Credit republika.co.id
Kamis, 09 Mei 2019
Kamis, 11 April 2019
Turki-Qatar Kritik Langkah AS Tetapkan IRGC sebagai Teroris
Kritikan itu disampaikan pasca pertemuan antara Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu dengan Menteri Luar Negeri Qatar, Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani.
Cavusoglu menuturan, Turki tidak senang dengan apa yang telah dilakukan oleh IRGC. Namun, dia menegaskan tidak ada satupun negara di dunia yang berhak menganggap militer negara lain sebagai teroris.
"Kami tidak mendukung IRGC di Suriah, tetapi tidak ada negara yang dapat menyatakan pasukan bersenjata negara lain sebagai organisasi teroris. Kami juga tidak mendukung keputusan sepihak. "Tindakan semacam itu akan menyebabkan ketidakstabilan di kawasan ini," Sambungnya.
Pada kesempatanya, Al-Thani mengatakan ketidaksepakatan atas perilaku tentara Iran, atau perilaku tentara lainnya. Namun, dia juga tidak sependapat dengan keputusan AS, dengan menegaskan bahwa ini tidak boleh diselesaikan dengan menjatuhkan sanksi.
Credit sindonews.com
Senin, 01 April 2019
KTT Liga Arab Dibuka, Amir Qatar Langsung 'Pamit'
Dilansir AFP, kepulangan Amir Qatar diberitakan kantor berita resmi negara Teluk QNA. Kepergian Amir Qatar Sheikh Tamim tanpa disertai penyebab yang jelas.
Seorang pejabat Tunisia, yang tidak bersedia namanya disebutkan, mengatakan pemimpin Qatar itu keluar saat pidato Sekretaris Jenderal Liga Ahmed Aboul Gheit.
"Dia telah meninggalkan Tunisia," ujar pejabat tersebut, dikutip AFP, Minggu (31/3).
Hal ini menjadi krisis diplomatik dan politik paling buruk antara negara-negara Teluk selama ini.
Saudi dan sejumlah negara-negara Teluk kompak memutus hubungan diplomatik dengan Qatar, lantaran menuding Doha telah mendukung Hamas dan Taliban yang masuk dalam daftar kelompok teroris versi Amerika Serikat. Mereka juga menuduh Qatar terlampau dekat dengan Iran, yang menjadi musuh bebuyutan Saudi di Timur Tengah.
Meski Qatar menyangkal seluruh tuduhan itu, krisis diplomatik masih terus berlangsung hingga bulan ini dan belum menemukan titik akhir. Negara-negara terkait juga tampak enggan menyelesaikan krisis.
Credit cnnindonesia.com
Selasa, 05 Maret 2019
Saudi Menentang Rencana Pembelian S-400, Qatar: Bukan Urusan Mereka
Pernyataan itu adalah respon saat dirinya ditanya tentang laporan Juni lalu oleh harian Prancis, Le Monde bahwa pemimpin Saudi, Raja Salman bin Abdul Aziz al-Saud telah mengirim surat kepada Presiden Prancis yang menyatakan keprihatinan atas pembicaraan antara Doha dan Moskow tentang sistem S-400.
"Ada diskusi untuk pengadaan berbagai peralatan Rusia, tetapi belum ada pemahaman tentang peralatan khusus ini (S-400)," kata Sheikh Mohammed saat melakukan konferensi pers bersama dengan Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov di Doha, seperti dilansir Reuters pada Senin (4/3).
Terkait pertemuan dengan Lavrov, Sheikh Mohammed mengatakan bahwa dalam pertemuan itu mereka juga membahas mengenai situasi Suriah dan Libya.
Dia menegaskan bahwa Doha belum siap untuk menormalkan hubungan dengan Suriah, mengatakan negara yang dirusak perang itu harus memiliki solusi politik dan pemimpin baru yang dipilih langsung oleh rakyatnya.
