Teknologi yang ditemukan Warsito itu dianggap belum punya bukti ilmiah
Surat Kemenkes tentang penertiban klinik milik Warsito P Taruno (Istimewa)
Lebih ironis, pihak yang mempersoalkan adalah dari lembaga pemerintah dalam negeri, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Lembaga pemerintah itu meminta Warsito dan perusahaan bentukannya PT Edwar Teknologi, untuk tidak melakukan pelayanan ECVT dan ECCT (Electro-Capacitive Cancer Therapy).
Dalam suratnya pada panghujung November yang ditujukan ke Warsito itu, Balitbangkes Kemenkes RI beralasan larangan itu karena teknologi yang ditemukan Warsito itu dianggap belum mempunyai bukti ilmiah yang kuat untuk bisa digunakan sebagai alat diagnosis dan terapi kanker.
Padahal, temuan Warsito tersebut sudah diakui dunia. Terakhir pada 2015, disertasi Sahudi Salim dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) menegaskan metode ECCT terbukti secara ilmiah bisa membunuh sel kanker.
Sementara itu, penelitian Firman Alamsyah, biomedik lulusan University of Tokyo, beserta tim Pusat Studi Satwa Primata Institut Pertanian Bogor (PSPP IPB) menunjukkan terapi ECCT efektif mengurangi tingkat proliferasi sel kanker payudara dalam pengaturan kultur, dengan potensi yang sama dalam tumor payudara padat dalam model hewan.
Larangan mengembangkan terapi kanker tersebut, membawa ingatan Warsito pada 12 tahun lalu saat berjuang keras mengembangkan terapi kanker tersebut.
Dalam suratnya, dia menuliskan saat baru memulai membina riset di Indonesia selama 6 bulan, ia sangat shock saat data riset hasil kerjanya selama 15 tahun hilang dari komputernya.
Saat itu pun, Warsito mengaku langit bagaikan runtuh. "Seolah-olah mengatakan: 'Tak ada tempat buat saya di Indonesia'," tulis Warsito dalam suratnya kepada VIVA.co.id.
Akibat shock itu, saat itu Warsito mengaku tak bisa keluar rumah selama sepekan lebih.
Bicara soal temuan Warsito, intinya yaitu penggunaan medan listrik untuk menghambat dan membunuh sel kanker. Cara ini dianggap lebih aman dibanding terapi kanker dengan metode kemoterapi.
Selain ECVT, tangan dingin Warsito juga melahirkan turunannya, ECCT.
Warsito mengatakan ECCT dan ECVT merupakan setara dengan radioterapi untuk terapi serta CT scan untuk pemindai dengan sumber gelombang elektromagnet pengion. Bedanya ECVT dan ECCT memanfaatkan sifat dasar biofisika sel dan jaringan.
Warsito juga mengatakan ECVT dan ECCT bisa dikatakan tak ada referensinya di dunia luar, karena keduanya lahir di Indonesia, pertama di dunia.
"ECVT dan ECCT hanyalah teknologi yang dikembangkan berdasarkan prinsip fisika dan matematis. Kalau bukan saya yang membuatnya, akan ada orang lain yang membuatnya di tempat lain di waktu lain," tulis dia.
ECVT dan ECCT, kata dia, telah jelas memberikan harapan besar untuk terapi kanker berbasis gelombang energi non-radiasi. Dengan ECCT, misalnya, kasus yang sudah tidak ada jalan keluar sebelumnya seperti kanker di tengah batang otak atau kanker yang sudah menyebar ke seluruh tubuh masih mungkin dibersihkan dengan ECCT.
Namun, pada penghujung November, Warsito kaget saat membaca surat dari Balitbang Kemenkes tersebut. Dia mengaku menyadari sesuatu yang baru pasti akan mengundang kontroversi. Tapi, menurut dia, kontroversi itu karena dinamika dari percobaan hal yang baru. Baginya, tanpa mencoba sesuatu yang baru, tak ada yang bsia mengubah nasib.
"12 tahun sejak pertama kali ECVT ditemukan, hari ini di tempat yang sama, saya mendapat surat dari sebuah lembaga agar menghentikan semua kegiatan pengembangan riset saya di Indonesia. Haruskah pertanyaan 12 tahun yang lalu perlu diulang, 'Tak ada tempat buat saya di Indonesia?'," tulis dia.
Rasa galau juga disampaikan mitra Warsito, yaitu Fauzan Zidni, Direktur PT Edwar Teknologi. Fauzan mengakui memang pengembangan teknologi terapi kanker itu masih mengudang kontroversi di dunia medis.
Hal ini karena alat ECVT dan ECCT menggunakan gelombang pinggiran (fringing effect method). Sementara itu, pada pengembangan teknologi, umumnya memakai gelombang utama. Namun, kata dia, fakta malah membuktikan pemakaian gelombang pinggiran justru mujarab untuk terapi kanker.
"Alih-alih diabaikan, gelombang pinggiran yang dianggap mengganggu ini justru memiliki manfaat berkat pemanfaat algoritma soft-computing jaringan sarat tiruan," tulis Fauzan.
Fauzan menuliskan, pada Maret 2012, Warsito dan timnya menandatangani nota kesepahaman dengan Balitbang Kemenkes untuk kegiatan penelitian pemanfaatan teknologi yang dikembangkan PT Edwar Teknologi.
Cakupan pemanfaatan teknologi meliputi bidang kesehatan, baik yang bersifat diagnostik, terapi, kuratif, rehabilitatif, dan paliatif alat ECVT untuk pencitraan medis, serta penelitian pemanfaatan ECCT untuk terapi kanker.
Namun, hingga kini perjanjian kerja sama antara pihaknya dengan Balitbang belum ada yang ditandatangani. Konsekuensinya, kerja sama penelitian tersebut belum bisa dilaksanakan.
Tanpa adanya perjanjian kerja sama, Fauzan mengatakan bersama Warsito tetap melakukan penelitian untuk membuktikan ECCT dan ECVT dengan instansi penelitian lain yang punya kredibilitas tinggi.
Credit VIVA.co.id