WASHINGTON
- Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS) menuturkan, pihaknya
akan menghentikan bantuan ke El Salvador, Guatemala dan Honduras, yang
secara kolektif dikenal sebagai "Segitiga Utara". Keputusan ini diambil
setelah Presiden AS, Donald Trump mengecam negara-negara Amerika Tengah
karena ruitn "mengirim" migran ke AS.
"Kami sedang menjalankan
arahan Presiden dan mengakhiri tahun fiskal 2017 dan 2018 program
bantuan asing untuk Segitiga Utara," kata Kementerian Luar Negeri AS
dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Al Arabiya pada Minggu (31/3).
Kementerian
Luar Negeri mengatakan akan melibatkan Kongres dalam prosesnya.
Penghentian bantuan ini sendiri memang akan memerlukan persetujuan
anggota parlemen untuk dapat disahkan.
Trump
pada hari Jumat mengatakan, ketiga negara itu telah "mengatur" karavan
para migran untuk mengekspornya ke AS. Gelombang pencari suaka dari tiga
negara telah berusaha untuk memasuki AS di perbatasan selatan dalam
beberapa hari terakhir.
“Kami memberi mereka USD 500 juta. Kami
membayar mereka sejumlah besar uang, dan kami tidak membayar mereka lagi
karena mereka belum melakukan sesuatu untuk kami," kata Trump.
Pemimpin
AS itu juga mengancam untuk menutup perbatasan dengan Meksiko, jika
Meksiko tidak menghentikan imigran dari mencapai AS, sebuah langkah yang
dapat mengganggu jutaan orang dan miliaran dolar dalam perdagangan.
Kota Guatemala (CB) - Satu truk menyeruduk orang yang berkerumun
di bagian barat Guatemala pada Rabu malam (27/3), dan menewaskan 18
orang, kata pemerintah pada Kamis pagi, dengan mengoreksi perkiraan awal
mereka.
Truk itu menabrak sekumpulan orang yang telah pergi ke jalan untuk
memeriksa satu orang yang telah ditabrak mobil, kata Cecilio Chacaj,
Juru Bicara Departemen Pemadam Kebakaran setempat, kepada Reuters --yang
dipantau Antara di Jakarta, Kamis malam.
Kecelakaan itu menewaskan 18 orang, termasuk anak perempuan yang berusia
delapan tahun, kata Kantor Jaksa Penuntut Umum. Sembilan-belas orang
dibawa ke rumah sakit karena cedera, kata Kementerian Kesehatan di dalam
satu pernyataan.
Kecelakaan tersebut terjadi di Kota Praja Nahuala, sebelah barat Kota Guatemala.
"Pada saat ini, kami mengkoordinasikan reaksi kami untuk memberi
dukungan penuh buat kerabat korban," tulis Presiden Jimmy Morales di
satu cuitan Twitter. "Hati kami berduka."
Peristiwa itu menandai salah satu kecelakaan paling buruk di negeri
tersebut dalam beberapa tahun belakangan. Pada 2013, satu bus terjun ke
jurang di pedesaan Guatemala, menewaskan sedikitnya 43 orang dan melukai
puluhan orang lagi.
Para pejabat pemerintah pada Kamis mengatakan mereka mengubah penilaian
awal mereka mengenai sedikitnya 32 orang tewas, setelah petugas pemadam
dan pejabat lain di lokasi kecelakaan melakukan pemeriksaan lain orang
yang cedera di tumpukan mayat.
GUATEMALA CITY
- Presiden Guatemala, Jimmy Morales mengatakan, pihaknya akan menarik
diri dari komisi anti-korupsi yang didukung PBB dan memberikan waktu 24
jam bagi staf badan itu untuk meninggalkan negara itu. Langkah itu
menuai kecaman dari kelompok-kelompok HAM dan pengacara konstitusi di
negara tersebut.
Morales menuduh Komisi Internasional Melawan
Impunitas di Guatemala, yang biasa dikenal sebagai CICIG, mempolarisasi
negara dan membahayakan keamanannya, serta melanggar HAM dan bersekutu
dengan struktur kriminal dan "teroris".
"Guatemala
mengakhiri perjanjian dengan CICIG karena pelanggaran serius hukum
nasional dan internasional. Kami telah menunggu 16 bulan bagi PBB untuk
menanggapi keluhan kami," kata Morales dalam konferensi pers di
Guatemala City.
"CICIG telah mempertaruhkan kedaulatan rakyat
Guatemala. PBB tidak mencari solusi untuk dugaan pelanggaran yang
terjadi," sambungnya dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Al
Jazeera pada Selasa (8/1).
Morales membuat pernyataan itu sembari
dikelilingi oleh keluarga orang-orang yang ia tegaskan dituduh oleh
CICIG, termasuk keluarga Rusia yang dituntut dan dijatuhi hukuman tujuh
tahun penjara karena menggunakan paspor Guatemala yang dipalsukan.
Sementara
itu,Menteri Luar Negeri Guatemala, Sandra Jovel menuturkan bahwa dia
telah memberi tahu Sekertaris Jenderal PBB, Antonio Guterres tentang
keputusan sepihak itu. "Kesepakatan itu diselesaikan. Kami berharap
Sekjen PBB akan menghormati kedaulatan kami," ungkap Jovel.
Puluhan anak dan anggota keluarga
mengikuti aksi duduk setelah berpawai menandai jatuh tempo perintah
pengadilan bagi pemerintahan Trump untuk menyatukan kembali ribuan
keluarga yang terpisah di perbatasan, di Washington, Amerika Serikat,
Kamis (26/7/2018). (REUTERS/Carlos Barria)
Washington (CB) - Seorang bocah laki-laki 8 tahun asal
Guatemala meninggal pada Selasa (25/12) tengah malam setelah ditahan
petugas perbatasan Amerika Serikat, kata Kepabeanan dan Perlindungan
Perbatasan AS (CBP).
Kematian bocah tersebut menjadi yang kedua kali terjadi bulan ini pada anak-anak migran yang sedang ditahan AS.
Bocah Guatemala itu, beserta ayahnya, berada di bawah penahanan CBP pada
Senin (24/12) ketika seorang agen Patroli Perbatasan memerhatikan bahwa
anak tersebut terlihat sakit, kata CBP dalam pernyataan.
Ayah dan puteranya kemudian dibawa ke Gerald Champion Regional Medical
Center di Alamogordo, New Mexico. Di rumah sakit itu, sang bocah
didiagnosis mengalami pilek dan demam biasa dan akhirnya dibolehkan
pulang staf rumah sakit.
Namun kemudian pada malam itu, bocah tersebut muntah-muntah dan dibawa kembali ke rumah sakit.
Ia meninggal tak lama setelah tengah malam, kata CBP, yang menambahkan bahwa penyebab kematian belum diketahui.
Nama ayah dan anak tidak disebutkan dan CBP mengatakan pihaknya akan
mengeluarkan keterangan lebih rinci "jika sudah ada dan layak."
Kematian itu sudah diberitahukan kepada para pejabat Guatemala, kata CBP.
Kementerian Luar Negeri Guatemala mengatakan konsulnya di Phoenix sedang
berusaha untuk berbicara dengan ayah anak tersebut. Kementerian
menjanjikan kepada sang ayah bahwa pihaknya akan memberikan seluruh
bantuan kekonsuleran yang diperlukan serta perlindungan.
Dalam pernyataan, Kemlu Guatemala mengatakan pihaknya juga telah meminta
catatan medis untuk mengetahui dengan jelas penyebab kematian bocah
tersebut.
