Senin, 17 Oktober 2016

Peserta Perundingan Sepakat Suriah Tentukan Masa Depannya Sendiri

 
Peserta Perundingan Sepakat Suriah Tentukan Masa Depannya Sendiri
Rusia menyatakan peserta perundingan di Swiss sepakat jika Suriah menentukan masa depannya sendiri. Foto/Reuters/Jean-Christophe Bott

MOSKOW - Rusia mengatakan semua peserta dalam pembicaraan Suriah di Lausanne telah menyetujui Suriah harus memutuskan masa depan mereka sendiri melalui dialog inklusif dan bahwa negara harus tetap utuh dan sekuler. Pernyataan itu muncul setelah pertemuan berakhir tanpa terobosan.

Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan agar perjanjian gencatan senjata Amerika Serikat (AS)-Rusia berhasil dan memfasilitasi pengiriman bantuan kemanusiaan, oposisi moderat Suriah harus terpisah dari Jabhat Fatah al Sham, sebelumnya dikenal sebagai Nusra depan, dan "kelompok teroris" lainnya.

"Pada saat yang sama, harus dipahami bahwa operasi melawan teroris dari negara Islam dan Front Nusra akan dilanjutkan," kata kementerian itu seperti dikutip dari Reuters, Senin (17/10/2016).

Pembicaraan mengenai Suriah yang diselenggarakan oleh Sekretaris Negara AS John Kerry di Laussane, Swiis, gagal menyepakati strategi bersama dengan Rusia untuk mengakhiri konflik di Suriah. Perang saudara yang terjadi di Suriah sendiri kini telah memasuk tahun keenam.


Pertemuan di Lausanne dihadiri oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) AS John Kerry dan Menlu Rusia Sergei Lavrov beserta tujuh menlu dari Iran, Irak, Arab Saudi, Turki, Qatar, Yordania dan Mesir. Pertemuan ini digelar setelah runtuhnya rencana gencatan senjata Rusia-AS yang susah payah dibuat dan diharapkan bisa mengakhiri perang saudara di Suriah.

Negara-negara Barat menuduh Rusia dan Suriah melakukan kekejaman dengan membom rumah sakit, membunuh warga sipil dan mencegah evakuasi medis di kota terbesar Suriah Aleppo, serta menargetkan konvoi bantuan dengan hilangnya sekitar 20 jiwa. Namun, tudingan ini dibantah oleh Suriah dan Rusia dengan mengatakan mereka hanya menargetkan militan.


Credit  Sindonews

Pembicaraan Soal Suriah di Swiss Berakhir Hampa

Pembicaraan Soal Suriah di Swiss Berakhir Hampa
Pembicaraan soal Suriah yang dilakukan Menlu Rusia dan Menlu AS bersama tujuh Menlu dari sejumlah negara gagal menghasilkan terobosan baru. Foto/Reuters/Jean-Christophe Bott
 
LAUSANNE - Rusia dan Amerika Serikat (AS) gagal membuat terobosan dalam pembicaraan terbaru mengenai perang Suriah di Lausanne, Swiss. Kedua negara gagal menyepakati strategi bersama untuk mengakhiri konflik di Suriah yang telah memasuki tahun keenam.

Pertemuan di Lausanne dihadiri oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) AS John Kerry dan Menlu Rusia Sergei Lavrov beserta tujuh menlu dari Iran, Irak, Arab Saudi, Turki, Qatar, Yordania dan Mesir. Pertemuan ini digelar setelah runtuhnya rencana gencatan senjata Rusia-AS yang susah payah dibuat dan diharapkan bisa mengakhiri perang saudara di Suriah.

Kepada wartawan Kerry mengatakan ada konsensus tentang sejumlah pilihan yang dapat menciptakan gencatan senjata. Meski begitu, Kerry mengakui, ada beberapa ketegangan selama pembicaraan.

"Saya akan menggolongkan ini sebagai contoh dari apa yang kita inginkan, yang merupakan sebuah tukar pikiran dan diskusi yang sangat jujur untuk pertama kali," kata Kerry seperti dikutip dari Reuters, Minggu (16/10/2016).

"Sejumlah ide datang dari sejumlah menteri yang berbeda seperti yang kita harapkan yang mungkin dapat membentuk beberapa pendekatan yang berbeda," tambah Kerry.

