Kamis, 01 Oktober 2015

Taktik Obama di Wilayah Konflik Gagal


Taktik Obama di Wilayah Konflik Gagal  
Pasukan keamanan Afghanistan bersiap-siap merebut kembali Kunduz dari Taliban. (Reuters/Stringer)
 
Washington, CB -- Di Suriah, para pemberontak yang dilatih AS meyerahkan pasokan dan amunisi kepada kelompok perlawanan yang memiliki hubungan dengan al-Qaidah.

Di Irak, pertempuran antara pasukan pemerintah yang didukung AS dan ISIS menemui jalan buntu.

Di Afghanistan, untuk kali pertama sejak disingkirkan pada 2001 Taliban berhasil merebut satu ibukota provinsi.

Kurang dari satu setengah tahun setelah dalam pidato di sekolah Militer West Point Presiden Barack Obama menguraikan strategi untuk lebih bergantung pada mitra setempat daripada pengerahan militer AS secara besar-besaran di Luar negeri, muncul bukti bahwa taktik yang disebut sebagai “Doktrin Obama” itu kemungkinan gagal.

Meski AS diperkirakan berinvestasi setidaknya US$90 miliar dalam upaya kontra-terorisme ini, Obama belum berhasil menemukan sekutu yang dapat diandalkan untuk memikul tugas di medan perang. Dan dia pun tampaknya tidak punya banyak opsi untuk memperbaiki situasi ini.

Obama juga tampaknya terkungkung dengan keengganan melihat Amerika kembali terlibat dalam perang di Timur Tengah yang tidak populer setelah menarik mundur pasukan AS dari Irak pada 2011.

Gerakan tiba-tiba Rusia untuk mengambil inisiatif dalam krisis di Suriah dan Irak beberapa minggu ini mengejutkan para pejabat AS, dan menelanjangi kenyataan bahwa pengaruh Washington di wilayah itu semakin terkikis.


Sejumlah pejabat dan mantan pejabat AS mengatakan, karena ada kemunduran yang bertubi-tubi ini Obama kemungkinan hanya akan melakukan perubahan kecil strategi.

Hal ini mengisyaratkan bahwa Obama akan meninggalkan sebagian konflik paling pelik di dunia ini pada penggantinya yang akan menduduki Gedung Putih pada Januari 2017.

“Situasi di tempat-tempat ini tidak bagus dan tidak akan membaik dalam waktu cepat,” ujar Douglas Ollivant, mantan pejabat senior Dewan Keamanan Nasional AS untu Irak.

“Itu masalah dalam bekerja sama dengan mitra. Tidak semua memiliki kemampuan.”

Opsi-posi yang ada meliputi antara lain meningkatkan dukungan bagi para pejuang Kurdi di Suriah, kerja sama denga Rusia untuk mengakhiri konflik di negara itu dan memperlambat rencana penarikan diri AS dari Afghanistan.

Para pejabat AS mengatakan pemerintah negara itu juga mempertimbangkan usul mengurangi program pelatihan para pemberontak Suriah untuk memerangi ISIS bernilai US$580 juta yang dinilai gagal.

Doktrin Obama gagal sebagian karena lemahnya pemerintahan nasional di Irak dan Afghanistan, dan juga kegagalan kelompok oposisi moderat Suriah untuk mengalahkan para pesaingnya.

Tetapi tetap saja para pengkritik menyalahkan Obama atas hal yang mereka pandang sebagai pendekatan yang terlalu berhati-hati, sehingga muncul pandangan bahwa Gedung Putih terhuyung-huyung akibat krisis yang terus melanda.

Citra Obama sebagai pemimpin dunia yang terkadang bersikap pasif menambah persepsi bahwa dia membiarkan perang saudara di Suriah memburuk, dan tidak bertindak cukup tegas untuk menghentikan laju ISIS di negara itu dan juga Irak.

Kekhawatiran baru terkait kebijakan Obama di Afghanistan juga dipicu oleh kejatuhan kota Kunduz ke tangan para pejuang Taliban minggu ini.

Para pejabat AS mengatakan, kemenangan Taliban secara tiba-tiba atas pasukan Afghanistan menambah dimensi baru pada diskusi perlunya mengubah rencana yang ada saat ini dan mempertahankan sejumlah kecil pasukan di Afghanistan setelah akhir 2016.

Obama dan penasihatnya dengan keras membela pendekatan tersebut, bahkan ketika masalah di beberapa medan peperangan semakin rumit.
 