Menurut Kementerian, sang bocah dan ayahnya memasuki Amerika Serikat
melalui El Paso, Texas, pada 18 Desember dan dipindahkan ke pos
pemeriksaan perbatasan di Alomogordo pada 23 Desember.
Sebelumnya pada awal Desember, seorang anak perempuan berusia 7 tahun
bernama Jakelin Caal, juga asal Guatemala, meninggal setelah ditahan
bersama ayahnya para petugas perbatasan AS di sebuah daerah terpencil di
New Mexico.
Pemerintahan Presiden Donald Trump telah berupaya menghalangi
orang-orang menyeberangi perbatasan secara ilegal antara gerbang-gerbang
masuk negara dalam rangka mencari suaka.
Pada saat yang sama, pemerintahan Trump membatasi akses legal untuk
pos-pos perbatasan resmi. Keadaan itu menyebabkan para pemohon suaka
harus menunggu selama berbulan-bulan, termasuk mereka yang datang secara
berombongan dari negara-negara Amerika Tengah tahun ini.
Jakelin dimakamkan pada Hari Natal di desa tempat keluarganya berasal di Guatemala.
Kematian Jakelin memicu kritik dari kalangan Demokrat serta pembela hak-hak migran atas kebijakan keimigrasian Presiden Trump.
Pemerintahan Trump sendiri mengatakan bahwa kematian Jakelin menunjukkan
betapa berbahaya perjalanan yang ditempuh bocah tersebut dan keputusan
keluarganya untuk menyeberangi perbatasan secara ilegal.
Kematian Jakelin sedang diselidiki Inspektorat Jenderal Departemen
Keamanan Dalam Negeri AS menyangkut tuduhan ada kesalahan penanganan
para staf badan perlindungan perbatasan.
Pengunjuk rasa mengenakan kostum sebagai
Dewi Keadilan (kanan) dan seorang tentara dengan seutas tali saat
menggelar aksi teatrikal di luar Mahkamah Agung untuk menuntut
persidangan terhadap kejahatan genosida yang terjadi selama konflik
bersenjata internal, di Kota Guatemala, Guatemala, Rabu (23/5). Mantan
diktator Guatemala Efrain Rios Montt akan menghadapi sidang kedua atas
kejahatan genosida setelah Senin lalu hakim memutuskan bahwa Rios Montt
dapat dijatuhi hukuman karena memerintahkan pembunuhan massal tahun 1982
yang menewaskan 201 orang. Rios Montt (85) yang berkuasa selama periode
berdarah 1982 dan 1983 telah disidangkan atas tuntutan lainnya terkait
genosida dan kejahatan kemanusiaan. Diperkirakan 250.000 orang tewas dan
45.000 orang menjadi korban penghilangan paksa saat konflik bersenjata
internal yang berlangsung dari tahun 1960 hingga tahun 1996, menurut
media setempat. (REUTERS/Jorge Dan Lopez)
Kota Guatemala (CB) - Pengadilan Guatemala pada Rabu
(21/11) menjatuhkan hukuman penjara 5.160 tahun terhadap seorang mantan
prajurit atas pembantaian massal terhadap 171 orang.
Pembantaian tersebut dianggap sebagai salah satu kekejaman paling buruk dalam perang saudara selama 36 tahun di negara itu.
Majelis jaksa mengatakan bahwa bekas tentara itu, Santos Lopez, terlibat
dalam pembunuhan massal pada 1982 terhadap hampir separuh dari pria,
wanita dan anak-anak penduduk desa petani Dos Erres.
Lopez dituduh menjadi bagian dari pasukan Patroli Khusus Kaibiles, yang
dikerahkan ke Dos Erres untuk mencari anggota kelompok gerilya, yang
sebelumnya menyergap iringan militer.
Ketika pasukan patroli gagal menemukan gerilyawan atau senjata api,
mereka menarik penduduk desa keluar dari rumah dan memerkosa remaja
putri, kata jaksa. Untuk menutupi pemerkosaan itu, pasukan membunuh
hampir separuh penduduk di sana.
Pembunuhan massal itu dilancarkan pada masa kepemimpinan diktator militer Guatemala, Rios Montt.
Montt meninggal pada April. Ia saat itu dituduh melakukan pemunahan.
Dakwaan tersebut dikenakan terhadapnya dalam salah satu tahap paling
berdarah pada konflik masa Perang Dingin, yang berlangsung sejak 1960
hingga 1996.
GUATEMALA CITY
- Seorang gadis Guatemala berusia 19 tahun dibunuh oleh pasukan patroli
perbatasan Amerika Serikat (AS). Presiden Donald Trump menganggap
korban sebagai "binatang" yang mencoba memasuki Amerika dengan menjadi
anggota geng migran ilegal.
Deskripsi negatif itu membuat
keluarga korban tersinggung. Korban yang diidentifikasi bernama Claudia
Gomez, ditembak mati pada Rabu di Texas selatan oleh seorang petugas
yang melepaskan tembakan.
Agen Patroli Perbatasan AS dalam sebuah
pernyataan mengatakan petugas menembak perempuan itu setelah beberapa
orang "mendorong" korban memasuki perbatasan Texas selatan.
Agen
tersebut mendeskripsikan orang-orang yang mencoba masuk ke wilayah AS
sebagai sekelompok orang asing ilegal, di mana Claudia Gomez berada di
antara mereka.
Pernyataan tersebut juga mengklaim bahwa
sekelompok orang asing yang mencoba masuk ke wilayah AS menyerang para
petugas dengan benda-benda tumpul. Agen itu menegaskan bahwa Gomez
berada di antara para penyerang.
"Kepada pemerintah Amerika
Serikat, (saya minta) bahwa Anda jangan memperlakukan kami seperti
ini-seperti binatang-hanya karena Anda adalah negara yang kuat dan
maju," kata Dominga Vicente, bibi Gomez, mengatakan kepada wartawan di
Guatemala City, yang dilansir Reuters, Sabtu (26/5/2018).
Pada
hari Kamis, Kementerian Luar Negeri Guatemala mengatakan hak-hak migran
harus dihormati. "Guatemala menyesalkan setiap tindakan kekerasan dan
penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh patroli perbatasan," kata
kementerian tersebut dalam sebuah pernyataan.
Sebuah video
berdurasi tujuh menit yang di-posting online menunjukkan insiden
penembakan tersebut. Dalam video itu, seorang wanita beteriak dalam
bahasa Spanyol; "Mengapa Anda menembak gadis ini? Anda membunuhnya!".
Trump
mengatakan pekan lalu bahwa dia merujuk pada kelompok kriminal ketika
dia menyebut beberapa imigran gelap sebagai "binatang".
Dia
membela pernyataannya dan kini berencana untuk mengurangi bantuan ke
negara-negara yang dia sebut tidak melakukan apa pun untuk menghentikan
anggota geng MS-13 menyeberang ke Amerika Serikat.
Kelompok kriminal itu dikenal menyebar di El Salvador, Honduras dan Guatemala.
KAIRO
- Liga Arab mengatakan tidak akan bekerja sama lagi dengan Guatemala.
Pemutusan hubungan itu dilatarbelakangi keputusan negara itu memindahkan
kedutaannya di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Organisasi
yang bermarkas di Kairo itu mengatakan, telah meninggalkan nota
kesepahaman yang ditandatangani pada 2013 dan telah memutuskan hubungan
dengan negara Amerika Tengah itu seperti dikutip dari Washington Post, Kamis (24/5/2018).
Guatemala
memindahkan kedutaannya ke Yerusalem awal bulan ini, menyusul peresmian
Kedutaan Besar AS di Yerusalem yang disengketakan.
