Narasi media Barat telah didominasi Israel selama konflik yang 70 tahun.
CB,
GLASGOW — Gaza sering dijuluki sebagai sebuah penjara yang terbuka.
Salah satu alasan utama mengapa julukan itu muncul adalah karena di
wilayah Palestina itu terjadi blokade yang dilakukan oleh Israel dan
Mesir, baik di jalur darat, udara, hingga laut.
Gaza, menurut sejumlah kelompok hak asasi manusia tengah di ambang bencana kemanusiaan.
Pada Februari lalu, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres
menyoroti krisis yang terjadi di wilayah itu, di mana hampir dua juta
warga Palestina hidup dalam kemiskinan, akses terbatas untuk kesehatan,
pendidikan, bahkan untuk kebutuhan dasar mereka yaitu air dan listrik.
Meski demikian, banyak media yang sering tidak berhasil menceritakan apa yang terjadi sesungguhnya di Palestina.
Sejumlah media pada umumnya tak dapat menyajikan kisah yang dialami warga Palestina dengan akurat, serta empati.
Peran
media dalam meliput salah satu masalah internasional ini pun dibahas
oleh sejumlah pengamat di Glasgow, Skotlandia beberapa waktu lalu.
Aljazeera mewawancarai tiga panelis sebelum acara yang dipandu oleh The Balfour Project dimulai.
“Anda
selalu mendapat tekanan khusus saat melaporkan peristiwa di Israel dan
Palestina. Itu karena ada kesepakatan media Israel yang intens dan
terpadu, selalu,” ujar Sarah Helm, mantan koresponden asing untuk surat
kabar
Independent Inggris.
Helm menuturkan kesepakatan itu termasuk negosiasi politik Israel yang sangat kuat dan bekerja di setiap tingkatan.
Dia mengakui hal itu bukanlah rahasia dan Israel juga tak akan merahasiakannya.
“Karena
surat kabar telah menyetujui tekanan dan bujukan pro-Israel, hasilnya
adalah para pembaca tak mendapatkan petunjuk tentang Palestina,” jelas
Helm.
Saat ini, kekhawatiran serupa terjadi. Sebagai contoh adalah David Cronin, seorang penulis lepas untuk
The Guardian.
Dia
pernah mengungkapkan tentang dirinya yang frustrasi terhadap surat
kabar Electronic Intifada, di mana dia bertindak sebagai editor
asosiasi.
Cronin mengatakan setelah melaporkan
tentang kekejaman yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina, surat
kabar itu kemudian tidak menginginkannya menulis bahwa laporan itu
berasal dari Gaza.
Bahkan, kemudian seorang editor menyarankan kepadanya agar menghindar dari meliput konflik Israel-Palestina.
Para pengunjuk rasa Palestina di dekat perbatasan antara Israel dan Jalur Gaza, bagian timur Gaza, Jumat (22/02/2019).
Laporan dari media Inggris juga mengabaikan sejarah kontekstual konflik antara Palestina dan Israel.
Termasuk
di antaranya adalah fakta bahwa tujuh dari 10 warga Gaza menjadi
pengungsi setelah kehilangan rumah akibat Israel yang menjajah tanah
Palestina pada 1948.
Narasi media Barat telah didominasi Israel selama konflik yang 70 tahun lamanya telah berlangsung tersebut.
Israel
dikatakan secara brilian berhasil menawarkan sebuah narasi yang
diyakini oleh negara-negara Barat, tanpa menggunakan penilaian
objektif.
Sir Vincent Fean, mantan konsul jenderal
Inggris di Yerusalem, mengatakan perjuangan yang rumit dan mengakar di
Gaza telah mengurangi "selera media Barat".
Pada akhirnya, hal ini membuat mereka memilih untuk mencari berita lain, yang dianggap lebih menarik.
“Selain kelelahan, ada juga fakta bahwa krisis lain di Timur Tengah lebih mengerikan, seperti Suriah dan Yaman," kata Fean.
Pada
tahun 2017, Mariam Barghouti, seorang penulis Palestina-Amerika yang
berbasis di Ramallah, menulis dalam sebuah kolom untuk
Aljazeera.
Ia mengatakan banyak media berfokus kepada reaksi Palestina, namun bukan apa yang dilakukan Israel.
“Ini mengisyaratkan bahwa warga Palestina melakukan pelanggaran padahal sebenarnya mereka membela diri,” kata Barghouti.