Credit sindonews.com
Senin, 18 Februari 2019
Kamis, 17 Januari 2019
Sebut Assad Penjahat Perang, Qatar Tolak Berbaikan dengan Suriah
"Normalisasi (hubungan) dengan rezim Suriah pada tahap ini adalah normalisasi seseorang yang terlibat dalam kejahatan perang, dan ini seharusnya tidak dapat diterima," kata Menteri Luar Negeri Qatar Mohammed bin Abdulrahman al-Thani, pada hari Senin.
Al-Thani mengatakan ada alasan mengapa Assad—yang terpilih tanpa lawan pada tahun 2000 dan tetap berkuasa selama hampir delapan tahun perang saudara—masih harus didepak dari komunitas internasional.
Komentarnya muncul setelah tetangga-tetangga Teluk-nya seperti Uni Emirat Arab dan Bahrain mengumumkan akhir bulan lalu bahwa mereka membuka kembali kedutaan besarnya di Damaskus.
Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab Anwar Gargash melalui Twitter menulis bahwa negaranya melakukan normalisasi salah satunya karena faktor pengaruh Iran dan salah satu sekutu terkuat Qatar, Turki, di Suriah.
Teheran telah menjadi pendukung setia pemerintah Assad dan telah memperluas jejak militernya di Suriah selama konflik.
Selama 19 bulan terakhir Qatar telah berada dalam perselisihan diplomatik yang mendalam dengan Uni Emirat Arab dan Bahrain. Peseteruan itu karena perbedaan arah kebijakan luar negeri Doha dalam beberapa tahun terakhir.
Pemimpin oposisi Suriah Nasr al-Hariri telah meminta para pemimpin Arab untuk tidak membangun kembali hubungan dengan Assad. Rezim Assad sekarang mengendalikan hampir dua pertiga wilayah Suriah berkat dukungan militer dari Rusia dan Iran.
Credit sindonews.com
Senin, 14 Januari 2019
Minggu, 23 Desember 2018
Emir Qatar Tawarkan Dukungan kepada Presiden Sudan
Peta wilayah Sudan.
CB, KHARTOUM -- Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani menelepon Presiden Sudan Omar al-Bashir pada Sabtu (22/12) untuk menyatakan dukungannya bagi Sudan. Dukungan tersebut disampaikan setelah protes-protes antipemerintah berlangsung beberapa hari, kata kantor Bashir dalam satu pernyataan.
Qatar dan para saingannya di kawasan semakin berebut pengaruh di Sudan dan negara-negara lain di Laut Merah dan Teluk Aden. Negara-negara Teluk juga telah menjadi sumber pendanaan bagi Sudan setelah negara itu kehilangan tiga perempat dari keluaran minyaknya ketika wilayah selatan memisahkan diri tahun 2011.
Sejak Rabu (19/12), kota-kota di seluruh Sudan diguncang aksi-aksi protes, yang dipicu kemuduran ekonomi. Para pengunjuk rasa juga menyerukan agar kekuasaan Bashir, yang sudah berlangsung 29 tahun, diakhiri.
"Dalam pembicaraan lewat telepon, Sheikh Tamim menyatakan negaranya berdiri bersama Qatar dan siap menawarkan semua hal yang perlu untuk membantu Sudan mengatasi cobaan berat ini, dengan menegaskan keinginannya bagi stabilitas dan keamanan Sudan," demikian bunyi pernyataan tersebut.
Kantor berita negara Qatar QNA membenarkan pembicaraan lewat telepon itu.
Reuters melaporkan seorang juru bicara pemerintah Sudan mengatakan pada Jumat (21/12) bahwa aksi-aksi unjuk rasa di negara itu, sebagai protes terhadap kenaikan harga, yang menewaskan sedikitnya delapan orang dalam dua hari belakangan ini telah "keluar rel dan dialihkan oleh para penyusup".
"Demonstrasi damai telah diselewengkan dan dialihkan oleh para penyusup menjadi kegiatan subversif yang menyasar lembaga-lembaga publik dan properti, pembakaran, penghancuran dan pembakaran beberapa markas kepolisian," kata Bishara Jumaa dalam pernyataan yang disiarkan oleh kantor berita resmi Sudan News Agency.
