSB) Rusia mengatakan, pihaknya menggunakan senjata
setelah kapal-kapal Ukraina mengabaikan desakan untuk menghentikan
operasinya. FSB membenarkan bahwa tiga kapal Kiev disita karena
menerobos perbatasan secara ilegal.
Menurut FSB, tiga pelaut yang terluka menerima perawatan medis dan hidup mereka tidak dalam bahaya.
"Peristiwa
berbahaya hari ini di Laut Azov menunjukkan bahwa sebuah front baru
agresi Rusia secara terbuka," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri
Ukraina, Mariana Betsa, seperti dikutip Sky News, Senin (26/11/2018).
"Ukraina kini menyerukan pertemuan darurat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)," ujar Betsa.
Sebaliknya,
FSB mengklaim apa yang terjadi di pantai Crimea itu adalah hasil
provokasi Kiev. "FSB memiliki bukti tak terbantahkan bahwa Kiev
mempersiapkan dan mengatur provokasi di Laut Hitam," kata FSB dalam
sebuah pernyataan.
"Bahan-bahan (bukti) ini akan segera dipublikasikan," imbuh FSB.
Uni Eropa menyerukan Rusia dan Ukraina untuk menahan diri untuk mengurangi ketegangan di Laut Hitam.
"Mendesak Rusia untuk mengembalikan kebebasan navigasi melalui Selat Kerch setelah Moskow memblokadenya," kata pihak Uni Eropa.
Sekedar
diketahui, Crimea melalui referendum melepaskan diri dari Ukraina tahun
2014 saat negara itu dilanda krisis ekonomi dan politik. Setelah
melepaskan diri, Crimea menyatakan bergabung dengan Rusia.
Namun,
Ukraina dan negara-negara Barat tak mengakui referendum dan menuduh
Moskow menganeksasi wilayah tersebut. Setelah Crimea bergabung dengan
Rusia, Presiden Vladimir Putin menerbitkan peta yang menyatakan Crimea
bagian dari wilayah Rusia.
Ilustrasi Angkatan Laut Rusia di Semenanjung Krimea. (CNN)
Jakarta, CB -- Angkatan bersenjata Rusia dikabarkan menahan 3 buah kapal milik Angkatan Laut Ukraina
pada Minggu waktu setempat. Hal itu membuat hubungan kedua negara
tetangga itu kembali tegang dan membuka peluang terjadinya konflik baru,
selepas Negeri Beruang Merah mencaplok Semenanjung Krimea dari Ukraina
empat tahun lalu.
Menurut Badan Intelijen Rusia (FSB), insiden
itu terjadi ketika dua kapal AL Ukraina berukuran kecil dilengkapi
meriam yang mengawal sebuah kapal tunda melintas di Laut Hitam dekat
Semenanjung Krimea. AL Rusia lantas siaga dan memblokir perairan dengan
menempatkan kapal tanker dan kapal penjaga pantai di perairan itu.
Hanya saja, Rusia beralasan kapal AL Ukraina tetap melintas dan
mengabaikan peringatan. Mereka lantas terlibat duel dengan masing-masing
melancarkan manuver. Alhasil, penjaga pantai Rusia melepaskan tembakan
ke arah kapal AL Ukraina dan melukai sejumlah pelaut.
"Kami
terpaksa menggunakan senjata untuk menghentikan kapal perang Ukraina.
Hasilnya, kami menyita tiga kapal Ukraina yang disita," demikian
pernyataan FSB, sebagaimana dilansir Reuters, Senin (26/11).
Angkatan
Udara Rusia juga mengirim sebuah helikopter dan dua jet tempur untuk
berpatroli di Laut Hitam. Mereka menyatakan kapal perang Ukraina dan
helikopter tempur itu bahkan sudah dalam keadaan saling kunci dan siap
melepaskan tembakan.
Menurut versi Ukraina, Rusia justru
menyerang dan menyita kapal setelah menjauh dan hendak kembali Pelabuhan
Laut Hitam di Odessa. Mereka mengaku Rusia bertindak agresif dengan
menabrak dan menembaki kapal itu.
"Setelah kami pergi sejauh 12 mil laut, FSB menembaki armada kecil AL Ukraina," demikian pernyataan angkatan bersenjata Rusia.