Guatemala
adalah negara pertama yang menempatkan kedutaannya di Yerusalem, pada
tahun 1956. Negara itu memindahkan fasilitasnya 24 tahun kemudian ke Tel
Aviv, setelah parlemen Israel menyatakan Yerusalem sebagai ibu kota
yang abadi dan tak terpisahkan yang bertentangan dengan resolusi PBB.
Palestina
mengklaim Yerusalem timur sebagai Ibu Kota negara masa depan mereka.
Dunia internasional pun berpendapat status terakhir dari Yerusalem harus
diputuskan dalam tahap akhir pembicaraan damai.
Guatemala
adalah termasuk dalam 9 negara yang mendukung Amerika Serikat (AS)
mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel dalam sidang umum PBB pada
Desember tahun lalu. Selain Guatemala ada Honduras, Micronesia, Nauru,
Palau dan Kepulauan Marshall serta Togo.
Sebelumnya, Rabat telah
menunda rencana untuk kemitraan kota kembar dengan Guatemala City. Hal
itu dilakukan sebagai bentuk protes terhadap pemindahan kedubes
Guatemala di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Langkah
AS dan Guatemala ini belakangan diikuti oleh Paraguay. Presiden
Paraguay Horacio Cartes meresmikan langsung kantor Kedutaan Besar
Paraguay di Yerusalem yang terletak di kawasan taman teknologi Malkha,
kawasan yang sama di mana kedutaan Guatemala berdiri.
RABAT
- Rabat telah menunda rencana untuk kemitraan kota kembar dengan
Guatemala City. Hal itu dilakukan sebagai bentuk protes terhadap
pemindahan kedubes Guatemala di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
"Setelah
keputusan Guatemala untuk mendirikan kedutaan di Al Quds (Yerusalem),
dewan kota Rabat dengan suara bulat memutuskan untuk menunda pemeriksaan
proyek kembar dengan Guatemala City dalam solidaritas dengan rakyat
Palestina," kata Wakil Walikota Rabat, Lahcen El Amrani, seperti dikutip
dari Reuters, Minggu (20/5/2018).
Dewan kota Rabat
sebelumnya telah merencanakan untuk memberikan suara pada proyek kota
kembar dengan Guatemala City minggu lalu. Guatemala membuka kedutaan
besar di Rabat, yang kedua di Afrika, pada bulan November 2017.
Guatemala
membuka kedutaan besar di Yerusalem pada hari Rabu, dua hari setelah
Amerika Serikat (AS) meresmikan situs barunya di kota itu, sebuah
langkah yang membuat marah warga Palestina dan mengundang kecaman
internasional.
Israel
menganggap Yerusalem sebagai Ibu Kota dan Palestina juga berharap suatu
hari untuk memiliki Ibu Kota negara merdeka mereka di sana. Sebagian
besar negara memiliki kedutaan besar Israel di Tel Aviv, dengan alasan
bahwa status Yerusalem harus ditentukan dalam pembicaraan masa depan.
Pada
hari ketika Amerika Serikat membuka kedutaan baru, pasukan Israel
membunuh 60 demonstran Palestina di perbatasan di Gaza. Israel
mengatakan kekerasan itu pecah karena dihasut oleh Hamas, kelompok Islam
yang memerintah di Gaza. Nmaun Hamas menolak disalahkan.
Beberapa orang Israel di Menara Nabi Daud, Yerusalem, Palestina.
Foto: Oded Balilty/AP
Bendera Guatemala telah berkibar di kedutaan sejak akhir April lalu.
CB,
YERUSALEM -- Guatelama telah membuka kedutaan mereka di Yerusalem pada
Senin (30/4). Bendera Guatemala juga telah berkibar di tempat tersebut,
dilansir di Middle East Monitor, Kamis (3/5).
Kantor kedutaan tersebut akan secara resmi dibuka pada Rabu (16/5),
dua hari setelah peresmian kedutaan Amerika Serikat di Yerusalem.
Terkait hal tersebut, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu
mengungkapkan rasa senangnya.
"Saya terharu melihat bendera
Guatemala berkibar di Yerusalem sebelum pembukaan kedutaan besar
pertengahan bulan ini," kata Netanyahu melalui akun Twitter @netanyahu, Rabu (2/5).
Sebelumnya,
setelah mengumumkan Guatemala akan memindahkan negaranya ke Yerusalem,
Presiden Guatemala Jimmy Morales mengungkapkan rasa terima kasihnya pada
Presiden AS Donald Trump. Ia mengatakan, hal berani yang dilakukan
Trump dengan memindahkan kedutaan AS ke Yerusalem adalah kebenaran.
Keputusan
sejumlah negara memindahkan kedutaan besar mereka dari Tel Aviv ke
Yerusalem sempat menyulut kemarahan dari berbagai pihak. Hal tersebut
diawali Trump yang menyatakan akan memindahkan kedutaan besar AS ke
Yerusalem pada Desember tahun lalu. Saat ini, negara yang telah
memutuskan memindahkan kedutaan besar mereka adalah Rumania, Republik
Ceko, Paraguay, dan Honduras.
RAMALLAH
- Organisasi Pembebasan Palestina atau PLO, melemparkan kecaman keras
atas keputusan Guatemala yang mengikuti langkah Amerika Serikat (AS)
untuk memindahkan Kedutaan Besar mereka di Israel dari Tel Aviv ke
Yerusalem.
Hanan Ashrawi, anggota Komite Pelaksana PLO
menyatakan, langkah Presiden Guatemala, Jimmy Morales untuk memindahkan
kedubesnya ke Yerusalem sejatinya tidak mengherankan. Karena, lanjut
Asharawi, dia memiliki sikap dan pola pikir yang sama dengan Presiden
AS, Donald Trump dan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.
"Gabungkan
evalingelis ekstremis dan literalis (dan) Anda memiliki kombinasi
faktor mematikan yang membuat ketiga orang ini, Netanyahu, Trump dan
Morales, bergerak menuju penerapan strategi dan kebijakan yang ilegal
dan itu menghancurkan kemungkinan perdamaian," kata Asharwai, seperti
dilansir Reuters pada Senin (5/3).
Sementara itu, Duta Besar
Guatemala, Sara Castaneda dilaporkan terlihat di Yerusalem dan terlihat
seperti sedang mencari sebuah properti, yang diduga kuat untuk menjadi
kantor Kedutaan Besar Guatemala di Israel.
Sebelumnya diwartakan,
Morales dalam konferensi pers di Washington, DC, menyatakan bahwa
negaranya akan turut memindahkan kedutaan ke Yerusalem pada bulan Mei
mendatang.
”Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Presiden
(Donald) Trump karena telah memimpin keputusannya yang berani, yang
telah mendorong kita untuk melakukan yang benar,” kata Morales dalam
sebuah pidato di konferensi tahunan kebijakan Komite Publik
Amerika-Israel.
Guatemala adalah satu dari sedikit negara yang
mendukung keputusan Presiden Trump pada bulan Desember untuk mengakui
Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Negara itu menjadi yang pertama
setelah AS yang menetapkan tanggal untuk memindahkan kedutaannya di
Israel.
Arsip Foto. Seorang perempuan yang
berpakaian seperti Dewi Keadilan, berdiri sebagai aksi protes di pintu
masuk Mahkamah Agung Guatemala. (REUTERS/Jorge Dan Lopez)
Kota Guatemala (CB) - Mantan Presiden Guatemala Alvaro
Colom dan bekas Menteri Keuangan Juan Alberto Fuentes ditangkap pada
Selasa dalam penyelidikan kasus korupsi menurut kantor kejaksaan umum.