Dia tidak menyebut siapa yang dimaksud penyusup itu tetapi dia juga mengatakan para pengunjuk rasa, beberapa telah menyerukan penggulingan Presiden Omar al-Bashir, dimanfaatkan oleh partai-partai oposisi.
"Beberapa partai politik muncul dalam usaha mengeksploitasi kondisi ini untuk mengguncang keamanan dan stabilitas demi mencapai agenda politik mereka," kata Jumaa. Dia tidak mengidentifikasi partai-partai tersebut. Ditambahkan, aksi-aksi protes itu "telah ditangani oleh polisi dan pasukan keamanan dengan cara beradab tanpa kekerasan atau perlawanan."
Warga masyarakat di Sudan marah karena kenaikan harga dan kesulitan hidup yang mereka alami, termasuk kenaikan harga roti dua kali lipat tahun ini serta pembatasan penarikan uang di bank. Tingkat inflasi Sudan yang mencapai 69 persen termasuk yang paling tinggi di dunia.
Tokoh terkemuka oposisi Sudan Sadiq al-Mahdi kembali ke Sudan pada Rabu (19/12), setelah mengasingkan diri selama hampir setahun, dan menyerukan peralihan demokratis di Sudan.
"Rezim yang berkuasa telah gagal dan terjadi kemunduranan ekonomi dan erosi nilai mata uang nasional," kata Mahdi, yang merupakan perdana menteri Sudan terakhir yang terpilih secara demokratis dan sekarang memimpin partai Umma, kepada ribuan pendukungnya.
Demonstrasi-demonstrasi pada Rabu dan Kamis termasuk di antara yang terbesar sejak kerumunan massa bangkit memprotes pemotongan subsidi negara tahun 2013.
Para pejabat mengatakan kepada Sudania 24 TV bahwa enam orang tewas dalam protes-protes di al-Qadarif, kota di bagian timur negara itu, dan dua lagi di negara bagian Sungai Nil di bagian utara. Mereka tidak memberikan rincian mengenai bagaimana orang-orang tersebut tewas.
Polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan kerumunan sekitar 500 orang di Khartoum, Ibu Kota Sudan, dan kemudian mengejar serta menangkap sejumlah pengunjuk rasa, kata seorang saksi mata.
Credit REPUBLIKA.CO.ID
https://m.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/18/12/23/pk6vse383-emir-qatar-tawarkan-dukungan-kepada-presiden-sudan
Selasa, 11 Desember 2018
Saudi: Tindakan Terhadap Qatar Ditujukan untuk Ubah Kebijakan Mereka
Sanksi dan diplomatik dan ekonomi yang berlaku sejak Juni 2017 itu dijatuhkan setelah negara GCC menuduh bahwa Doha mendukung terorisme dan mencampuri urusan dalam negeri mereka, yang telah berulang kali ditolak oleh Doha.
Berbicara pada konferensi pers setelah berakhirnya KTT ke-39 GCC di Riyadh, dia mengatakan bahwa negara-negara anggota GCC yakin bahwa krisis dengan Qatar tidak akan berdampak pada dewan.
"Sikap terhadap Qatar datang untuk mendorong mereka untuk mengubah kebijakannya," kata al-Jubeir dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Xinhua pada Senin (10/12).
Qatar sendiri hadir dalam pertemuan GCC di Ibu Kota Saudi itu. Dalam pertemuan itu Qatar diwakili Menteri Negara Luar Negeri Sultan bin Saad Al-Muraikhi.
Credit sindonews.com
Senin, 10 Desember 2018
Menlu Bahrain Kritik Emir Qatar Tidak Hadiri KTT Teluk di Saudi
Pertemuan puncak tahunan ini digelar sehari pada Ahad, 9 Desember 2018.
