Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya, 21 Mei 1998. (REUTERS)
Hal tersebut terungkap dalam dokumen deklasifikasi, dokumen yang diungkap oleh Arsip Keamanan Nasional (National Security Archive), The George Washington University.
"Pejabat AS mengetahui keterlibatan militer dalam penculikan dan penghilangan aktivis mahasiswa pada saat itu, namun menganggap penting untuk menjaga peran tentara sebagai pusat stabilitas politik di Indonesia," tulis National Security Archive dalam rilisnya, Selasa (24/7).
Dokumen-dokumen itu juga mengungkap keterlibatan aktif Amerika Serikat dalam permasalahan yang merundung Indonesia di masa pergolakan 1998.
Pejabat AS memonitor meningkatnya perlawanan militer kepada Soeharto, termasuk pandangan menantunya, Prabowo saat itu bahwa Soeharto harus mundur.
Clinton juga menekan Indonesia di bidang ekonomi, khususnya mendesak paket ekonomi dari Dana Moneter Internasional (IMF). Paket ekonomi yang belakangan diketahui malah memperburuk krisis politik di Indonesia dan mendorong tumbangnya Suharto dari kekuasaan.
Dokumen-dokumen deklasifikasi yang baru dirilis menambah catatan dalam hubungan Indonesia-Amerika Serikat. Termasuk bahan-bahan penting yang pernah diunggah Arsip Keamanan Nasional AS seperti pendudukan Indonesia atas Timor Leste dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada pertengahan 1960-an.
Brad Simpson, pendiri dan direktur Indonesia and East Timor Documentation Project mengatakan 20 tahun setelah krisis keuangan Asia 1997-1998 dan mundurnya mantan Presiden Indonesia Soeharto Mei 1998, Arsip Keamanan Nasional AS merilis dokumen rahasia yang menjelaskan detail kebijakan AS terhadap Indonesia selama krisis keuangan Asia.
Termasuk respons pemerintahan Presiden AS saat itu, Bill Clinton atas aksi mahasiswa yang menentang Soeharto.
Dalam dokumen rahasia itu juga diungkapkan keterlibatan Soeharto dan personel militer Indonesia dalam serangkaian penculikan aktivis mahasiswa. Meski begitu, Clinton berkomitmen untuk menjaga hubungan dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pasca terjungkalnya Soeharto.
Credit cnnindonesia.com