... karena korban Montara adalah rakyat Indonesia...
Jakarta (CB) - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman,
Luhut Pandjaitan, akan mengambil langkah tegas dalam penyelesaian kasus
pencemaran minyak di perairan Laut Timor, NTT, karena insiden ledakan di
ladang migas Montara di Australia.
"Kami akan mengambil langkah tegas terkait kasus ini karena korban Montara adalah rakyat Indonesia," katanya, di Jakarta, Selasa.
Dia telah mengirim utusannya pekan lalu untuk meninjau langsung area kerusakan atas insiden itu.
Ia juga akan mengejar penyelesaian kasus itu. Terlebih, petani rumput laut asal NTT telah memenangi gugatan di Pengadilan Federal Australia soal keabsahan penggugat mengajukan class action dalam perkara pencemaran kilang minyak Montara di NTT.
"Saya mencoba menghubungi Jaksa Agung Australia, George Brandis, meminta dukungan mereka untuk mempercepat prosesnya," katanya.
Di saat yang sama, pemerintah Indonesia juga mengajukan gugatan terhadap kontraktor Montara, PTTEP di PN Jakarta Pusat yang akan disidangkan 23 Agustus mendatang.
"Kita lihat apa yang terjadi, ini sudah hampir delapan tahun, sudah terlalu lama. Australia sudah dibayar, kok kita belum," kata Pandjaitan.
Pemerintah Indonesia mendaftarkan gugatan ganti rugi senilai Rp27,4 triliun atas insiden ledakan di ladang migas Montara di Australia yang meledak dan mengakibatkan pencemaran minyak di perairan Laut Timor, Nusa Tenggara Timur.
Nilai gugatan ganti rugi itu terbagi menjadi dua komponen yakni kerugian atas kerusakan lingkungan senilai Rp23 triliun dan biaya pemulihan kerusakan lingkungan sebesar Rp4,4 triliun.
Kerusakan lingkungan utamanya terjadi pada 700 Hektare hutan bakau, padang lamun seluas 1.400 Hektare, dan terumbu karang seluas 1.200 Hektare.
Gugatan yang didaftarkan pada 3 Mei itu ditujukan kepada Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Australasia yang berkedudukan di Australia serta Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public Company Limited dan Petroleum Authority of Thailand Public Company Limited yang berlokasi di Thailand.
Sejak insiden meledaknya sumur minyak Montara pada 21 Agustus 2009, pemerintah terus mengejar ganti rugi perusahaan migas asal Thailand itu. Pemerintah telah melakukan negosiasi namun masih berujung pada kebuntuan.
Sejak gagal menemui kesepakatan pada 2012, pemerintah menilai tidak ada iktikad baik PTT EP untuk memberikan ganti rugi pada masyarakat terdampak di kawasan sekitar Laut Timor.
Alih-alih memberikan ganti rugi, perusahaan yang beroperasi di wilayah perairan Australia itu dalam situs resminya, www.pttep.com, mengutip hasil riset independen bahwa tidak ada minyak dari kilang Montara yang memasuki wilayah daratan Indonesia dan Australia.
Bahkan dalam rilis yang sama, PTT EP mengklaim bahwa tumpahan minyaknya hanya memberikan dampak kecil atau bahkan tidak ada sama sekali pada ekosistem atau spesies laut di perairan Timor.
"Kami akan mengambil langkah tegas terkait kasus ini karena korban Montara adalah rakyat Indonesia," katanya, di Jakarta, Selasa.
Dia telah mengirim utusannya pekan lalu untuk meninjau langsung area kerusakan atas insiden itu.
Ia juga akan mengejar penyelesaian kasus itu. Terlebih, petani rumput laut asal NTT telah memenangi gugatan di Pengadilan Federal Australia soal keabsahan penggugat mengajukan class action dalam perkara pencemaran kilang minyak Montara di NTT.
"Saya mencoba menghubungi Jaksa Agung Australia, George Brandis, meminta dukungan mereka untuk mempercepat prosesnya," katanya.
Di saat yang sama, pemerintah Indonesia juga mengajukan gugatan terhadap kontraktor Montara, PTTEP di PN Jakarta Pusat yang akan disidangkan 23 Agustus mendatang.
"Kita lihat apa yang terjadi, ini sudah hampir delapan tahun, sudah terlalu lama. Australia sudah dibayar, kok kita belum," kata Pandjaitan.
Pemerintah Indonesia mendaftarkan gugatan ganti rugi senilai Rp27,4 triliun atas insiden ledakan di ladang migas Montara di Australia yang meledak dan mengakibatkan pencemaran minyak di perairan Laut Timor, Nusa Tenggara Timur.
Nilai gugatan ganti rugi itu terbagi menjadi dua komponen yakni kerugian atas kerusakan lingkungan senilai Rp23 triliun dan biaya pemulihan kerusakan lingkungan sebesar Rp4,4 triliun.
Kerusakan lingkungan utamanya terjadi pada 700 Hektare hutan bakau, padang lamun seluas 1.400 Hektare, dan terumbu karang seluas 1.200 Hektare.
Gugatan yang didaftarkan pada 3 Mei itu ditujukan kepada Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Australasia yang berkedudukan di Australia serta Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public Company Limited dan Petroleum Authority of Thailand Public Company Limited yang berlokasi di Thailand.
Sejak insiden meledaknya sumur minyak Montara pada 21 Agustus 2009, pemerintah terus mengejar ganti rugi perusahaan migas asal Thailand itu. Pemerintah telah melakukan negosiasi namun masih berujung pada kebuntuan.
Sejak gagal menemui kesepakatan pada 2012, pemerintah menilai tidak ada iktikad baik PTT EP untuk memberikan ganti rugi pada masyarakat terdampak di kawasan sekitar Laut Timor.
Alih-alih memberikan ganti rugi, perusahaan yang beroperasi di wilayah perairan Australia itu dalam situs resminya, www.pttep.com, mengutip hasil riset independen bahwa tidak ada minyak dari kilang Montara yang memasuki wilayah daratan Indonesia dan Australia.
Bahkan dalam rilis yang sama, PTT EP mengklaim bahwa tumpahan minyaknya hanya memberikan dampak kecil atau bahkan tidak ada sama sekali pada ekosistem atau spesies laut di perairan Timor.
Credit antaranews.com