Lebih dari 600 ribu Rohingya dilaporkan
mengungsi ke Bangladesh sejak bentrokan antara kelompok bersenjata dan
militer Myanmar pecah di Rakhine pada 25 Agustus lalu. (Reuters/Danish
Siddiqui)
"Pemerintah Myanmar telah menyatakan bahwa kami siap menerima [pengungsi Rohingya] kapan pun. Namun, Bangladesh masih mempertimbangkan kesepakatan antara kedua negara," kata juru bicara pemerintah Myanmar, Zaw Htay, pada Rabu (1/11).
Selain itu, Htay juga sempat menuduh Bangladesh menghambat proses repatriasi Rohingya karena menerima bantuan senilai jutaan dolar Amerika Serikat untuk memperluas pembangunan rumah bagi pengungsi di sana.
"Saat ini mereka [Bangladesh] sudah mendapatkan hampir US$400 juta. Akibat bantuan ini, kami takut [Bangladesh] menunda program untuk merepatriasi para pengungsi," ujar Htay seperti dikutip media lokal, sebagaimana dilansir AFP.
Namun, Htay enggan menjelaskan lebih rinci ketika ditanya lebih lanjut mengenai pernyataannya itu.
Lebih dari 600 ribu Rohingya dilaporkan mengungsi ke Bangladesh sejak bentrokan antara kelompok bersenjata dan militer Myanmar pecah di Rakhine pada 25 Agustus lalu.
Setelah dihujani kecaman dan tuduhan melakukan upaya pembersihan etnis Rohingya oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Myanmar akhirnya berjanji akan menerima kembali para pengungsi Rohingya yang ingin pulang ke kampung halamannya.
Meski begitu, Myanmar hanya akan menerima dan menjamin pemulangan para pengungsi Rohingya yang memenuhi standar verifikasi.
Pusat pemerintahan Myanmar yang berada di Naypyidaw mengatakan para pengungsi harus bisa menunjukkan sejumlah dokumen yang membuktikan bahwa mereka sebelumnya pernah tinggal di Rakhine jika ingin kembali ke negara itu.
Saat ini, Myanmar juga dilaporkan telah mulai mengeluarkan kartu Verifikasi Nasional untuk warga Rakhine.
Sementara itu, beberapa pekerja kemanusiaan di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh mengatakan sebagian warga Rohingya enggan direpatriasi ke Myanmar karena merasa tak yakin bisa lolos verifikasi.
Sejumlah warga Rohingya lainnya juga dikabarkan tidak ingin pulang ke Rakhine karena takut saat tiba di sana, pemerintah tidak mengizinkan mereka menempati tanah yang dahulu ditempati.
Credit cnnindonesia.com