Namun pertemuan itu gagal membuahkan sebuah pernyataan bersama atau visi bersama. Mengenai hal ini, Menlu Rusia Sergei Lavrov mengatakan para menteri telah membahas beberapa ide menarik tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.

Credit  Sindonews


Terkait Suriah, Prancis Tidak Akan Kurangi Tekanan kepada Rusia

Terkait Suriah, Prancis Tidak Akan Kurangi Tekanan kepada Rusia
Presiden Prancis, Francois Hollande, menyatakan tidak akan mengurangi tekanan kepada Rusia terkait krisis di Suriah. Foto/Istimewa

PARIS - Presiden Prancis, Francois Hollande mengatakan ia tidak berencana untuk mengurangi tekanan pada Rusia atas dukungannya bagi pemerintah Suriah dalam memerangi pemberontak. Meski begitu, ia tetap siap untuk bertemu dengan Presiden Vladimir Putin untuk membahas perang

"Vladimir Putin tidak ingin serius membahas Suriah. Saya siap setiap saat, tapi aku tidak akan mengurangi tekanan," kata Hollande dalam wawancara dengan surat kabar Prancis.

Hollande menambahkan bahwa prioritas mutlak adalah penghentian pemboman, gencatan senjata, bantuan kemanusiaan dan pembukaan negosiasi seperti dikutip dari Reuters, Senin (17/10/2016).

Sebelumnya, Presiden Rusia Vladimir Putin membatalkan rencana kunjungan ke Prancis. Awalnya Putin dijadwalkan akan melakukan kunjungan ke Prancis pada 19 Oktober mendatang, dan akan melakukan pertemuan dengan Presiden Prancis Francois Hollande.

Keputusan Putin ini datang tidak lama setelah Hollande menuturkan bahwa dia mungkin akan membatalkan pertemuan dengan Putin. Keputusan Hollande ini dilatarbelakangi oleh konflik yang terjadi di Suriah, dimana Prancis tidak senang dengan sikap Rusia yang mendukung rezim Bashar al-Assad.
Credit  Sindonews

Inggris dan AS Siap Jatuhkan Sanksi Tambahan untuk Assad

Inggris dan AS Siap Jatuhkan Sanksi Tambahan untuk Assad
Inggris dan AS tengah mempertimbangkan menjatuhkan sanksi bagi Presiden Suriah Bashar al-Assad dan sekutunya. Foto/Istimewa

LONDON - Inggris dan Amerika Serikat (AS) mengatakan mereka sedang mempertimbangkan sanksi tambahan terhadap Presiden Suriah Bashar al-Assad dan para pendukungnya. Kedua negara sekutu itu juga meminta Rusia untuk membantu mengakhiri konflik di Suriah.

"Sangat penting bahwa kita menjaga tekanan dan ada banyak langkah-langkah yang kita ajukan, hubungannya dengan sanksi tambahan terhadap rezim Suriah dan pendukung mereka, langkah-langkah untuk membawa mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan perang ke Mahkamah Pidana Internasional," kata Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson kepada wartawan.

"Hal-hal ini akhirnya akan datang untuk menggigit para pelaku kejahatan ini dan mereka harus berpikir tentang hal itu sekarang," kata Johnson, yang juga mengatakan tidak ada nafsu bagi Eropa untuk "pergi berperang" di Suriah seperti dikutip dari Reuters, Senin (17/10/2016).

Johnson sendiri meragukan pemerintah Assad dan sekutunya, Rusia, akan mampu merebut kembali Aleppo dan memenangkan perang. Ia pun menyerukan Rusia dan Iran untuk menunjukkan kepemimpinannya untuk mengakhiri konflik.

"Terserah mereka untuk menunjukkan rasa belas kasihannya, menunjukkan belas kasihan kepada orang-orang di kota itu dan mendapatkan gencatan senjata diberlakukan," tambahnya.

Sementara itu Menteri Luar Negeri AS John Kerry menegaskan bahwa AS dan sekutunya sedang mempertimbangkan sanksi tambahan atas Suriah, namun tidak menyebutkan nama Rusia sebagai target.

"Kami sedang mempertimbangkan sanksi tambahan dan kami juga membuat jelas bahwa Presiden (Barack) Obama belum mengambil pilihan dari meja," kata Kerry.

Credit  Sindonews