"Salah satu dari 10 orang yang ditangkap dalam operasi hari ini
adalah mantan presiden republik ini, Alvaro Colom," kata Juan Francisco
Sandoval, kepala antikorupsi di kantor kejaksaan umum, dalam wawancara
dengan sebuah radio setempat.
Mantan menteri keuangan Juan Alberto Fuentes, yang saat ini
menjabat sebagai kepala Oxfam International, juga termasuk di antara
mereka ditahan menurut kejaksaan.
Penahanan terhadap Fuentes menambah tekanan terhadap yayasan
Inggris itu, yang menghadapi laporan-laporan muncul soal pelecehan
seksual sejumlah petugas bantuannya di Haiti.
Fuentes telah "menyakinkan kami bahwa ia akan sepenuhnya bekerja
sama dengan tim penyelidik dengan keyakinan bahwa dia tidak sadar telah
melanggar aturan atau prosedur," kata Direktur Eksekutif Oxfam
International Winnie Byanyima dalam pernyataan.
Colom (66) menjabat sebagai presiden Guatemala dari 2008 hingga 2012.
Penyelidikan korupsi yang saat ini berjalan sedang menyoroti
pembelian bus-bus pada masa kepemimpinan Colom dalam program pengadaan
tranportasi bagi masyarakat.
"Menurut kami segalanya sah, tapi mari kita tunggu dan lihat apa
yang dikatakan hakim," kata Colom ketika ia memasuki pengadilan dengan
penjagaan polisi.
Delapan orang lainnya yang ditahan adalah para mantan menteri Colom yang menandatangani kesepakatan pembelian bus.
Colom bukan merupakan pemimpin Guatemala pertama yang menghadapi tuduhan korupsi.
Presiden Guatemala saat ini, Jimmy Morales, mantan pelawak televisi
yang mengusung gerakan antikorupsi dalam kampanyenya, tahun lalu
dihujani kritik dari Perserikatan Bangsa-bangsa, Uni Eropa dan duta
besar Amerika Serikat di Guatemala karena berupaya mengusir seorang
jaksa yang didukung PBB karena berusaha membawa Morales ke persidangan
karena dugaan korupsi.
Penyelidikan dugaan pendanaan kampanye
ilegal, yang diikuti penyelidikan kasus korupsi pada anggota keluarga
presiden itu, telah membuat Morales menghadapi ancaman pemakzulan.
Pendahulu Morales, mantan presiden Otto Perez, saat ini berada di
balik jeruji menunggu persidangan karena tuduhan korupsi, demikian
menurut siaran kantor berita Reuters.
Lebih dari 60.000 struktur Maya yang sebelumnya belum diketahui,
termasuk piramida, istana, dan jalan, telah ditemukan di bawah rimbun
hutan di Guatemala. Penemuan ini merupakan terobosan besar.
Para
peneliti menggunakan teknologi laser untuk melihat di bawah kanopi
hutan di Peten, wilayah yang dekat dengan kota-kota Maya yang telah
terkenal. Laser mengungkap sisa-sisa megalopolis (wilayah berpenduduk
padat yang berpusat pada satu kota besar atau beberapa kota besar)
pra-Kolumbia yang jauh lebih rumit dibandingkan sebelumnya yang diyakini
para pakar.
Penemuan itu pun menunjukkan Amerika Tengah
memiliki satu peradaban yang puncaknya 1.500 tahun lalu, lebih canggih
dibandingkan dengan budaya Yunani kuno dan China. Lokasi itu mungkin
menjadi rumah bagi lebih 15 juta orang dan memiliki dinding pertahanan
serta benteng yang menunjukkan perang telah terjadi selama keberadaan
mereka dan tidak hanya pada akhir peradaban itu.
"Saya pikir ini
salah satu kemajuan terbesar dalam 150 tahun arkeologi Maya. Saya tahu
ini terdengar hiperbola, tapi saat saya melihat citra Lidar, ini membuat
air mata saya menetes," ujar Profesor Arkeologi dan Antropologi Stephen
Houston di Universitas Brown pada BBC.
Para peneliti
membuat penemuan itu menggunakan teknologi Lidar yang merupakan
singkatan dari light detection and ranging. Pesawat dengan pemindai
Lidar menghasilkan peta permukaan tiga dimensi menggunakan cahaya dalam
bentuk sinyal laser yang dikaitkan dengan sistem GPS. Teknik ini
memungkinkan para peneliti membuat peta tentang puluhan kota Maya baru
yang tersembunyi di bawah rimbun daun hutan setelah ditinggalkan
penghuni aslinya.
Seperti struktur yang belum diketahui
sebelumnya, gambar ini juga menunjukkan jalanan mengaitkan pusat kota
dan pinggiran kota. Mereka juga menemukan irigasi canggih dan sistem
terasering yang mendukung pertanian untuk salah satu peradaban paling
canggih di Mesoamerika. Suku Maya dikenal dalam kecanggihan matematika
dan teknik yang memungkinkan mereka menyebar ke Amerika Tengah dan
Meksiko Selatan.
"Sekarang tidak perlu lagi memotong hutan untuk
melihat apa yang ada di bawahnya," ujar Marcello Canuto, salah satu
pakar dalam tim tersebut.
Peneliti lain menambahkan, "Struktur
benteng dan jalan besar mengungkap sejumlah modifikasi kondisi alam yang
dibuat Maya pada skala yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya," kata
Francisco Estrada-Belli dari Universitas Tulane.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump
dan Ibu Negara Melania Trump tiba untuk pelayanan gereja di The Church
of Bethesda-By-The sea di Palm Beach, Florida, Amerika Serikat, Minggu
(24/12/2017). (REUTERS/Carlos Barria)
Kota Guatemala (CB) - Pengakuan Guatemala atas Yerusalem
sebagai ibu kota Israel melekatkan Presiden Jimmy Morales lebih dekat ke
Amerika Serikat saat sahamnya jatuh di negerinya karena tuduhan
korupsi, yang diajukan penyelidik didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Menentang penolakan luar biasa dunia atas keputusan Presiden Donald
Trump memindahkan kedutaannya ke Yerusalem, Guatemala dan Honduras
adalah negara di Amerika pendukungnya dalam pemungutan suara Majelis
Umum PBB pada pekan lalu.
Sesudah semakin terkucil di negaranya, Morales menyenangkan teman di
Washington dengan menyelaraskan dirinya dengan Trump, meskipun ia
menghadapi serangan balasan dari negara Arab, yang mengimpor kapulaga,
bumbu mahal dari Guatemala.
Morales pada malam Natal mengatakan akan mengikuti Trump untuk memindahkan kedutaan Guatemala dari Tel Aviv ke Yerusalem.
"Ini adalah cara yang sangat murah bagi Morales untuk memastikan
bahwa pemerintahan Trump ada di pihaknya," kata Michael Shifter, kepala
Dialog Antar-Amerika, sebuah kelompok pemikir yang berbasis di
Washington.
Morales terkenal tidak asing dalam kontroversi internasional.
Pada Agustus, mantan komedian televisi tersebut mendapat kecaman
dari PBB, Uni Eropa dan duta besar AS di Guatemala karena telah berusaha
mengusir seorang jaksa yang didukung PBB yang berusaha untuk mengadili
dirinya karena tuduhan korupsi.
Investigasi dugaan pembiayaan kampanye terlarang - yang mengikuti
penyelidikan gratifikasi terpisah pada anggota keluarga presiden - telah
mengancam akan mengutuk Morales untuk melakukan pemakzulan.
