Selasa, 11 Oktober 2016

"Seperti bom nuklir", kolera dan kehancuran setelah badai di Haiti

 
Kerusakan akibat Badai Matthew terlihat dari udara di sepanjang pesisir barat Haiti, Kamis (6/10/2016). (Logan Abassi, courtesy of UN/MINUSTAH/Handout via REUTERS)
Kami berharap Tuhan memberi kami peluang untuk membangun kembali gereja dan membantu para korban di kawasan ini
Port-a-Piment (CB) - Penderita tiba setiap 10 atau 15 menit, dibawa dengan sepeda motor oleh kerabat dengan bahu diselimuti bekas muntahan dan diangkat melalui tangga ke rumah sakit Port-a-Piment Haiti, tempat mereka bisa mengistirahatkan tubuh akibat kolera.

Kurang dari sepekan sejak badai Matthew menghantam Haiti dan menewaskan setidak-tidaknya 1.000 orang, menurut hitungan pejabat setempat, negara itu menghadapi krisis kesehatan ketika kolera melanda masyarakat di daerah terpencil, yang kekurangan air bersih, makanan dan penampungan.

Reuters mengunjungi RS Port-a-Piment pada Minggu pagi, pada hari pertama jalanan utama di baratdaya Haiti sudah bisa dilalui mobil.

Pada saat itu, terdapat 39 penderita kolera, kata direktur kesehatan rumah sakit tersebut, Missole Antoine. Hingga siang, penderitanya mencapai 60 orang, dan empat pasien meninggal akibat penyakit yang ditularkan lewat air itu.

"Jumlah itu akan meningkat," kata Antoine, sambil berjalan di antara pasien-pasien yang terbaring di lantai rumah sakit.

Meskipun ada 13 kasus kolera sebelum Matthew melanda, Antoine mengatakan, kasusnya meningkat drastis sejak badai menghancurkan kawasan yang sangat miskin.

Rumah sakit kekurangan ambulans, atau bahkan mobil, dan Antoine mengatakan banyak pasien baru datang dari lokasi yang jauh, dan dibawa anggota keluarganya dengan tempat tidur kamp.

Di dalam rumah sakit, para orang tua berwajah muram memeluk anak-anak kecil dengan mata cekung dan tidak sanggup mengangkat kepala mereka sendiri.

"Saya percaya pada dokter, dan juga pada Tuhan," kata Roosevelt Dume (37) sambil menggendong anak lelakinya, Roodly, dan mencoba tetap optimistis.

Reruntuhan

Di jalanan, keadaan juga mengejutkan. Sepanjang dua mil lebih hampir seluruh rumah sudah menjadi reruntuhan dan besi-besi terpelintir. Kain warna-warni berserakan di antara reruntuhan.

Kebun pisang di kawasan tersebut dengan tanah. Masyarakat hanya bergantung pada kelapa yang jatuh untuk makanan dan minuman, karena bantuan pemerintah maupun asing tidak segera datang.

Bau busuk mayat, manusia maupun hewan, tercium dimana-mana.

Di desa Labei dekat Port-a-Piment, warga setempat mengatakan arus sungai menghanyutkan mayat-mayat dari desa-desa di hulu. Tanpa ada yang datang memindahkan mayat-mayat itu, warga menggunakan papan kayu apung untuk mendorong mereka masuk sungai sehingga bisa mengalir ke laut.

Di pantai, mayat seorang pria tergeletak di bawah terik matahari. Beberapa ratus meter di sebelah kirinya di selokan tepi jalan, tiga kambing mati terendam di lumpur beracun.

"Bagi saya ini nampak seperti ledakan bom nuklir," kata Paul Edouarzin, karyawan Program Lingkungan PBB yang bermarkas di dekat Port-a-Piment.

"Dalam hal kehancuran -lingkungan dan pertanian- saya bisa katakan bahwa 2016 lebih buruk daripada 2010," tambah dia, merujuk pada gempa bumi 2010 di mana Haiti belum pulih.

Warga terkena diare di desa Chevalier sudah mengetahui wabah kolera di dekat mereka, namun tidak memiliki banyak pilihan selain meminum air payau dari sumur setempat yang mereka yakini sudah terkontaminasi bangkai ternak.

