Wakil Kepala Polri Komjen Badrodin
Haiti (tengah) memerhatikan peta lokasi terjadinya kontak senjata yang
mengakibatkan tewasnya seorang terduga teroris di Mapolda Sulteng di
Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (4/4). (AntaraFoto/ Basri Marzuki)
"Saya kira antara lain karena mereka jauh di dalam hutan dan mereka cukup kuat sampai 30 orang bersenjata. Jadi, kepolisian dan tentara harus hati-hati," kata Sydney saat dihubungi CNN Indonesia, Kamis (3/12).
"Jelas ada risiko kalau pergi memburu jaringan ini tanpa ada persiapan yang benar," katanya.
Sydney mengatakan sebenarnya polisi tidak memiliki kapasitas untuk melakukan operasi jauh di dalam hutan. Tentaralah, menurutnya, yang mempunyai kemampuan tersebut. Namun, menurut undang-undang, ujarnya, tentara bisa melakukan operasi kontra terorisme asalkan diundang secara eksklusif oleh polisi.
"Namun, beberapa tahun belakangan saya lihat tidak ada undangan tersebut. Makanya saya mempertanyakan status operasinya," kata Sydney.
"Pasti Santoso, siapa lagi," ujarnya singkat di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, Senin (1/12).
Dia mengatakan, saat kejadian, tim yang diserang oleh kelompok Santoso itu sedang melaksanakan Operasi Camar Maleo IV.
Dalam pelaksanaan operasi perburuan Santoso itu, kata Badrodin, tim Polri dan TNI bisa bergerak sendiri-sendiri atau dalam tim gabungan.
"Saat kejadian itu tim kecil, hanya TNI saja," kata Badrodin.
Hari Minggu kemarin, Sersan Kepala Zainuddin tewas ditembak di Desa Maranda, Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, sekitar 10.00 WITA.
Saat itu penembak belum dipastikan sebagai bagian dari jaringan kelompok teroris Santoso. Hanya saja, Zainuddin yang merupakan anggota Tim Bravo15 saat itu sedang sedang menjalankan Operasi Camar Maleo IV.
Credit CNN Indonesia