Morales lolos dari nasib tersebut, namun dia harus mundur karena
usahanya untuk mengeluarkan kepala Komisi Internasional Melawan
Impunitas yang didukung PBB di Guatemala, dan wewenangnya telah
digagalkan secara serius.
Morales, yang merupakan seorang penginjil Kristen, mengatakan bahwa
kebijakan Israel adalah sebuah pendirian yang berprinsip dalam tradisi
dukungan lama Guatemala terhadap Israel.
"Meskipun hanya ada sembilan dari kami di seluruh dunia yang
mendukung (posisi Trump), kami benar-benar yakin ini adalah jalan yang
benar," kata Morales tentang pemungutan suara PBB. Delapan negara
lainnya menentang resolusi tersebut yang mengecam AS karena mengakui
Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan 128 negara telah memilih resolusi
tersebut.
Status Yerusalem adalah salah satu hambatan paling besar dalam
kesepakatan perdamaian Israel-Palestina. Warga Palestina menginginkan
Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara mereka, demikian Reuters.
Dunia Arab mengancam untuk memboikot kapulaga
sebagai balasan atas keputusan Guatemala pindahkan kedubes ke Yerusalem.
(AFP PHOTO / RODRIGO ARANGUA)
Jakarta, CB -- Dunia Arab dan muslim
mengancam akan memboikot kapulaga asal Guatemala. Ancaman boikot itu
dilontarkan setelah Guatemala pindahkan kedubes ke Yerusalem, mengikuti
langkah Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Organisasi
Pembebasan Palestina (PLO) menyatakan setiap tahunnya, Guatemala
mengekspor kapulaga senilai US$300 juta ke negara-negara Arab dan negara
muslim lainnya. Kapulaga adalah bumbu utama dalam hidangan dan kopi
Arab.
"Kami akan melakukan penilaian menyeluruh terhadap semua
aliansi kami, dan akan mengevaluasi hubungan berdasarkan kepentingan
bersama, dengan pandangan pada siapa yang dengan tulus mendukung
perdamaian di Palestina dan siapa yang menentang kepentingan nasional,"
kata Anees Sweidan, kepala hubungan luar negeri PLO, seperti dilaporkan Arab News, Kamis (21/12).
Mantan Wakil Presiden Guatemala, Edward Stein telah memperingatkan
dampak boikot itu kepada 45 ribu petani kapulaga di negeri Amerika Latin
tersebut.
Menurut PLO, Asosiasi Eksportir Guatemala telah mengirim surat
kepada Kementerian Luar Negeri, meminta presiden membatalkan keputusan
untuk pindahkan kedubes ke Yerusalem.
PLO telah mendesak Liga
Arab untuk memboikot negara-negara yang memindahkan kedutaannya dari Tel
Aviv ke Yerusalem. Boikot semacam itu telah berhasil memaksa Guatemala
mencabut keputusan serupa pada era 1990-an.
Kamis (21/12) lalu,
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengeluarkan resolusi yang
mengecam langkah Trump yang mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
Resolusi itu didukung oleh 128 negara, sembilan menolak dan 35 abstain.
Guatemala termasuk salah satu negara yang menolak.
Pada Minggu
(24/12), Presiden Jimmy Morales mengumumkan niat Guatemala pindahkan
kedubes ke Yerusalem. Langkah itu tidak saja menuai kecaman dari banyak
negara, termasuk Indonesia, Qatar dan Yordania, tetapi juga mendapat
tanggapan negatif di dalam negeri. Morales dianggap menjilat Trump dan
Israel untuk mempertahankan kekuasaan.
GUATEMALA CITY
- Keputusan pemerintah Guatemala untuk memindahkan Kedutaan Besar
mereka di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem ternyata mendapat tentangan
dari masyarakat Guatemala. Banyak dari masyarakat Guatemala yang
menyangkan dan menolak keputusan tersebut.
Menurut Departemen
Urusan Ekspatriat Guatemala, awalnya penolakan terhadap keputusan
pemindahaan kedutaan itu datang dari komunitas Palestina di Guatemala.
Namun, lambat laun komunitas, dan kelompok lain di Guatemala mulai
menyampaikan penolakan serupa.
Melasnir Fars News pada Rabu
(27/12), kelompok-kelompok ini khawatir keputusan pemindahan kedutaan
itu akan memberikan dampak buruk baik dari segi politik, ataupun ekonomi
kepada Guatemala.
Penolakan tersebut juga datang dari sejumlah
politisi, dan tokoh-tokoh masyarakat di negara itu. Salah satu tokoh
yang bersuara kencang mengenai hal ini adalah mantan Wakil Presiden
Guatemala, Eduardo Stein.
Stein, yang dilengserkan pada tahun
2014 karena diduga melakukan korupsi, menuturkan keputusan ini akan
memiliki implikasi ekonomi yang besar bagi masyarakat Guatemala dan akan
mempengaruhi lebih dari 45 ribu petani kapulaga di negara Amerika
Tengah.
Kekwatiran serupa juga disampaikan oleh Presiden Uni
Eksportir Guatemala. Presiden Uni Eksportir Guatemala bahkan telah
menyampaikan Kementerian Luar Negeri Guatemala untuk membatalkan
keputusan tersebut, demi kepentingan perekonomian Guatemala, karena
negara-negara Islam dan Arab adalah salah satu pasar terbesar kapulaga
dari Guatemala.
Sejatinya ini bukan kali pertama Guatemala
mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, dan berencana menindahkan
kedutaan ke Yerusalem. Pada masa pemerintahan Ramiro J Leon Carpio,
tahun 1993 hingga 1996, Guatemala juga pernah menyatakan hal serupa.
Namun, Carpio langsung membatalkan keputusan tersebut, setelah
negara-negara Arab dan Islam menutup pintu mereka ke pasar Guatemala.
Ironi Presiden Guatemala yang akui Yerusalem milik Israel; dibelit korupsi
Presiden Guatemala Jimmy Morales (kiri) (REUTERS/Jorge Dan Lopez)
Jakarta (CB)- Pengakuan Guatemala bahwa Yerusalem ibu
kota Israel membuat Presiden Jimmy Morales kian dekat dengan Amerika
Serikat ketika citra pemerintahannya di dalam negeri merosot tajam
karena kasus korupsi yang diselidiki para penyidik dukungan PBB.
Menolak
arus beras dunia yang menolak keputusan Presiden Amerika Serikat Donald
Trump memindahkan kedutaan besarnya di Israel ke Yerusalem, Guatemala
dan Honduras menjadi dua negara di benua Amerika yang mendukung Trump
dalam voting resolusi Yerusalem oleh Majelis Umum PBB pekan lalu.
Kian
terasing di dalam negeri, Morales menjadi mendapatkan sekutu di
Washington dengan mendekatkan dirinya kepada Trump, kendati dia
mempertaruhkan nasib ekspor rempah-rempah kapulaga ke negara-negara
Arab.
Pada Hari Natal dia menyatakan akan mengikuti Trump memindahkan kedutaan besar Guatemala dari Tel Aviv ke Yerusalem.
"Ini
adalah cara paling hemat bagi Morales demi memastikan pemerintahan
Trump berada di pihaknya," kata Michael Shifter, kepala Dialog
Antar-Amerika, sebuah lembaga think tank yang berbasis di Washington.
Morales sendiri menjadi kontroversi internasional.
Agustus
silam, mantan komedian televisi ini dikecam PBB, Uni Eropa dan duta
besar AS di Guatemala karena mengusir jaksa sokongan PBB yang berusaha
memenjarakannya dalam kasus korupsi.