Karena hal itu, Presiden Ukraina Petro Poroshenko menggelar rapat
darurat dengan petinggi militer dan penasihat keamanannya. Dia juga
mendesak parlemen supaya menetapkan status darurat militer atas sikap
Rusia.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan
akan menggelar rapat darurat pada pukul 11.00 waktu New York, Amerika
Serikat untuk membahas masalah itu. Kabarnya permintaan itu disampaikan
langsung oleh Ukraina dan Rusia.
Konflik antara Rusia dan
Ukraina belum reda sejak pencaplokan Krimea pada 2014. Ukraina menuding
Rusia menghasut penduduk di perbatasan sebelah timur dengan mengirim
tentara bayaran dan mempersenjatai kelompok separatis.
WASHINGTON
- Amerika Serikat (AS) menampar lebih dari selusian individu dan
perusahaan Rusia dengan sanksi terkait Crimea. Para individu dan
perusahaan Rusia itu dianggap mendapatkan keuntungan dari pencaplokan
dan pendudukan ilegal wilayah Crimea di Ukraina.
Departemen
Kantor Pengawasan Aset Luar Negeri Departemen Keuangan (OFAC)
mengumumkan hukuman yang dimandatkan oleh kongres, beberapa di antaranya
merupakan sanksi tambahan bagi individu dan entitas yang telah masuk
dalam daftar hitam pemerintah AS.
Langkah ini dilakukan hanya
beberapa hari sebelum Presiden Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir
Putin diharapkan bertemu sebentar, tetapi tidak untuk pertemuan skala
penuh, akhir pekan ini di Paris selama peringatan 100 tahun berakhirnya
Perang Dunia I.
"Departemen Keuangan tetap berkomitmen untuk
menargetkan entitas yang didukung Rusia yang mencari keuntungan dari
aneksasi ilegal Rusia dan pendudukan Crimea," Menteri Keuangan di Bawah
Sekretaris Terorisme dan Intelijen Keuangan Sigal Mandelker mengatakan
dalam sebuah pernyataan.
"Sanksi kami adalah pengingat yang jelas
bahwa upaya untuk menormalkan investasi dan hubungan ekonomi dengan
mereka yang beroperasi di Crimea tidak akan ditoleransi dan tunduk pada
otoritas sanksi AS dan Uni Eropa," tambahnya seperti dikutip dari The Washington Times, Jumat (9/11/2018).
Menurut
pejabat Departemen Keuangan, sanksi tersebut menggarisbawahi dukungan
AS untuk Ukraina dan Uni Eropa (UE). Sanksi itu juga menyoroti sikap
oposisi Washington terhadap aneksasi dan pendudukan Kremlin atas Crimea
serta penggunaan kekuatan untuk mengontrol bagian-bagian Donetsk dan
wilayah Luhansk di Ukraina timur.
MOSKOW
- Pembantaian massal terjadi di sekolah teknik di Kerch, Crimea, Rabu
(17/10/2018). Pembantaian yang dimulai dengan rentetan ledakan dan
berlanjut dengan "hujan" tembakan ini menewaskan 18 orang termasuk salah
satu pelaku yang melakukan aksi bunuh diri.
Dari insiden ini ada
sebuah kemiripan yang mengejutkan. Tindakan pelaku, Vladislav Roslyakov
(18), sangat mirip dengan pola pembantain di SMA Columbine, Amerika
Serikat (AS), pada 1999 lalu yang dilakukan oleh Eric Harris dan Dylan
Klebold.
Seperti dikutip dari Russia Today,
Kamis (18/10/2018), sama seperti duo Eric Harris dan Dylan Klebold,
Roslyakov tercatat sebagai siswa senior di sekolah tersebut. Ia
menyerang teman-temannya dengan senapan, menewaskan sedikitnya 18 orang
dan melukai hampir 50 orang. Ia kemudian menghabisi dirinya sendiri.
Sementara duo maut Harris dan Klebold membunuh 12 siswa dan satu guru, melukai 21 orang lainya, dan juga bunuh diri setelah itu.
Kemiripan
lain adalah Roslyakov meledakkan bom rakitan, serta memberondong
tembakan, dengan ledakan yang tampaknya menghantam kantin kampus. Pelaku
tragedi Columbine juga menyiapkan beberapa IED (bom rakitan), termasuk
tangki propana yang diubah menjadi bom yang ditempatkan di kafetaria
sekolah, tetapi bom mereka gagal meledak.