“Emir Qatar seharusnya menerima permintaan sederhana (dari negara yang memboikot) dan menghadiri pertemuan puncak ini,” kata Sheikh Khalid Bin Ahmed Al Khalifa lewat cuitan di Twitter seperti dilansir Reuters pada Ahad, 9 Desember 2018 waktu setempat.
Emir Qatar, Sheikh Tamim Bin Hamad Al Thani, yang hadir pada pertemuan puncak GCC di Kuwait pada 2017, kali ini mengirimkan delegasi setingkat menteri, yang dipimpin Menteri Luar Negeri Soltan Bin Saad Al-Muraikhi.
Soal ini, Direktur Informasi Kemenlu Qatar, Ahmed Bin Saeed AlRumaihi, mengatakan pemerintah Qatar membuat keputusan sendiri soal ini. Dia menyebut saat Sheikh Tamim hadir di Kuwait pada 2017, sejumlah pemimpin negara Teluk justru tidak hadir.
“Qatar telah menghadiri pertemuan (tahun lalu) di Kuwait sementara para pemimpin dari negara yang memboikot tidak hadir,” kata Ahmed seperti dilansir Reuters.
Seperti dilansir Aljazeera, GCC merupakan forum yang dibentuk pada tahun 1980an untuk mempersatukan sejumlah negara Arab dan mengimbangi dua negara dominan di kawasan Teluk yaitu Irak dan Iran. Dewan ini beranggotakan enam negara yaitu Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Oman, Uni Emirat Arab, dan Bahrain. Organisasi ini bertemu tiap tahun untuk membahas berbagai kerjasama dan urusan regional.
Pada pertemuan puncak kali ini, sejumlah isu penting bakal dibahas seperti kerja sama regional, solusi politik untuk perang di Yaman, dan pengaruh Iran.
Pengamat mengatakan, pemerintah Qatar sengaja mengirim delegasi level menteri untuk memberi kesan bahwa negara itu tidak ingin menjaga jarak dengan GCC.
Luciano Zaccara, seorang peneliti politik Teluk dari Qatar University, mengatakan kepada Aljazeera bahwa,”Pengiriman delegasi tingkat menteri ini untuk menunjukkan pemerintah Qatar tidak pernah enggan untuk melakukan dialog langsung.”
Pengamat lainnya, Jocelyn Sage Mitchell, yang merupakan profesor di Northwester University di Qatar meyakini partisipasi negara ini di pertemuan puncak GCC memberikan posisi lebih tinggi dalam konteks krisis diplomatik yang sedang terjadi.
“Baik Arab Saudi dan Qatar sama-sama memperoleh manfaat dari terus berpartisipasi di organisasi ini,” kata dia kepada Aljazeera.
Pemerintah AS telah menekan pemerintah Saudi agar mau berdamai dengan Qatar dan membangun persatuan antara sesama negara Teluk. AS berharap GCC bisa mengimbangi aktivitas Iran di Timur Tengah.
Credit tempo.co
Amir Qatar takkan hadiri KTT Teluk di Arab Saudi
Pejabat tersebut, yang meminta tak disebutkan jatidirinya, mengatakan Tamim bin Hamad Ath-Thani takkan menghadiri KTT Ke-39 Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) di Arab Saudi dan hanya menteri luar negeri yang akan mewakili Qatar dalam pertemuan itu.
Qatar News Agency (QNA) mengatakan di dalam satu artikel bahwa undangan resmi dikirim kepada Ath-Thani oleh Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz untuk menghadiri KTT tersebut.
Undangan diserahkan kepada Sultan bin Saad Al-Muraikhi, Menteri Negara Qatar Urusan Luar Negeri, kata Kantor Berita Anadolu --yang dipantau Antara di Jakarta, Ahad siang.
GCC, kelompok enam negara yang kaya akan minyak di Teluk, terdiri atas Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Oman, Bahrain dan Qatar.
Pada Juni tahun lalu, Arab Saudi, Mesir, UAE dan Bahrain secara bersama memutuskan hubungan dengan Doha, dan menuduh Qatar mendukung terorisme.