Penyelidikan dugaan uang
haram untuk kampanye pemilihan presiden yang disusul dengan
penyelidikan-penyelidikan korupsi oleh anggota keluarganya. telah
membuat Morales terancam dimakzulkan.
Morales selamat dari
tuduhan ini tetapi dia terus bernafsu membubarkan Komisi Internasional
Anti Impunitas di Guatemala, lembaga yang didukung kuat PBB. Akibatnya,
pemerintahannya kembali dalam bahaya pemakzulan.
Kini dia merapat
ke AS dengan mendukung Trump. Dukungan ini tidak tanpa alasan, malah
lebih karena realitas politik yang dihadapi Morales.
Trump
mengancam memangkas bantuan kepada negara-negara yang mendukung resolusi
PBB itu. Dan faktanya kebanyakan negara-negara di benua Amerika tidak
terlalu tergantung kepada bantuan AS, kecuali Guatemala, Honduras dan El
Salvador yang menentang resolusi PBB soal Yerusalem itu.
Guatemala
bakal menerima bantuan 209 juta dolar AS, Honduras menerima bantuan 100
juta dolar dari AS tahun lalu, ditambah 75 juta dolar AS lainnya
sebagai bantuan keamanan antara 2012 dan 2015.
Guatemala sendiri
mendapatkan kiriman devisa yang banyak dari ratusan ribu tenaga kerjanya
di AS yang kebanyakan ilegal dan terancam dideportasi Trump. Kiriman
uang mereka tahun ini mencapai 8 miliar dolar atau setara dengan tiga
perempat APBN Guatemala.
Oleh karena itu, menurut Ricardo Barrero
dari Central American Institute of Political Studies di Guatemala,
dukungan Morales kepada Trump adalah demi menciptakan stabilitas politik
yang saat ini tak bisa dia ciptakan.
Guatemala juga mendapatkan
bantuan latihan militer yang penting dari Israel. Tetapi negara ini juga
punya kepentingan di Timur Tengah di mana-negara Arab adalah pembeli
terbesar produk rempah-rempahnya.
Mantan wakil presiden Guatemala
Eduardo Stein pada pertengahan 1990-an juga pernah menyerukan
pemindahan kedutaan besar negara ini di Israel ke Yerusalem, dipaksa
menarik ucapannya itu setelah negara-negara Arab mengancam menghentikan
impor rempah-rempah negeri ini yang biasa digunakan dalam kopi Arab.
"Sepertinya
hal ini akan terjadi lagi," kata Stein, merujuk ancaman negara Arab
menghentikan impor rempah-rempah Guatemala, seperti dikutip Reuters.
Guatemala, dulu bangsa besar, kini diterpa kriminalitas dan kemiskinan.
CB - Nama Guatemala menyita perhatian dunia ketika negara anggota PBB mengambil voting soal Yerusalem, beberapa waktu lalu.
Guatemala, menjadi satu dari sedikit negara yang menyetujui klaim Amerika Serikat, soal Yerusalem sebagai ibukota Israel.
Guatemala pun menegaskan keputusan itu, setelah Presiden
mereka, Jimmy Morales mengeluarkan perintah untuk memindahkan kedutaan
negaranya di Israel, dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Morales pun mengakui, bahwa Israel adalah negara sahabat sejati mereka, dan berharap hubungan kerjasama bisa berlanjut.
Keputusan Guatemala mendukung suara Trump, memang sangat wajar.
Selama ini, Amerika Serikat adalah donor terpenting bagi bantuan ke Guatemala, sebuah negara miskin di Amerika Tengah.
Dikutip dari listverse.com, berikut 8 fakta soal Guatemala yang mungkin belum anda ketahui : 1. Kartel Narkoba Berkuasa
Negara ini bisa dibilang menjadi surga kartel narkoba.
Otoritas Guatemala memang telah menggulung sejumlah gang narkoba kelas kakap, tapi kartel-kartel besar lainnya masih beroperasi.
Masih ada gang narkoba keji seperti MS-13 atau Sinaloa asal Meksiko.
Penjual kokain dan mariyuana masih berkeliaran di jalanan. 2. Korupsi Tinggi
Sebagai negara miskin, angka korupsi di Guatemala sangat tinggi.
Bekas presiden Guatemala, Otto Perez Molina, terlibat dalam skandal suap dan korupsi.
Dia juga dituding tak segan membunuh lawan politik, bahkan pendeta-pendeta gereja.
3. Pembantaian
Kasus pembantaian etnis besar-besaran pernah terjadi di Guatemala.
Antara tahun 1981-1983, sebanyak 200.000 anggota suku Maya
asli diburu, lantaran dicap melakukan tindakan kriminal dan dianggap
ikut paham komunis.
Sebuah pasukan pemburu berkeliaran memburu mereka, dan tak segan langsung membunuh.
Pasukan ini ditengarai mendapat pasokan senjata dari pemerintah Amerika Serikat.
4. Diobok-obok Amerika
Amerika sempat mengintervensi Guatemala di tahun 1980-an dengan alasan melawan paham komunis.
Amerika pun mempersenjatai sejumlah orang yang ingin mengkudeta pemerintah resmi.
Negara pun akhirnya kisruh, dan terjadi perang saudara.
5. Negara Tua
Bangsa Guatemala sesungguhnya merupakan bangsa tua.
Daerah yang bernama Guatemala ini telah dihuni sejak 20.000 tahun yang lampau.
Banyaknya artefak dan peninggalan prasejarah Suku Maya jadi bukti.
Mereka sudah mengenal kalender dan waktu jauh di masa prasejarah.
Sayang, bangsa yang dulu besar ini kini mengalami kemunduran.
Setelah pelaut Spanyol datang, bangsa ini selalu berperang satu sama lain.
Orang Spanyol menganggap suku Maya asli sebagai budak.
Hal ini pun sampai sekarang masih terjadi.
Orang keturunan Spanyol ada di kasta hidup tinggi, sementara suku primitif malah di kasta rendah. 6. Perang Saudara
Guatemala adalah nama lain untuk perang saudara.
Konflik seakan tak pernah ada habisnya.
Sebanyak 200.000 orang Guatemala disebut tewas, sejak perang saudara berkecamuk dari tahun 1960 sampai 1996.
Isu terbesar perang saudara adalah perang antara pro dan anti paham komunis. 7. Lubang Raksasa
Salah satu fenomena alam dahsyat yang terjadi adalah munculnya petaka lubang raksasa di tengah kota Guatemala City.
Peristiwa ini terjadi pada 30 Mei 2010.
Lubang ini berdiameter 18 meter.
Dalamnya, kira-kira sama dengan bangunan 30 lantai.
Sebuah gedung 3 lantai dan sebuah rumah lenyap ditelan lubang ini.
Satu orang meninggal dunia. 8. Negara Paling Menakutkan di Benua Amerika
Pencurian mobil, pemerkosa di siang hari, perampokan bersenjata api, atau polisi palsu yang tiba-tiba berjualan narkoba.
Sebut saja, semua kejahatan ada di siang bolongnya Guatemala.
Negara ini memang dikenal sebagai salah satu negara paling menakutkan di dunia.
Sebanyak 5.000 orang tewas karena kekerasan setiap tahunnya.
Indonesia mengecam keputusan Presiden
Guatemala Jimmy Morales untuk memindahkan kedutaan di Israel dari Tel
Aviv ke Yerusalem. (AFP PHOTO / Jewel SAMAD)
Jakarta, CB -- Pemerintah Indonesia
mengecam keputusan Guatemala yang berencana memindahkan kedutaannya dari
Tel Aviv ke Yerusalem mengikuti langkah Presiden AS Donald Trump mengakui kota suci tersebut sebagai ibu kota Israel.