Pembantaian Columbine
High School 1999 di Littleton, Colorado dianggap sebagai salah satu
pembunuhan massal paling mematikan dalam sejarah AS. Terlebih lagi,
tragedi itu telah melahirkan seluruh komunitas online "Columbiners" yang
terobsesi dengan pembantaian dan pelakunya, Eric Harris (18) dan Dylan
Klebold (17).
Media AS telah melaporkan bahwa orang-orang
Columbin cenderung menjadi anak muda yang tertarik pada para pelaku pada
tingkatan pribadi, sementara yang lain tertarik dengan kasus ini karena
tertarik pada kriminologi dan psikologi. Penembak massal dan pembunuh
berantai lainnya juga membuat penampilan di halaman-halaman fans tragedi
Columbine.
Meskipun penembakan di sekolah jarang terjadi di
Rusia, negara itu sejatinya sudah menghadapi serangan yang terinspirasi
tragedi Columbine awal tahun ini. Seorang remaja menyerbu sekolahnya di
Republik Bashkortostan, menyerang guru sekolah dan teman-teman
sekelasnya, dan mencoba untuk membakar gedung itu. Empat orang terluka
dalam insiden itu. Laporan media mengklaim penyerang, yang hanya dikenal
sebagai Artem, mendapat inspirasi dari tragedi Columbine.
Dalam
insiden lain Desember lalu, seorang siswa dengan kapak menyerbu sebuah
sekolah di kota Ulan-Ude di Siberia dan menggunakan bom Molotov untuk
membakar gedung itu. Tujuh orang terluka, dan tidak jelas apa yang
benar-benar mengilhami penyerang tetapi hubungan dengan tragedi
Columbine pasti ditarik.
Sementara terkait serangan terbaru ini,
menjadi tugas penyidik untuk mengetahui apakah penyerang perguruan
tinggi di Kerch terinspirasi oleh pembantaian Columbine di AS yang
terkenal itu.
Moskow sendiri tampaknya menganggap serius masalah
ini. Pada bulan Juli, komite Duma Negara Rusia untuk keluarga, wanita
dan anak-anak menyusun undang-undang yang memerintahkan tindakan
mendesak terhadap kelompok-kelompok internet yang mempromosikan serangan
bunuh diri dan sekolah anak-anak.
MOSKOW - Presiden Rusia Vladimir Putin mengutuk pembantaian massal di sebuah sekolah teknik di Kerch, Crimea, pada hari Rabu. Sekitar 18 orang tewas setelah rentetan ledakan dan hujan tembakan terjadi di sekolah tersebut.
Putin
sedang melakukan pertemuan dengan pemimpin Mesir di selatan resor Sochi
saat serangan mengerikan yang melibatkan seorang siswa itu terjadi.
"Ini jelas merupakan kejahatan!," kata Putin. "Motifnya akan diselidiki secara hati-hati," ujarnya, seperti dikutip Reuters, Kamis (18/10/2018).
Dewan Eropa menyampaikan belasungkawa atas tragedi di Kerch, Crimea.
"Menghancurkan.
Tragis. Tidak ada yang sepenting nyawa anak-anak kami. Kami
menyampaikan belasungkawa kami kepada semua orang yang dekat dengan para
korban," kata juru bicara Dewan Eropa Daniel Holgen kepada Sputnik atas
nama Sekretaris Jenderal Thorbjorn Jagland.
Wakil Perdana Menteri Italia Matteo Salvini mengucapkan belasungkawa kepada keluarga korban dalam serangan di Kerch.
"Saya
menyampaikan belasungkawa kepada keluarga orang-orang yang terbunuh
hari ini selama serangan teroris ini di sekolah tinggi di Kerch. Ini
sangat mengkhawatirkan saya," kata Salvini.
Kanselir Jerman
Angela Merkel juga menyampaikan belasungkawa. "Laporan yang
menghancurkan tentang serangan terhadap sebuah sekolah di Crimea;
Kanselir Merkel berduka atas banyak nyawa muda yang hilang. Simpati kami
tertuju ke keluarga para korban dan semua yang terluka," kata juru
bicara pemerintah Jerman, Steffen Seibert, di Twitter.
Pembantaian
di sekolah itu dimulai dengan rentetan ledakan dan berlanjut dengan
"hujan" tembakan. Sebanyak 18 orang tewas termasuk salah satu pelaku
yang melakukan aksi bunuh diri.