Poros pimpinan Arab Saudi tersebut juga memberlakukan embargo darat-laut-udara atas Qatar, yang terus-menerus membantah semua tuduhan itu.
Credit antaranews.com
Jumat, 07 Desember 2018
Rabu, 05 Desember 2018
Langka, Raja Salman Undang Emir Qatar Hadiri KTT Teluk di Saudi
Kantor berita negara Qatar, QNA, melaporkan adanya undangan Raja Salman untuk Sheikh Tamim tersebut, yang dikutip Reuters, Rabu (5/12/2018).
Laporan itu muncul pada hari Selasa atau sehari setelah Qatar memutuskan keluar diri dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC).
QNA, dalam sebuah tweet, menulis; "Emir Qatar menerima undangan dari Raja Arab Saudi untuk pertemuan GCC". Namun, tidak apakah Sheikh Tamim akan melakukan perjalanan ke Kerajaan Saudi atau tidak.
Pada KTT Kerja Sama Teluk (GCC) yang diadakan di Kuwait tahun lalu, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Bahrain mengirim menteri atau wakil perdana menteri, bukan kepala negara.
Kuwait, yang telah menengahi perseteruan Qatar dengab Saudi dan sekutuny, mengatakan pada bulan lalu enam negara anggota GCC diperkirakan akan menghadiri KTT Riyadh. Sampai saat ini, Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain dan Mesir masih melakukan blokade darat, laut dan udara terhadap Qatar sejak hubungan diplomatik terputus. Perseteruan dipicu oleh tuduhan bahwa Doha mmendukung terorisme, namun Qatar membantahnya.
Aliansi politik dan ekonomi yang dibentuk setelah Uni Eropa itu terpukul keras setelah kuartet Arab memutus hubungan diplomatik dengan Doha.
Qatar adalah rumah bagi pangkalan udara terbesar AS di Timur Tengah.
Namun Arab Saudi dan Uni Emirat Arab telah berulang kali mengatakan menyelesaikan perselisihan bukanlah prioritas utama bagi mereka.
Credit sindonews.com
Qatar Keluar dari OPEC, Fokus Produksi Gas
Saat ini Qatar mengalami konflik diplomatik dengan Arab Saudi dan beberapa negara Arab lainnya. Doha menjelaskan keputusannya tidak dilandasi politik.
“Kami tidak mengatakan kami keluar dari bisnis minyak tapi ini dikontrol oleh satu organisasi yang dikelola satu negara,” papar Menteri Energi Qatar Saad al-Kaabi, dilansir kantor berita Reuters.
Al-Kaabi menjelaskan, keputusan Qatar telah dikomunikasikan pada OPEC dan Qatar akan menghadiri pertemuan OPEC pada Kamis (6/12) dan Jumat (7/12). Qatar juga menyatakan akan mematuhi komitmennya pada OPEC.
Dia menyatakan, Doha akan fokus pada potensi gasnya. “Tidak praktis bagi Qatar untuk menempatkan upaya dan sumber daya serta waktu dalam organisasi yang kami merupakan pemain sangat kecil dan saya tidak memiliki pendapat untuk apa yang terjadi,” ungkap dia.
Para delegasi OPEC yang terdiri dari 15 negara anggota akan menepis dampak mundurnya Qatar dari kelompok itu. Meski demikian, mundurnya salah satu anggota lama merusak upaya OPEC menunjukkan persatuan sebelum pertemuan yang diperkirakan bertujuan memangkas suplai minyak untuk mengatasi penurunan harga minyak mentah yang sudah mencapai hampir 30% sejak Oktober lalu.
“Mereka bukan produsen besar tapi memiliki peran besar dalam sejarah OPEC,” papar seorang sumber di OPEC.
Mundurnya Qatar menunjukkan menguatnya dominasi pembuatan kebijakan di pasar minyak antara Arab Saudi, Rusia dan Amerika Serikat (AS), tiga produsen minyak terbesar dunia yang secara total mencakup sepertiga output global.