"Indonesia
mengecam keputusan Guatemala yang berencana memindahkan kedutaannya di
Israel ke Yerusalem," demikian Kementerian Luar Negeri RI pada Selasa
Malam lewat akun resmi Twitternya.
Keputusan tersebut dianggap tidak sesuai dengan hukum internasional mengenai status Yerusalem.
Kemlu RI menyatakan bahwa mempertahankan kesepakatan internasional
terkait status quo Yerusalem adalah penting bagi tercapainya solusi dua
negara dalam konflik Palestina-Israel.
Foto: REUTERS/Ronen Zvulun
Kota Yerusalem
Pada Minggu (24/12), Presiden Guatemala Jimmy Morales
mengumumkan bahwa dia telah memberikan instruksi untuk memindahkan
kedutaannya di Israel ke Yerusalem, beberapa hari setelah pemerintahnya
mendukung Amerika Serikat mengenai status kota tersebut.
Reuters
melaporkan bahwa dalam sebuah kiriman singkat di akun Facebook
resminya, Morales mengatakan bahwa dia memutuskan memindahkan
kedutaannya tersebut dari Tel Aviv ke Yerusalem setelah berbicara dengan
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Minggu (24/12).
Pada 6
Desember 2017, Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel,
bertolak belakang dengan kebijakan luar negeri AS selama beberapa
dekade. Keputusan tersebut membuat kemarahan dunia Arab serta
sekutu-sekutunya di Barat.
Status
Yerusalem merupakan salah satu halangan paling sulit untuk mencapai
kesepakatan damai antara Israel dan Palestina, yang menginginkan
Yerusalem Timur sebagai ibu kota mereka. Sejak Perang Enam Hari pada
1967, Yerusalem Timur berada dalam jajahan Israel.
Masyarakat
internasional tidak mengakui kedaulatan Israel atas seluruh kota
tersebut, yang merupakan tempat suci bagi umat Islam, Yahudi dan
Kristen. Resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) No. 478 tahun 1980
mengecam klaim sepihak Israel atas Yerusalem sebagai ibu kotanya dan
melarang negara-negara untuk membangun kedutaan di Yerusalem.
Pada
Kamis, 128 negara menentang Trump dengan mendukung resolusi Majelis
Umum PBB. Meski tidak mengikat, pengesahan Resolusi Majelis Umum itu
menandakan penolakan terhadap langkah AS soal Yerusalem.
Guatemala dan negara tetangganya, Honduras, adalah dua dari
sembilan negara yang bergabung dengan AS dan Israel yang menolak
pengesahan resolusi tersebut. Lima lainnya, selain AS, Israel, Guatemala
dan Honduras adalah Kepulauan Marshall, Mikronesia, Nauru, Palau, dan
Togo.
AS merupakan sumber bantuan penting bagi Guatemala dan
Honduras, dan Trump telah mengancam akan memotong bantuan keuangan ke
negara-negara yang mendukung resolusi PBB.
CB, Palestina --
Kementerian Luar Negeri Palestina mengecam keputusan pemerintah
Guatemala, yang mengumumkan bakal memindahkan kantor kedutaan-besarnya
ke Kota Yerusalem mengikuti langkah Amerika Serikat.
Langkah
Guatemala ini menyusul pengumuman Presiden AS, Donald Trump, pada Rabu,
6 Desember 2017, untuk memindahkan kantor kedubes AS dari Tel Aviv ke
Kota Yerusalem. Trump juga menyebut status kota ini sebagai ibu kota
Israel.
"Itu
merupakan tindakan ilegal dan memalukan yang melanggar keinginan para
pemimpin gereja di Yerusalem dan melanggar resolusi PBB yang mengutuk
langkah itu," begitu pernyataan Kementerian Luar Negeri Palestina
seperti dilansir Asharq Al Awsat, Senin, 25 Desember 2017.
Kementerian
menyatakan tindakan Guatemala ini sebagai pelanggaran nyata dan sikap
bermusuhan terhadap hak-hak bangsa Palestina dan hukum internasional.
"Negara Palestina akan bertindak dengan mitra regional dan internasional
untuk menolak keputusan ilegal ini," begitu pernyataan dari Kementerian
Luar Negeri Palestina.
Pengumuman Guatemala ini disampaikan
beberapa hari setelah negara itu mendukung Amerika Serikat dalam
pemungutan suara tidak mengikat di PBB mengenai status Kota Yerusalem,
Kamis 21 Desember 2017. Resolusi PBB itu menganulir keputusan AS untuk
mengubah status Kota Yerusalem menjadi ibu kota Israel. Resolusi juga
melarang pemindahan misi diplomatik ke Kota Yerusalem.
Dalam
proses voting, resolusi ini mendapat dukungan 128 negara dengan empat
diantaranya merupakan anggota Dewan Keamanan PBB seperti Cina, Rusia,
Inggris dan Perancis. Amerika Serikat, Guatemala dan tujuh negara
lainnya menolak resolusi ini. 35 negara memilih abstain seperti Kanada
dan Meksiko. Lalu 21 negara absen dalam proses voting.
Presiden
Guatemala, Jimmy Morales, mengatakan,"Hari ini, saya berbicara dengan
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam suasana hubungan yang
sangat baik. Kami mendukung berdirinya negara Israel." Pernyataan ini
diunggah di akun Facebook dan dilansir media Al Jazeera. Sebelumnya,
Morales mengatakan kepada media di Guatemala bahwa negaranya secara
historis adalah pendukung Israel.
"Kami adalah sekutu setia Israel sejak 70 tahun silam," ucapnya. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel, Emmanuel Nahshon, menyambut baik niat pemindahan kedutan besar Guatemala ke Yerussalem. "Itu sebuah keputusan yang sangat penting," tulis Nahshon di akun Twitternya.
Qatar Desak Guatemala Batalkan Pemindahan Kedutaan ke Yerusalem
DOHA
- Qatar melemparkan kecaman keras atas keputusan Guatemala untuk
mengikuti langkah Amerika Serikat (AS) mengakui Yerusalem sebagai Ibu
Kota Israel, dan memindahkan Kedutaan Besarnya ke Yerusalem. Doha
kemudian mendesak Guatemala untuk segera membatalkan keputusan tersebut.
Kementerian
Luar Negrei Qatar menuturkan, keputusan Guatemala tersebut tidak sesuai
dengan resolusi yang disetujui oleh Majelis Umum PBB. Karenanya, Qatar
meminta Guatemala segera menarik keputusan itu.
"Keputusan
Guatemala bertentangan dengan konsensus internasional yang diwujudkan
oleh penolakan Majelis Umum PBB untuk menolak pengakuan Yerusalem
sebagai Ibu Kota Israel dan seruan majelis tersebut untuk menahan diri
untuk tidak mendirikan misi diplomatik di sana," kata Kemlu Qatar.
"Kami
menganggap keputusan oleh Guatemala ini batal demi hukum dan tidak
memiliki makna hukum. Kami berharap bahwa Guatemala akan
mempertimbangkan kembali langkah tersebut," sambungnya dalam sebuah
pernyataan, seperti dilansir Anadolu Agency pada Selasa (26/12).
Kecaman
dan desakan serupa juga disampaikan oleh Yordania, dengan menggambarkan
keputusan Guatemala sebagai tindakan provokatif, dan pelanggaran
terhadap resolusi Majelis Umum PBB.
