Selasa, 10 Juli 2018

Arab Saudi dan Prancis Teken Kerja Sama Militer


Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman bertemu dengan Menteri Pertahanan Prancis, Florence Barley di Jeddah. english.alarabiya.net
Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman bertemu dengan Menteri Pertahanan Prancis, Florence Barley di Jeddah. english.alarabiya.net

CB, Jakarta - Arab Saudi, Ahad, 8 Juli 2018, menandatangani kerja sama militer dengan Prancis. Laporan kantor berita SPA menyebutkan, kesepakatan kerja sama itu diteken oleh Putra Mahkota Mohammed bin Salman dan Menteri Angkatan Bersenjata Prancis Florence Barley.
Selama pertemuan di Jeddah, tulis Arab News, keduanya membicarakan kerja sama bilateral di bidang pertahanan dan pembangunan regional. "Pertemuan tersebut dihadiri pula oleh para pejabat senior Arab Saudi dan Prancis."

Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman saat bertemu dengan Menteri Pertahanan Prancis, Florence Barley di Jeddah. english.alarabiya.net
Al Arabiya menyebutkan, di antara pejabat senior Arab Saudi yang menyaksikan kerja sama tersebut antara lain Wakil Menteri Pertahanan Mohammad Bin Abdullah Al-Aish, Kepala Staf Militer Jenderal Fayyad bin Hamed Al-Ruwaili, Direktur Jenderal Kantor Kementerian Pertahanan Hisham Al As-Sheikh, Penasihat Militer untuk Pertahanan Mayor Jenderal Talal Al-Otaibi, Atase Pertahana Arab Saudi untuk Prancis dan Swiss Brigadir Jenderal Walid Saif.
Kerajaan Arab Saudi lebih memilih beli senjata ke negara-negara Barat termasuk ke Prancis, Inggris dan Amerika Serikat karena dianggap lebih maju.
Menteri Pertahanan Prancis, Florence Barley saat bertemu dengan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman di Jeddah. english.alarabiya.net
"Kami tak membeli perlengkapan tempur dari Indonesia, meskipun saat ini dalam penjajakan dengan Pindad di Bandung dan Malang," kata Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Osama bin Mohammed Abdullah Shuaibi kepada Tempo, Selasa, 27 Maret 2018.

Prancis sebagaimana laporan Russian Today, Selasa, menjual senjata ke Arab Saudi senilai Rp 27,5 trilun (US$ 2 miliar). Pembelian ini ditentang oleh para aktivis hak asasi manusia karena digunakan untuk berperang di Yaman.



Credit  tempo.co