Riyadh dan Moskow terus menerapkan pengurangan output minyak mentah. Harga acuan Brent diperdagangkan sekitar USD62 per barel, turun dari lebih USD86 per barel pada Oktober.
“Ini dapat menunjukkan titik balik sejarah organisasi itu terhadap Rusia, Arab Saudi dan AS,” ungkap mantan Menteri Energi Aljazair dan Chairman OPEC Chakib Khelil mengomentari langkah Qatar tersebut.
Al-Kaabi menyatakan, Qatar telah menajdi anggota OPEC selama 57 tahun dengan output minyak hanya 600.000 barel per hari (bpd), dibandingkan dengan Saudi dengan output 11 juta bpd. Namun Doha menjadi pemain berpengaruh dalam pasar LNG global dengan produksi tahunan 77 juta ton per tahun, berdasarkan besarnya cadangan energi di Teluk.
Credit sindonews.com
Setelah 57 Tahun, Qatar Memutuskan Keluar dari OPEC
Melansir dari CNBC, Senin (3/12/2018), Menteri Energi Qatar, Saad al-Kaabi, mengatakan negaranya akan menarik diri dari OPEC terhitung 1 Januari 2019. Keputusan ini mengakhiri keanggotaan Qatar selama 57 tahun. Qatar sendiri bergabung ke OPEC pada 1961, setahun setelah organisasi ini berdiri.
Saad al-Kaabi mengatakan keputusan ini tidak ada kaitannya dengan boikot politik dan ekonomi yang telah berlangsung 18 bulan yang dilancarkan Arab Saudi. Ia menjelaskan, keputusan keluar dari OPEC untuk meningkatkan strategi jangka panjang dan kedudukan Qatar di kancah global.
Qatar merupakan produsen minyak terkecil di OPEC, bila dibandingkan dengan “sang pemimpin” Arab Saudi. Negara Teluk tersebut memproduksi minyak mentah sekitar 600.000 barel per hari. Namun, negara beribukota Doha itu dikenal sebagai salah satu penghasil gas alam cair (LNG) terbesar di dunia.
Keputusan Qatar keluar dari OPEC mengejutkan dan menjadi pemberitaan media massa internasional. “Keputusan Qatar menarik diri dari OPEC sangat mengejutkan, (meski bukan produsen utama) tapi keputusan ini berdampak signifikan terhadap pasar minyak,” ujar Peter Kiernan, analis energi utama di Economist Intelligence Unit kepada CNBC.
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan anggota non-OPEC yaitu Rusia berencana mengadakan pertemuan di Wina, Austria, pada Kamis pekan ini, dengan tujuan mencapai kesepakatan dalam rencana pemangkasan produksi demi mendongkrak harga minyak.
Harga si emas hitam telah jatuh lebih dari 25% sejak naik ke puncak empat tahun pada awal Oktober. Kejatuhan harga minyak disebabkan kelebihan pasokan imbas produksi besar-besaran dari Amerika Serikat, Rusia dan Arab Saudi. Selain itu, harga minyak jatuh akibat kekhawatiran melembatnya pertumbuhan ekonomi global imbas perseteruan dagang AS dengan China.
Credit sindonews.com
Jumat, 30 November 2018
Qatar Siap Bangun Militer Mandiri dan Gandakan Pasukan
Seperti tetangganya yang lebih besar, negara kecil tapi kaya gas itu telah menggunakan kekayaannya yang sangat besar untuk modernisasi militernya dengan mengucurkan puluhan miliar dolar untuk sistem senjata paling canggih di dunia.
Pejabat pertahanan Qatar mengatakan modernisasi telah direncanakan selama beberapa tahun terakhir sebelum boikot politik dan ekonomi yang dipimpin Arab Saudi yang diberlakukan sejak Juni 2017.
Pesawat C-17 yang digunakan untuk operasi transportasi terlihat di hanggar di pangkalan udara Al-Udeid di Doha, Qatar 26 November 2018.[REUTERS / Stringer]
Pejabat pertahanan juga mengatakan ketegangan diplomatik juga menyadarkan Qatar untuk meningkatkan kemampuan domestik militernya, sambil menunggu akhir perselisihan yang telah memecah blok Negara-negara Teluk yang dibentuk pada 1981 untuk kerja sama dalam masalah politik, ekonomi dan pertahanan.
