Kamis, 12 Mei 2016

Thailand Akan Hadapi 'Momen Memalukan' di Dewan HAM PBB


Thailand Akan Hadapi 'Momen Memalukan' di Dewan HAM PBB  
Junta militer Thailand memenjarakan kritikus, memperkenalkan hukum baru yang membatasi kebebasan berpendapat, menyensor media, dan melarang debat politik. (Reuters/Athit Perawongmetha)
 
Jakarta, CB -- Thailand diperkirakan akan menghadapi momen memalukan ketika Dewan Hak Asasi Manusia mengulas kembali rekam jejak pelanggaran HAM di negara mereka dalam pertemuan Universal Periodic Review, UPR.

Seperti diberitakan Reuters, UPR merupakan proses peninjauan mengenai rekam jejak HAM dari 193 negara PBB. Terakhir kali diperiksa pada 2011 lalu, kini Thailand dan 13 negara lainnya akan kembali ditanyai oleh Dewan HAM PBB dalam sesi putaran kali ini yang rampung Jumat (13/5).


Proses penilaian ini berjalan ketika kabar mengenai penahanan seorang netizen yang mengkritik junta militer di Thailand masih ramai diperbincangkan.

Militer mengambil alih kekuasaan pada Mei 2014 dengan dalih menghentikan putaran politik pahit yang sudah membelenggu Thailand sejak 2006, ketika tentara menggulingkan Thaksin Shinawatra dari kursi perdana menteri.

Banyak kelompok pemerhati HAM mengatakan bahwa junta sudah mengencangkan cengkeramannya dan menekan hak-hak asasi warga Thailand selama setahun belakangan. Mereka memenjarakan kritikus, memperkenalkan hukum baru yang membatasi kebebasan berpendapat, menyensor media, dan melarang debat politik.

"Akan menjadi momen memalukan bagi pemerintah Thailand di hadapan forum besar internasional, di mana Thailand pernah dihargai dan dihormati. Saya harap itu akan menjadi pesan jelas bagi Bangkok untuk segera mengubah perilaku mereka," ujar peneliti Thailand untuk Human Rights Watch, Sunai Phasuk, Rabu (10/5).

Menanggapi pemberitaan ini, juru bicara junta militer Thailand, Winthai Suvaree, mengatakan bahwa ia ingin delegasi negaranya, "mengatakan yang sejujurnya mengenai apa yang terjadi di Thailand."

Pada 27 April, aparat menahan delapan aktivis karena mengkritik junta militer dan draf konstitusi melalui akun jejaring sosial Facebook. Kedelapan orang itu akhirnya dibebaskan dengan jaminan pada Selasa (10/5).

Dua dari delapan orang itu kemudian diadili atas tuduhan penghinaan terhadap kerajaan pada Rabu (11/5).

"Kami menambahkan tuduhan fintah kerajaan dan kejahatan komputer," ucap pengurus kasus tersebut, Chaiporn Nittayapat.







Credit  CNN Indonesia