Sementara di lain pihak, perusahaan-perusahaan asal Jepang dan Amerika Serikat (AS) perlahan mulai menghentikan penjualan produknya. Bahkan ada beberapa perusahaan yang terpaksa angkat kaki dari Indonesia.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, ada sejumlah perbedaan mendasar antara perusahaan China dengan perusahaan Jepang dan Amerika, terutama dalam hal tenaga kerja.
Dia menjelaskan, pertama dari sisi penyerapan tenaga kerja, perusahaan Jepang dan AS tidak menyertakan unskill worker bekerja di mana investasi mereka ditanamkan. Sedangkan perusahaan China turut menyertakan unskill worker.
"Ini mengancam tenaga kerja lokal dan berarti investasi tidak membuka lapangan kerja baru. Misalnya perusahaan baja diPulogadung, jumlah tenaga kerjanya 300 orang, 100 orang diantaranya pekerja asal China, seperti tukang masak, tukang batu, sopir forklift, dan itu ilegal. Makanya mereka ngumpet kalau ada pemeriksaan," ujarnya di Jakarta, Kamis (4/2/2016).
"China ini belum teruji, faktanya investasi China kalau tidak untung mereka kabur. Pabrik dan mesinnya sewa sehingga tinggal kabur badan. Itu terjadi di perusahaan tekstil, garmen, komponen elektronik yang kecil-kecil," kata dia.
Ketiga, dari sisi aturan ketenagakerjaan. Said mengatakan perusahaan Jepang dan AS selama ini diakui tunduk pada aturan-aturan normatif ketenagakerjaan misalnya upah dibayar sesuai UMP, adanya jaminan kesehatan, adanya jaminan pensiun, dan jika pun harus melakukan PHK, hal tersebut dilakukan dengan mengikuti aturan yang berlaku di Indonesia.
"Perusahaan China di Pulogadung misalnya, itu membayar upah dibawah upah minimum. UMP DKI kan saat ini Rp 3,1 juta, tetapi pekerjanya ada yang masih dibayar Rp 2,6 juta, ada yang Rp 2,8 juta," jelasnya.
Keempat, menurut Said, saat ini investasi China lebih pada investasi mercusuar seperti kereta cepat, pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW). Sedangkan investasi Jepang dan AS merupakan investasi produk dananya berasal dari internal perusahaan.
"China meminjam pada dana B to B yang sifatnya meminjam dana dari negara. Karena mereka mengandalkan bank infrastruktur Asia yang didirikan China sebagai pelaku utama, seperti kereta cepat. Tetapi ketika mereka rugi, maka yang akan menanggung adalah negara," tandasnya.
Credit Liputan6.com