Direktur sekolah, Olga
Grebennikova, meyakini pelaku lebih dari satu orang. Dia menggambarkan
adegan mengerikan yang dia lihat ketika dia memasuki gedung kampus
setelah serangan terjadi.
"Ada
mayat di mana-mana, tubuh anak-anak di mana-mana. Itu adalah tindakan
terorisme yang nyata. Mereka meledakkan dalam lima atau 10 menit setelah
saya pergi. Mereka meledakkan segala sesuatu di aula, kaca
berterbangan," kata Grebennikova, yang dikutip Reuters.
"Mereka
kemudian berlari melemparkan semacam peledak ke sekeliling, dan
kemudian berlari mengelilingi lantai dua dengan senjata, membuka pintu
kantor, dan membunuh siapa pun yang bisa mereka temukan," ujarnya.
Crimea
saat ini merupakan wilayah Rusia setelah dianeksasi dari Ukraina pada
tahun 2014. Aneksasi ini tak pernah diakui Ukraina dan negara-negara
Barat.
Pihak berwenang Rusia menyatakan pembantaian terjadi ketika seorang
siswa 18 tahun bernama Vladislav Roslyakov masuk ke sebuah ruangan dan
menembaki sesama murid. Roslyakov kemudian bunuh diri.
Sebelum
Roslyakov beraksi, rentetan ledakan terdengar keras di sekolah tersebut.
Investigator Rusia menemukan jasad Roslyakov di lokasi kejadian dengan
tubuh luka tembak yang ditimbulkannya sendiri.
Sejauh ini belum
ada petunjuk langsung tentang motif pembantaian massal ini. Serangan
tersebut mengingatkan kembali pada penembakan serupa yang dilakukan oleh
siswa di sekolah-sekolah Amerika Serikat.
Banyak korban dari serangan adalah siswa remaja. Tubuh mereka rata-rata terkena pecahan peluru dan luka tembak.
KERCH - Sebanyak 18 orang tewas, termasuk salah satu pelaku, dalam penembakan massal dan rentetan ledakan di Kerch College, perguruan tinggi politeknik di Crimea, hari Rabu. Salah satu pelaku adalah Vladislav Roslyakov, 18, mahasiswa kampus setempat.
Selain belasan tewas, sekitar 50 orang lainnya terluka dalam serangan mengerikan tersebut.
Komite
Anti-Terorisme Nasional Rusia mengatakan Roslyakov menembak dirinya
sendiri setelah beraksi. Para pelaku lain sedang diburu.
Pemimpin Crimea Sergei Aksyonov membenarkan bahwa Roslyakov adalah mahasiswa Kerch College.
"Pembunuh
potensial menembak dirinya sendiri, melakukan bunuh diri. Dia adalah
seorang mahasiswa dari lembaga pendidikan yang sama di tahun keempatnya.
Mayatnya ditemukan di perpustakaan di lantai dua," kata Aksyonov,
seperti dikutip Sputnik, Kamis (18/10/2018).
Crimea
saat ini bagian dari Rusia setelah memisahkan diri dari Ukraina tahun
2014 melalui referendum. Bergabungnya Crimea ke Rusia ini tak pernah
diakui Ukraina dan negara-negara Barat.
Juru bicara Komite Investigasi, Svetlana Petrenko, mengatakan identitas pelaku diidentifikasi dengan cepat.
Dalam
sebuah rekaman video dari lokasi kejadian, Roslyakov terlihat memasuki
kampus dengan senjata di tangannya. Dia kemudian mulai menembaki
orang-orang di dalam kampus sebelum akhirnya bunuh diri. Sesaat sebelum
Roslyakov beraksi, rentetan ledakan mengguncang kampus.
"Berdasarkan
data di lokasi kejadian, para penyidik menganggap bahwa pemuda ini
menembak orang-orang, yang berada di perguruan tinggi, kemudian
melakukan bunuh diri. Sehubungan dengan ini, proses pidana yang
sebelumnya dilembagakan berdasarkan pasal 205 KUHP Rusia telah
direklasifikasi ke Bagian 2 dari Pasal 105 KUHP Rusia (membunuh dua
orang atau lebih dengan metode berbahaya)," kata Petrenko.
