Secara khusus dirinya merendahkan dan mengorbankan Palestina.
CB,
TEL AVIV — Satu-satunya mantan perdana menteri perempuan Israel, Golda
Meir mengungkapkan kinerja dirinya selama menjabat.
Ia mengaku dapat mengamankan pekerjaan utama yang harus dilakukan negara itu.
Meir, yang baru saja dikonfirmasi oleh Knesset sebagai perdana
menteri Israel 50 tahun yang lalu terkenal dengan ucapannya yang lebih
xenofobik.
Secara khusus dirinya merendahkan dan
mengorbankan Palestina. Ia menganggap bahwa tidak pernah ada yang
disebut sebagai warga Palestina.
“Kapan ada warga
Palestina yang merdeka dengan negara Palestina? Tidak seperti yang
terlihat selama ini bahwa warga Palestina menganggap mereka sebagai
warga Palestina dan kami datang mengusir dan mengambil negara mereka.
Mereka tidakl pernah ada,” ujar Meir, seperti yang dikutip di
Sunday Times dan
Washington Post pada Juni 1969.
Bagi penentang Meir, ucapan tersebut menjadi salah satu peninggalannya yang paling dibenci.
Penulis buku ‘Golda Meir’, Elinor Burkett mengatakan sosok perempuan tersebut bukanlah seorang pemikir yang baik.
Banyak
pengamat menilai Meir tidak mampu merenungkan pendirian Israel telah
membuat warga Palestina memiliki narasi peristiwa yang berbeda, selain
dari kenyataan mereka kehilangan tempat tinggal akibat penjajahan yang
dilakukan Israel.
Meir memiliki tujuan nyata untuk membersihkan etnis Palestina di tanah asli mereka.
“Meir berniat untuk membersihkan etnis populasi asli Palestina, untuk memberi ruang bagi imigran Yahudi,” ujar Burkett.
Burkett mengatakan Meir tak memiliki masalah untuk memindahkan orang secara paksa dari rumah mereka.
Termasuk mengusir warga Palestina seluruhnya dari tanah mereka, agar keberadaan Israel terjamin.
Selama lima tahun menduduki jabatannya, Meir dikenal dengan komentar-komentar yang singkat, namun agresif.
Meski
demikian, ia tak luput dari sorotan saat 11 anggota tim olimpiade
Israel terbunuh pada 1972 dan terjadinya perang pada Oktober 1973.
Burkett
mengatakan imigran Yahudi yang pergi ke Amerika Serikat (AS) dan
perempuan Israel yang berada di negaranya bukanlah feminis. Namun,
kelompok feminis Amerika banyak yang menyukai Meir dan menjadikan
dirinya sebagai panutan.
“Tetapi Meir tidak
tertarik, bukan karena meragukan prestasi perempuan, tapi dia
mengabaikan prasangka gender,” kata Burkett sebagaimana dikutip dari
Aljazeera.
Seorang warga Palestina membawa ketapel pada peringatan 70 tahun hari Nakba (hari di mana warga Palestina diusir secara besar-besaran oleh Israel) di Ramallah, Tepi Barat Palestina, Selasa (15/5)
Meir
dinilai tak pernah menganggap jabatan yang diraihnya sebagai perdana
menteri adalah sebuah prestasi. Namun, itu adalah pencapaian untuknya.
Meir
lahir di Ukraina pada 1898 dan bermigrasi ke AS bersama keluarganya. Ia
menyelesaikan pendidikan sebagai seorang guru, hingga menikah pada 1921
dan pindah ke Palestina yang kemudian berada dalam kekuasaan Inggris.
Meir
kemudian menjadi sosialis Zionis, yang membuatnya mencapai jabatan
sebagai menteri tenaga kerja dan menteri luar negeri. Jabatan ini
membuat Israel populer di PBB.
Kemudian, aliansi
dengan AS yang membuatnya terkenal dan dianggap sebagai prestasi utama
seorang menteri luar negeri Israel. Sebelumnya, hubungan sekutu antara
AS dan Israel tidak begitu jelas.
"Orang-orang lupa
bahwa aliansi antara AS dan Israel tidak begitu jelas sebelum Meir
menjadi menteri luar negeri, namun ia membuat itu terjadi." jelas
Burkett.
Kesuksesan yang dirasakannya sebagai
politisi dan perannya pada 1948 untuk mengumpulkan jutaan dolar dari AS,
sehingga membantu evolusi Israel memberi pengaruh besar untuk
karirnya.
Termasuk bagi Israel, yang bangkit dan membuat hak-hak warga Palestina semakin diabaikan.
Meski
demikian, pemerintahan Meir kemudian dikritk keras karena kurangnya
kesiapsiagaan Israel dalam perang yang terjadi Oktober 1973.
Saat
itu, pasukan Mesir dan Suriah melancarkan serangan mendadak saat Yom
Kippur, hari paling suci dalam kalender Israel. Meski berhasil
membalikkan keadaan, namun militer Israel harus mengeluarkan biaya yang
sangat besar.
Meir meninggal dunia pada 1978, di
usianya yang ke-80. Tidak semua warga Israel menyukai dirinya, meski
sebagian besar mengingat jasanya terhadap negara tersebut.
Tetapi,
Meir tentu tidak dikenang dengan baik oleh warga Palestina yang selama
ini tak dipedulikan hak-haknya. Bahkan, bagi warga Israel sendiri
melihat bagaimana sosok Meir yang tak kenal kompromi.
"Pada
akhirnya, sikapnya terhadap Palestina pada dasarnya adalah sikap macho,
chauvinis, penyangkalan, yang secara intrinsik melekat dalam Zionisme,"
ujar Ofir.