"Anda tidak ingin meletakkan semua beban di bahu teman dan sekutu Anda. Pada tahap tertentu Anda harus membela diri sendiri," kata Menteri Pertahanan Qatar, Khalid al-Attiyah.
Pengamat mengatakan tantangan Qatar adalah untuk menyediakan sumber daya besar dan sistem yang berbeda, yang dimaksudkan untuk menopang aliansi strategis, akan mempersulit pelatihan.
"Mereka harus benar-benar membangun angkatan udara dan angkatan laut dari awal dengan sangat sedikit warga Qatar, di mana mereka akan mencari SDM untuk melakukan ini?" Kata Pieter Wezeman, peneliti senior di Stockholm International Peace Research Institute.
US Air Force KC-135 Stratotankers di landasan 379th Air Expeditionary Wing di pangkalan militer Al Udeid, Qatar, pada 19 Agustus 2017.(Foto National Air Guard AS oleh Master Sgt. Andrew J. Moseley via Washington Times)
"Jika Anda membandingkan ini dengan Belgia atau Swedia yang memiliki sekitar 10 juta orang untuk dipilih dan memiliki angkatan bersenjata yang lebih kecil dalam hal peralatan versus Qatar, ini akan menjadi tugas yang sangat besar."
Qatar memiliki lebih dari 300.000 warga dan bergantung pada ekspatriat dari negara-negara seperti Pakistan dan Sudan untuk mengisi militernya.
Para pejabat pertahanan mengatakan mereka bekerja untuk mendapatkan sebanyak mungkin pasukan dari orang Qatar ke dalam angkatan bersenjata tetapi menolak untuk mengungkapkan jumlah warga negara Qatar saat ini atau orang asing yang masuk militer.
Program wajib militer diperluas tahun ini menjadi 12 bulan dari tiga bulan dan akan mulai menerima perempuan Qatar secara sukarela untuk pertama kalinya pada tahun depan.
"Kami tidak akan menerima pilot asing untuk menerbangkan pesawat kami atau mengemudikan tank kami atau berlayar dengan kapal perang kami," kata Menteri Pertahanan Qatar, Attiyah.
Gelombang pertama dari enam F-15 akan tiba pada awal 2021 dan menggunakan minimal dua awak US Air Force dan 10 kru sewaan sampai pilot Qatar terlatih, kata Brigadir Jenderal Issa al-Mahannadi, yang mengawasi program F-15 untuk militer Qatar.
Credit tempo.co
Senin, 19 November 2018
Taliban Adakan Pembicaraan dengan Utusan AS di Qatar
Seorang pejabat Taliban dan sumber lain yang dekat dengan kelompok itu membenarkan pembicaraan itu. Pembicaraan tersebut bertujuan memperbarui proses perdamaian Afghanistan dan akhirnya mengakhiri perang terpanjang Amerika. Mereka berbicara dengan syarat anonim karena mereka tidak berwenang untuk membahas negosiasi.
Mereka mengatakan bahwa Khairullah Khairkhwa, mantan gubernur Taliban untuk Herat, dan Mohammed Fazl, mantan kepala militer Taliban, menghadiri pembicaraan maraton tersebut. Keduanya adalah mantan narapidana di penjara AS di Teluk Guantanamo seperti dikutip dari AP, Minggu (18/11/2018).
Taliban menguasai hampir setengah dari Afghanistan dan melakukan serangan hampir setiap hari terhadap pasukan keamanan lokal dan pejabat pemerintah.
Sebelumnya Kepala Staf Gabungan AS, Jenderal Joseph Dunford, mengatakan bahwa Taliban belum kalah di Afghanistan, dan masih banyak yang harus dilakukan untuk membawa perdamaian ke negara yang dilanda perang itu.
Credit sindonews.com