JAKARTA, CB — Usai menyoroti badan
usaha milik negara (BUMN) dan beberapa program pemerintah, giliran
perusahaan tambang asal Amerika Serikat, Freeport, dikritik pedas oleh Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli.
Perusahaan yang sudah bercokol di Indonesia sejak 1967 itu dinilai sudah seenaknya sendiri membuang limbah tambang ke sungai di sekitar area penambangan.
"Limbah yang diaduk dengan merkuri itu dibuang begitu saja di sungai. Ikannya mati, penduduk menderita. Kalau mereka ikut good governance, enggak ada susahnya itu memproses limbah itu," ujar Rizal saat berbicara dalam acara Dies Natalis Universitas Jayabaya, Jakarta, Kamis (9/10/2015).
Freeport, kata Rizal, paham bahwa hukum di Indonesia lemah sehingga terus-terusan melakukan pencemaran lingkungan itu. Padahal, di negara asalnya, kata Amerika Serikat, perusahaan yang melakukan pencemaran alam dikenai denda yang sangat besar hingga puluhan miliar dollar AS.
Dari sisi pembayaran royalti, Freeport hanya bayar 1 persen kepada negara. Masyarakat Papua hanya dapat sedikit manfaat, sementara alam di sana rusak.
Penyebab perusahaan asing itu berani berlaku seenaknya lantaran banyak pejabat Indonesia yang mau disogok. "Daripada bersihkan limbah, mending sogok aja pejabatnya. Daripada bayar royalti, mending lobi aja pejabatnya," sindir dia.
Oleh karena itulah, Rizal kesal dengan para pejabat di sektor energi dan mineral batubara (ESDM) yang mau membuat aturan baru renegosiasi kontrak karya perusahaan-perusahaan tambang. Dari yang awalnya renegosiasi kontrak paling cepat 2 tahun sebelum kontrak habis, menjadi 10 tahun sebelum kontrak habis.
"Pejabat itu enggak tahu teknik negosiasi, semakin kepepet (perusahaan tambang itu), bargaining posisi kita makin baik. Jadi, untuk bermanfaat buat bangsa, mari kita tulis kembali sejarah itu," ucap dia.
Perusahaan yang sudah bercokol di Indonesia sejak 1967 itu dinilai sudah seenaknya sendiri membuang limbah tambang ke sungai di sekitar area penambangan.
"Limbah yang diaduk dengan merkuri itu dibuang begitu saja di sungai. Ikannya mati, penduduk menderita. Kalau mereka ikut good governance, enggak ada susahnya itu memproses limbah itu," ujar Rizal saat berbicara dalam acara Dies Natalis Universitas Jayabaya, Jakarta, Kamis (9/10/2015).
Freeport, kata Rizal, paham bahwa hukum di Indonesia lemah sehingga terus-terusan melakukan pencemaran lingkungan itu. Padahal, di negara asalnya, kata Amerika Serikat, perusahaan yang melakukan pencemaran alam dikenai denda yang sangat besar hingga puluhan miliar dollar AS.
Dari sisi pembayaran royalti, Freeport hanya bayar 1 persen kepada negara. Masyarakat Papua hanya dapat sedikit manfaat, sementara alam di sana rusak.
Penyebab perusahaan asing itu berani berlaku seenaknya lantaran banyak pejabat Indonesia yang mau disogok. "Daripada bersihkan limbah, mending sogok aja pejabatnya. Daripada bayar royalti, mending lobi aja pejabatnya," sindir dia.
Oleh karena itulah, Rizal kesal dengan para pejabat di sektor energi dan mineral batubara (ESDM) yang mau membuat aturan baru renegosiasi kontrak karya perusahaan-perusahaan tambang. Dari yang awalnya renegosiasi kontrak paling cepat 2 tahun sebelum kontrak habis, menjadi 10 tahun sebelum kontrak habis.
"Pejabat itu enggak tahu teknik negosiasi, semakin kepepet (perusahaan tambang itu), bargaining posisi kita makin baik. Jadi, untuk bermanfaat buat bangsa, mari kita tulis kembali sejarah itu," ucap dia.
Credit KOMPAS.com