KERCH
- Pembantaian massal terjadi di sekolah teknik di Kerch, Crimea, Rabu
(17/10/2018). Pembantaian yang dimulai dengan rentetan ledakan dan
berlanjut dengan "hujan" tembakan ini menewaskan 18 orang termasuk salah
satu pelaku yang melakukan aksi bunuh diri.
Direktur sekolah,
Olga Grebennikova, meyakini pelaku lebih dari satu orang. Dia
menggambarkan adegan mengerikan yang dia lihat ketika dia memasuki
gedung kampus setelah serangan terjadi.
"Ada mayat di
mana-mana, tubuh anak-anak di mana-mana. Itu adalah tindakan terorisme
yang nyata. Mereka meledakkan dalam lima atau 10 menit setelah saya
pergi. Mereka meledakkan segala sesuatu di aula, kaca berterbangan,"
kata Grebennikova, yang dikutip Reuters.
"Mereka
kemudian berlari melemparkan semacam peledak ke sekeliling, dan kemudian
berlari mengelilingi lantai dua dengan senjata, membuka pintu kantor,
dan membunuh siapa pun yang bisa mereka temukan," ujarnya.
Crimea
saat ini merupakan wilayah Rusia setelah dianeksasi dari Ukraina pada
tahun 2014. Aneksasi ini tak pernah diakui Ukraina dan negara-negara
Barat.
Pihak berwenang Rusia menyatakan pembantaian terjadi
ketika seorang siswa 18 tahun bernama Vladislav Roslyakov masuk ke
sebuah ruangan dan menembaki sesama murid. Roslyakov kemudian bunuh
diri.
Sebelum Roslyakov beraksi, rentetan ledakan terdengar keras
di sekolah tersebut. Investigator Rusia menemukan jasad Roslyakov di
lokasi kejadian dengan tubuh luka tembak yang ditimbulkannya sendiri.
Sejauh
ini belum ada petunjuk langsung tentang motif pembantaian massal ini.
Serangan tersebut mengingatkan kembali pada penembakan serupa yang
dilakukan oleh siswa di sekolah-sekolah Amerika Serikat.
Banyak korban dari serangan adalah siswa remaja. Tubuh mereka rata-rata terkena pecahan peluru dan luka tembak.
Presiden
Rusia Vladimir Putin, pada pertemuan dengan pemimpin Mesir di selatan
resor Sochi menyatakan keheningan sesaat bagi para korban.
"Ini jelas merupakan kejahatan," katanya. "Motifnya akan diselidiki secara hati-hati," ujar Putin.
Para
pejabat Rusia mengatakan mereka sedang menyelidiki kemungkinan bahwa
serangan di sekolah itu sebagai aksi terorisme. Pasukan Rusia dengan
kendaraan lapis baja telah dikirim ke tempat kejadian. Orang tua
setempat diberitahu untuk mengumpulkan anak-anak mereka dari semua
sekolah demi keselamatan mereka.
Komite Investigasi, badan negara
Rusia yang menyelidiki kejahatan besar, sudah mengklasifikasikan kasus
tersebut dari aksi terorisme menjadi pembunuhan massal.
Beda
dengan laporan media, data dari komite tersebut menyatakan jumlah korban
tewas 17 orang. Seorang karyawan di rumah sakit Kerch mengatakan
lusinan orang dirawat di ruang gawat darurat dan ruang operasi karena
luka parah.
Anastasia Yenshina, seorang siswa 15 tahun di sekolah setempat,
mengatakan dia berada di toilet di lantai dasar gedung dengan beberapa
teman ketika dia mendengar suara ledakan.
"Saya keluar dan ada debu dan asap, saya tidak mengerti, saya sudah tuli," katanya kepada Reuters.
"Semua orang mulai berlari. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Lalu
mereka menyuruh kami meninggalkan gedung melalui gimnasium."
"Semua
orang berlari ke sana...Saya melihat seorang gadis terbaring di sana.
Ada seorang anak yang sedang ditolong berjalan karena dia tidak bisa
bergerak sendiri. Dindingnya berlumuran darah. Kemudian semua orang
mulai memanjat pagar, dan kami masih bisa mendengar ledakan. Semua orang
ketakutan. Orang-orang menangis."
Foto-foto
yang diambil dari tempat ledakan menunjukkan bahwa jendela lantai dasar
gedung bertingkat dua telah diledakkan, dan puing-puing berserakan
hingga ke luar gedung.