"Kami menolak keputusan
Guatemala untuk memindahkan kedutaannya ke Yerusalem. Wilayah yang
diduduki Israel, yakni Yerusalem adalah ibu kota negara Palestina,
sesuai dengan pada perbatasan pra-1967, tetap merupakan prasyarat untuk
mencapai perdamaian di wilayah ini," kata Menteri Luar Negeri Yordania
Ayman al-Safad.
Qatar dan Yordania Minta Guatemala Tarik Keputusannya
Jerusalem
CB, DOHA - Qatar dan Yordania mengecam keputusan
Guatemala untuk memindahkan Kedutaan Besarnya untuk Israel dari Tel
Aviv ke Yerusalem. Mereka meminta Guatemala segera menarik keputusan itu
karena bertentangan dengan seruan Majelis Umum PBB.
"Keputusan Guatemala bertentangan dengan konsensus
internasional yang diwujudkan dalam keputusan Majelis Umum PBB yang
menolak pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel [oleh AS] dan seruan
majelis tersebut untuk menahan diri untuk tidak mendirikan misi
diplomatik di sana," ujar Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Qatar dalam
sebuah pernyataan, Selasa (26/12).
"Kami menganggap keputusan [Guatemala] ini batal demi
hukum dan tidak memiliki makna hukum," tambahnya. Kemenlu Qatar berharap
Guatemala dapat mempertimbangkan keputusan tersebut.
Sementara Yordania menggambarkan keputusan Guatemala itu
sebagai tindakan provokatif dan pelanggaran terhadap resolusi
internasional. "Kami menolak keputusan Guatemala untuk memindahkan
kedutaannya ke Yerusalem," ujar Menteri Luar Negeri Yordania, Ayman
al-Safadi, pada Senin (25/12) malam, dikutip Anadolu.
"Yerusalem yang diduduki [Israel] adalah ibu kota negara
Palestina, yang pendiriannya, pada perbatasan 1967, tetap merupakan
prasyarat untuk mencapai perdamaian di wilayah ini," tambah Safadi.
Pada Ahad (25/12), setelah berbicara dengan Perdana
Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Presiden Guatemala Jimmy Morales
mengumumkan negaranya akan memindahkan Kedutaan Besar untuk Israel dari
Tel Aviv ke Yerusalem. Keesokan harinya, Kemenlu Palestina mengecam
tindakan tersebut dan menganggapnya sebagai tindakan yang tidak
terhormat.
Pernyataan Morales disampaikan sekitar tiga pekan
setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan keputusannya untuk mengakui
Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Pekan lalu, Majelis Umum PBB telah
mengadopsi sebuah resolusi yang meminta AS untuk menarik pengakuannya
atas kota tersebut sebagai ibu kota Israel.
Sebanyak 128 negara anggota PBB memilih untuk mendukung
resolusi tersebut. Namun ada sembilan negara yang menentangnya, termasuk
Guatemala, dan 35 negara yang abstain. Sementara 21 negara anggota
tidak memberikan surat suara.
Tidak seperti resolusi yang diadopsi oleh 15 anggota Dewan Keamanan PBB, resolusi Majelis Umum PBB dianggap tidak mengikat.
Foto bertanggal 28 November 2016 memperlihatkan Presiden Guatemala Jimmy
Morales (kiri) berjabat tangan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin
Netanyahu (kanan) dalam sebuah perjanjian bilateral.(ABIR SULTAN/POOL/AFP)
GUATEMALA CITY, CB - Guatemala mengikuti jejak Amerika Serikat (AS) yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Presiden
Guatemela, Jimmy Morales, dalam postingan di Facebook Minggu
(24/12/2017) menyatakan bakal memindahkan kedutaan besarnya dari Tel
Aviv ke Yerusalem.
Dikutip dari Al Jazeera Senin (25/12/2017), Morales berujar dia telah menjalin percakapan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Dalam perbincangan tersebut, topik yang paling hangat adalah rencana Morales memindahkan kedutaan besarnya ke Yerusalem.
"Jadi,
saya memberi tahu Anda sekalian, saya telah menginstruksikan jajaran
menteri saya untuk berkoordinasi agar (pemindahan) cepat terjadi," kata
Morales.
Ucapan Morales mendapat tanggapan dari Menteri Luar Negeri Emmanuel Nahshon.
Dalam kicauannya di Twitter, Nahshon menyatakan bahwa pernyataan Morales dianggap sebagai "keputusan penting".
"Kabar yang sangat indah! Viva la amistad Guatemala y Israel (Panjang umur persahabatan Guatemala dan Israel)," ujar Nahson.
Thank you Guatemala ???????? for your important decision to move your Embassy to #Jerusalem! Wonderful news and true friendship!!Viva la amistad entre Guatemala y Israel ????????????????. @IsraelMFA @Israel
— Emmanuel Nahshon (@EmmanuelNahshon) December 25, 2017
Kamis (21/12/2017), Guatemala termasuk di antara sembilan
negara termasuk AS dan Israel yang menolak rancangan resolusi terhadap
Yerusalem dalam pertemuan Dewan Umum PBB.
Sejak awal, Morales menegaskan bahwa pemerintahannya sangat mendukung Israel.
"Selama
70 tahun kami selalu menjaga persahabatan kami dengan Israel, yang kami
anggap sebagai sekutu terdekat kami," kata Morales.
Pindah ke Yerusalem, Guatemala Merasa Sekutu Israel
CB, Jakarta - Guatemala
mengumumkan rencana pemindahan kantor kedutaan besarnya ke Yerusalem
sebagaimana dilakukan Amerika Serikat. Negeri itu merasa menjadi sekutu
dan pendukung Israel.
Presiden
Guatemala Jimmy Morales membenarkan bahwa negaranya segera merelokasi
kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem, Ahad, 24 Desember 2017.
Pengumuman ini disampaikan beberapa hari setelah Guatemala mendukung
Amerika Serikat dalam pemungutan suara not-binding di PBB mengenai Yerusalem, Kamis 21 Desember 2017.
PM Israel, Benjamin Netanyahu dan Presiden Guatemala, Jimmy Morales. timesofisrael.com
"Hari
ini, saya berbicara dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu
dalam suasana hubungan yang sangat baik. Kami mendukung berdirinya
negara israel," kata Morales yang menulis pernyataannya di laman
Facebook, Ahad, seperti dikutip Al Jazeera.
Dia melanjutkan, "Salah satu pembicaraan saya yang paling penting adalah mengembalikan kedutaan besar Guatemala ke Yerusalem."
Juru
bicara Kementerian Luar Negeri Israel, Emmanuel Nahshon, menyambut baik
niat pemindahan kedutan besar Guatemala ke Yerussalem. "Itu sebuah
keputusan yang sangat penting," tulis Nahshon di akun Twitter.
Warga
Palestina penyandang disabilitas, Ibraheem Abu Thuraya, mengikuti demo
menentang Yerusalem ibu kota Israel dari atas kursi roda. Ia kehilangan
kakinya akibat serangan udara Israel ke Jalur Gaza, Palestina, pada
2008. REUTERS
Pada Kamis, 21 Desember 2017, Guatemala
bersama Amerika Serikat, Israel, dan enam negara lainnya menentang
resolusi dalam Sidang Umum PBB atas keputusan Washington yang memutuskan
pengakuan Amerika Serikat atas Yerusalem "batal demi hukum".
Sebelumnya, Morales mengatakan kepada media di Guatemala bahwa negaranya secara historis adalah pendukung Israel. "Kami adalah sekutu setia Israel sejak 70 tahun silam," ucapnya.