Sekretaris Hubungan Industrial Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Freeport Tri Puspital menyebutkan, klimaks permasalahan pada pertemuan 19 September 2016 terjadi ketimpangan pemberian bonus bagi pekerja tambang terbuka hanya 17 persen. Sementara bagi pekerja Geotek mendapatkan bonus 45 persen dari total gaji karyawan.
"Para pekerja kecewa mendapatkan bonus kecil, apalagi selama ini karyawan telah membantu perusahaan dalam operasional. Dengan adanya ketimpangan ini, maka sejak 28 September karyawan memutuskan untuk mogok kerja, hingga ada kesepakatan antara perusahaan dan karyawan," jelas Tri Puspital, saat dihubungi Liputan6.com, Senin (3/10/2016).
"Sementara ini yang dituntut oleh teman-teman karyawan adalah meminta transparansi dari perusahaan tentang pemberian bonus, misalnya bagaimana formula pemberian bonus, bagaimana caranya dan baru dibandingkan dengan aktual pencapaian dengan kondisi real di lapangan," urai dia.
Juru bicara PT Freeport Indonesia, Riza Pratama membenarkan adanya mogok kerja sejak 28 September dari karyawan di tambang terbuka, karena masalah pemberian bonus.
"Kami sedang berupaya untuk mengatasi masalah ini dan mengembalikan operasi tambang terbuka sesegera mungkin," jelasnya.
Mogok kerja yang dilakukan karyawan Freeport Indonesia tersebut tak berdampak pada operasi tambang bawah tanah. "Operasi pabrik pengolahan juga masih beroperasi secara terbatas,"ungkap dia.
Credit Liputan6.com
Pekerja Mogok, Bagaimana Produksi Freeport Indonesia?
CB, Jakarta - Para pekerja PT Freeport Indonesia melakukan aksi mogok kerja sejak 28 September 2016 lalu. Dalam mogok kerja tersebut, pekerja Freemort menuntut keadilan bonus. Lalu bagaimana kegiatan pengerukan tembaga di tambang Freeport?
Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Serikat Pekerja Kimia Energi Dan Pertambangan (KEP) Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Virgo Solossa menjelaskan, pekerja Freeport yang melakukan aksi mogok adalah mereka yang berada di tambang terbuka Grasberg, Mimika, Papua. Virgo belum bisa memastikan apa tuntutan dari para karyawan Freeport tersebut.
Sedangkan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot mengatakan, meski kegiatan penambangan bijih tembaga di terbuka terhenti, produksi Freeport Indonesia masih bisa ditutupi dari tambang bawah tanah. "Produksi di-cover tambang underground," ucap Bambang, Senin (3/10/2016).
Sebelumnya, Sekretaris Hubungan Industrial Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Freeport Indonesia Tri Puspital menyebutkan, klimaks permasalahan pada pertemuan 19 September 2016 terjadi ketimpangan pemberian bonus bagi pekerja tambang terbuka hanya 17 persen. Sementara bagi pekerja Geotek mendapatkan bonus 45 persen dari total gaji karyawan.
"Para pekerja kecewa mendapatkan bonus kecil, apalagi selama ini karyawan telah membantu perusahaan dalam operasional. Dengan adanya ketimpangan ini, maka sejak 28 September karyawan memutuskan untuk mogok kerja, hingga ada kesepakatan antara perusahaan dan karyawan," jelas Tri Puspital, saat dihubungi Liputan6.com.
Setiap harinya, tambang terbuka itu menghasilkan sekitar 200 ribu ton ore atau bijih mineral. Sementara para pekerja di tambang terbuka itu membawa alatnya masing-masing berkisar 6-7 jam per hari.
"Sementara ini yang dituntut oleh teman-teman karyawan adalah meminta transparansi dari perusahaan tentang pemberian bonus, misalnya bagaimana formula pemberian bonus, bagaimana caranya dan baru dibandingkan dengan aktual pencapaian dengan kondisi real di lapangan," urai dia.
Credit Liputan6.com