Kebijakan cepat Presiden Putin di Suriah dan Irak bertolak belakang dengan kebijakan Presiden Obama yang dinilai lamban. (Reuters/Kevin Lamarque)
 
“Kami tidak pernah mengatakan bahwa strategi kemitraan kami adalah upaya yang akan berhasil dalam jangka pendek,” kata seorang pejabat senior pemerintah AS kepada Reuters. “Bahkan, kami selalu menekankan bahwa strategi itu memerlukan komitmen jangka panjang.”

Pejabat ini malah menuduh pengkritik Obama tidak bisa menawarkan alternatif lain yang lebih bagus.

“Apakah solusi setiap masalah di Iran dan Suriah adalah mengerahkan 150 ribu tentara AS? Langkah itu tidak akan dilakukan oleh presiden ini, atau diinginkan oleh warga Amerika,” kata pejabat ini.

“Kepentingan Utama”

Dasar dari strategi besar Obama dijabarkan dalam pidato di depan lulusan sekolah militer West Point pada 28 Mei 2014.

Saat itu, dengan berhati-hati dia membatasi pemikiran penggunaan kekuatan militer AS - hanya “ketika kepentingan utama kita memerlukannya” - dan menegaskan langkah yang dipilih adalah “bermitra dengan negara-negara tempat jaringan teroris mencoba mengakar.”

Namun, kebijakan itu tidak terbukti sebagai metode yang berhasil dalam perang melawan militansi Islam.

Di Suriah, kegagalan upaya AS membangun satu pasukan pemberontak semakin jelas bulan ini ketika Pentagon mengakui bahwa hanya empat atau lima pejuang yang benar-benar terjun di medan perang.

Gedung Putih berkeras hal itu bukan kesalahan Obama karena dia memang ragu dengan program itu, sementara pihak lain, termasuk pengkritik dari partai Republik, menekannya untuk menyetujui program pelatihan itu.

“Program pelatihan dan mempersenjatai itu hanyalah sekadar upaya agar Gedung Putih terlihat ‘melakukan sesuatu’,” kata Frederic Hof, mantan penasehat Departemen Luar Negeri AS untuk Suriah. “‘Setan yang memaksa saya melakukannya’ merupakan jawaban pemerintah atas kegagalan kebijakan itu.”

Kehadiran Rusia yang cepat di Suriah bertolak belakang dengan langkah yang disebut pengkritik Obama sebagai strategi mengerahkan militer AS di Suriah yang lambat dan penuh keraguan.
 
Pasukan anti-terorisme Irak yang dilatih oleh Amerika Serikat belum berhasil mengatasi laju ISIS di negara itu. (Reuters/Pool/Carolyn Kaster)
 
“Ketika tidak ada kepemimpinan Amerika, kekosongan ini akan diisi oleh pihak-pihak yang jahat,” kata Senator John McCain dari Partai Republik yang merupakan pengkritik keras kebijakan luar negeri Obama. Dia merujuk pada kemajuan yang dicapai oleh militan di wilayah konflik.

Di Irak, pemerintah Syiah yang terlibat ketegangan sektarian dengan penduduk minoritas Sunni, kesulitan mengatasi gerak laju ISIS.

Pasukan keamanan masih mencoba untuk dibangun kembali setelah tercerai-berai ketika menghadapi serangan militan di kota Mosul, kota terbesar kedua di Irak.

Secara pribadi, para pejahat AS telah mengutarakan rasa frustrasi atas kelambatan operasi di Irak, seperti persiapan merebut kembali Ramadi ibukota provinsi Anbar yang direbut ISIS Mei lalu.

Para pejabat AS menunjuk pada hasil yang lebih positif dari dukungan militer yang diberikan pada pasukan Kurdi di Irak dan Suriah.

Keberhasilan lain menurut mereka adalah kemajuan yang dicapai oleh mitra setempat untuk memerangi kelompok ekstrimis Boko Haram di Afrika Barat.



Akan tetapi, di Afghanistan lepasnya Kunduz merupakan pukulan terbaru bagi kebijakan Obama dan menimbulkan pertanyaan apakah pasukan Afghanistan bisa menjaga keamanan negara itu sendiri, meski Washington berinvestasi US$65 juta untuk membangunnya.

Para pengkritik mengatakan rencana penarikan diri pada 2016 terlalu terburu-buru.

Sejumlah pengamat mengisyaratkan meski jet tempur AS kemudian mengebom sasaran Taliban untuk merebut kembali Kunduz, militer AS kemungkinan tidak bisa menyediakan bantuan cepat terutama dalam mengirim tentara.

Bahkan jika Kunduz nanti bisa direbut kembali dari Taliban, “kerusakan sudah terjadi,” kata James Dobbins, mantan Utusan Khusus Obama di Afghanistan dan Pakistan. “Semua warga di sana sekarang sadar posisi mereka rentan.”

Credit  CNN Indonesia