Tentara Arakan dtuding terkait dengan kasus kekerasan terorganisir di kamp pengungsi.
CB,
YANGON -- Kelompok Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) meminta para
simpatisan dan pengikutnya menahan diri dan tidak melakukan tindak
kejahatan di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh. Seruan itu dilakukan
menyusul terbitnya laporan pembunuhan dan penculikan yang ditudingkan ke
kelompok tersebut.
ARSA mengkritisi pemberitaan media yang berbasis di Bangladesh karena
telah mengaitkannya dengan kasus kekerasan terorganisir di kamp-kamp
pengungsi, termasuk serangkaian pembunuhan. ARSA mengakui adanya
kejadian tersebut, tapi membantah pimpinannya menyetujuinya.
"Orang-orang
itu tidak hanya menentang Pemerintah Bangladesh, tapi juga membuat ARSA
bertanggung jawab atas kejahatan mereka. Dan karena aktivitas mereka,
seluruh komunitas difitnah di seluruh dunia," kata ARSA dalam sebuah
pernyataan video yang diunggah melalui akun
Twitter-nya pada Rabu (13/3).
Terlepas
dari pemberitaan yang mengambinghitamkan kelompoknya atas serangkaian
kasus pembunuhan, ARSA tetap mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah
Bangladesh. Oleh sebab itu, ARSA meminta para pengungsi Rohingya,
termasuk para simpatisan, agar tidak melanggar peraturan dari otoritas
berwenang di sana.
Kelompok itu pun menegaskan masih akan
melanjutkan misinya menentang Pemerintah Myanmar. "Kegiatan kami untuk
hak-hak kami yang sah sedang berlangsung melawan pemerintah teroris
Myanmar dan genosida militer," katanya.
ARSA adalah
kelompok yang kerap menyerang aparat keamanan dan tentara Myanmar di
Rakhine. Pada Agustus 2017, mereka menyerang pos militer Myanmar di luar
Rakhine. Serangan tersebut menewaskan beberapa tentara Myanmar.
Setelah
kejadian itu, militer Myanmar segera melakukan operasi pemburuan
terhadap anggota ARSA di Rakhine. Operasi tersebut menjadi cikal bakal
terjadinya krisis pengungsi Rohingya.
Dalam operasinya,
tentara Myanmar bertindak brutal dan tak pandang bulu. Mereka
memberondong warga sipil Rohingya dengan tembakan dan membakar
permukimannya. Tak hanya itu, mereka juga dilaporkan memperkosa
wanita-wanita Rohingya.
Operasi militer itu menyebabkan
orang-orang Rohingya berbondong-bondong meninggalkan Rakhine menuju
Bangladesh. Saat ini terdapat lebih dari 700 ribu pengungsi Rohingya di
wilayah perbatasan Bangladesh, Cox's Bazar.
Sementara itu,
sebuah tim dari kantor kejaksaan Pengadilan Pidana Internasional (ICC)
telah menuntaskan kunjungannya selama beberapa pekan ke kamp-kamp
pengungsi Rohingya di Cox's Bazar pada Senin (11/3). Direktur
Yurisdiksi, Divisi Pelengkap, dan Kerja Sama ICC Phaksio Mochochoko
mengatakan berupaya membuat kemajuan dalam penyelidikan awal krisis
Rohingya.
"Kami berkomitmen membuat kemajuan berkelanjutan pada proses pemeriksaan pendahuluan," ujar Mochochoko, dikutip laman
Anadolu Agency.
Namun,
dia menegaskan pemeriksaan pendahuluan bukanlah sebuah investigasi. Itu
merupakan penilaian berdasarkan kriteria Statuta Roma guna memutuskan
apakah penyelidikan terhadap situasi Rohingya yang sedang berlangsung
diperlukan.