Jakarta, CB -- Penembakan dan ledakan bom terjadi di sebuah kampus di Kota Kerch, Krimea, Rusia. Kejadian itu menyebabkan 18 orang meninggal dan 50 lainnya luka-luka.
Komite
Antiterorisme Rusia menyatakan mereka masih menyelidiki jenis bom
diledakkan di ruang makan Politeknik Kerch. Menurut mereka bom itu
diletakkan dalam wadah logam.
Sebagaimana dilansir CNN.com,
Rabu (17/10), kebanyakan korban adalah mahasiswa. Kepala pemerintahan
Krimea, Sergei Aksyonov menyatakan pelaku serangan bunuh diri.
"Pelaku bunuh diri dengn cara menembak dirinya," kata Aksyonov.
Aksyonov mengatakan pelaku diduga adalah seorang mahasiswa di kampus itu. Jasadnya ditemukan di dalam perpustakaan.
Meski
demikian, aparat setempat menyatakan mereka akan menggolongkan kejadian
itu dalam kasus pembunuhan ketimbang aksi teror. Sebab menurut
kesimpulan sementara forensik, jasad para korban diduga kuat bukan
karena ledakan bom tetapi dibunuh dengan cara ditembak oleh pelaku.
Mereka juga menemukan sisa bahan peledak buat diidentifikasi.
Presiden
Rusia Vladimir Putin sudah memerintahkan supaya kejadian itu
ditanggulangi dengan segera, dan seluruh korban dibantu secepat dan
sebaik mungkin. Akibat peristiwa itu, militer Rusia menerjunkan 200
tentara ke lokasi.
Semenanjung Krim berada di selatan Ukraina dikelilingi oleh Laut Hitam
dan Laut Azov. Rusia mencaplok kawasan itu dari Ukraina pada 2014.
JAKARTA
- Tokoh Muslim Tatar Krimea, Mustafa Dzhemilev menyatakan, Krimea pada
awalnya adalah rumah bagi Muslim Tatar. Namun, pada abad ke-17, Rusia
yang saat itu masih berbentuk kerajaan, melakukan aneksasi wilayah
Krimea dan perlahan-lahan mengusir warga Tatar dari wilayah yang
terletak di sisi di Laut Hitam itu.
Ditemui di kantor Kedutaan
Besar Ukraina di Jakarta, Dzhemilev menyatakan, masa paling kelam bagi
warga Tatar adalah pasca Perang Dunia II, di mana saat itu Uni Soviet
menerapkan kebijakan yang sangat keras terhadap Muslim Tatar.
"Kami
dahulu pernah memiliki negara, tapi pada 1978 diduduki oleh Rusia.
Tatar dibersihkan hingga populasi kami hanya 19 persen dari warga
Krimea. Pada masa Uni Soviet (Rusia) lebih keras, pada tahun 1944 banyak
warga Krimea yang dideportasi keluarga negeri dan Rusia banyak membawa
warganya ke Krimea," kata Dzhamilev pada Selasa (14/8).
"Kami
kehilangan hampir 40 persen dari warga kami. Setelah diusir, warga kami
berusaha untuk kembali ke Krimea. Kebijakan kami saat ini adalah
kebijakan tanpa kekerasan untuk dapat kembali ke Krimea," sambungnya.
Namun,
Dzhemilev menuturkan, walaupun berusaha kembali secara damai, Rusia
tetap menanggapi keras kemauan warga Tatar Krimea. Menurutnya, tidak
sedikit yang dipenjara hanya karena ingin kembali ke rumah, termasuk
dirinya.
"Tatar sempat mendapatkan haknya kembali saat Ukraina
menyatakan kemerdekaan. Tapi, tidak semua bisa kembali, masih banyak
yang tinggal di Kazakstan, Uzbekistan dan negara lainnya. Sebelum
pendudukan kedua oleh Rusia pada tahun 2014, warga Tatar berjumlah 13
persen dari total penduduk Ukraina," sambungnya.
Saat ini, papar
Dzhemilev, warga Tatar diawasi dengan ketat oleh dinas intelijen Rusia.
Di Krimea, warga Tatar terus mendapat tekanan karena menolak pendudukan
Rusia. "Kami tepaksa pergi lagi karena tekanan tersebut," tukasnya.