Meski pemerintah China telah mengerahkan jutaan dolar, tensi di jantung populasi suku Uighur itu tetap tinggi, termasuk level waspada pasukan keamanan setempat.
Menurut pemerintah China, mereka tengah menghadapi ancaman serius dari militan Islam dan kelompok separatis di wilayah Otonomi Uighur Xinjiang.
"Dari 100 orang, mungkin salah satu atau duanya adalah teroris, namun kami semua melawan mereka," kata Gulnur Amati, warga etnis Uighur yang tinggal di Aksu, selatan Xinjiang. "Kami juga mengharapkan stabilitas di Xinjiang supaya terus berkembang secara harmonis. Hidup kami hanya dapat meningkat bila keadaannya stabil."
Polisi dan tentara hadir secara terang-terangan, menjadikannya salah satu daerah yang paling dijaga ketat di seluruh kawasan.
"Operasi kemanan memang akan meningkatkan keamanan publik, dan itu adalah hal yang dapat Anda lihat. Kalau bukan karena itu, kami tidak akan berani keluar rumah," seorang warga etnis Han, Zhuo Zexue bertutur, dilansir dari Channel NewsAsia, Rabu (30/9).
Faktanya, situasi ini juga berdampak hingga ke luar selatan Xinjiang. Pendapatan hotel-hotel di ibu kota Urumqi menurun, menyusul diperkenalkannya sebuah kartu kepada warga di selatan wilayah tersebut.
Tanpa kartu itu, warga tidak diperbolehkan bepergian ke luar kota selama lebih dari dua minggu.
Beberapa pengamat politik berpendapat, operasi keamanan ini dibutuhkan untuk menjaga keamanan di Xinjiang, namun juga mengakui perlunya membangun rasa percaya di antara kelompok etnis berbeda.
"Ini tidak hanya melawan orang Uighur," ujar Prof. Wu Chuke dari Universitas China.
"Ada orang Mongolia, misalnya, dan kelompok minoritas besar lainnya di utara China. Mereka punya negara-negara di mana mereka merupakan mayoritas, dan mereka pernah merdeka. Untuk itu, kita harus lebih percaya, mengerti, dan mendukung mereka,” lanjut Wu.
Walau begitu, bisa jadi butuh waktu lama untuk membangun kembali kepercayaan itu, mengingat tak sedikit insiden kekerasan di Xinjiang beberapa tahun belakangan yang membuat kelompok etnis beradu satu sama lain.
Credit CNN Indonesia