"Kami ditelantarkan oleh pemerintah yang tidak pernah memikirkan kami," kata Marie-Ange Henry sambil memeriksa rumahnya, yang hancur.

Ia mengatakan, Chevalier belum menerima bantuan apapun dan banyak warga, seperti halnya dia, mengalami demam. Ia khawatir, kolera tengah menuju desanya.

Pastor Pierre Moise Mongerard bergantung pada bantuan Tuhan untuk menyelamatkan gerejanya, yang tanpa atap, di desa Torbeck. Dengan mengenakan baju terbaiknya -mantel, celana dan sepatu kulit coklat- ia bergabung dalam paduan suara kecil menyanyikan lagu, yang bergema hingga persawahan di sekitarnya.

"Kami berharap Tuhan memberi kami peluang untuk membangun kembali gereja dan membantu para korban di kawasan ini," katanya, sebelum musik menelan suaranya, dan ia perlahan bergabung dalam kidung, menutup matanya dan menengadahkan tangannya ke langit.


Credit  ANTARA News

Korban tewas badai di Haiti mencapai 1.000 orang

Korban tewas badai di Haiti mencapai 1.000 orang
Seorang anak perempuan berjalan di atas pohon tumbang oleh Badai Matthew di Les Cayes, Haiti, Rabu (5/10/2016). (REUTERS/Andres Martinez Casares)
 
Port-Au-Prince (CB) - Korban tewas akibat badai Matthew di Haiti menjadi 1.000 orang dan mulai dimakamkan dalam sejumlah kuburan massal, demikian pemerintah setempat menyatakan pada Minggu.

Setelah badai yang melanda pada Selasa pekan lalu, wabah kolera juga mulai menyebar di daerah barat daya Haiti.

Badai dengan kekuatan terbesar di kawasan Karibia dalam satu dekade terakhir itu, menyapu Haiti dengan kecepatan angin 233 km per jam dan hujan lebat yang membuat sekitar 1,4 juta orang kini membutuhkan bantuan kemanusiaan, kata PBB.

Perhitungan gabungan Reuters dari keterangan para pejabat lokal menunjukkan bahwa 1.000 orang telah tewas akibat badai di Haiti, salah satu negara termiskin di benua Amerika yang hanya mempunyai populasi 10 juta orang.

Sementara itu jumlah kematian menurut badan perlindungan sipil pusat hanya 336. Angka tersebut jauh lebih kecil karena mereka masih harus mengunjungi setiap desa untuk memeriksa angka kematian.

Otoritas setempat mulai memakamkan para korban di kuburan massal kota Jeremie karena mayat-mayat tersebut mulai membusuk, kata Kedner Frenel, pejabat pemerintah pusat di wilayah GrandAnse.

Frenel mengatakan 552 orang tewas akibat badai Matthew di GrandAnse. Sementara itu angka kematian dari laporan 15 wali kota di daerah semenanjung itu menunjukkan 386 orang.

Frenel sendiri saat ini lebih mengkhawatirkan penyebaran kolera. Pihak otoritas mulai fokus untuk menyalurkan air minum sehat, makanan, dan obat-obatan kepada ribuan orang yang mengungsi di tenda-tenda darurat.

Kolera menyebabkan diare parah dan bisa menyebabkan kematian hanya dalam beberapa jam jika tidak segera ditangani. Penyakit itu menyebar melalui air yang terkontaminasi dan punya masa inkubasi singkat sehingga sering menjadi wabah.

Pemerintah setempat mengantisipasinya dengan memperbaiki sejumlah tempat perawatan pada akhir pekan dan mengirim tim ke salah satu pusat menyebarnya wabah.

Credit  ANTARA News


Haiti hadapi krisis kemanusiaan setelah diterjang badai Matthew

Haiti hadapi krisis kemanusiaan setelah diterjang badai Matthew
Orang-orang turun ke jalan-jalan disamping rumah-rumah yang hancur setelah Badai Matthew menerjang Jeremie, Haiti, Rabu (5/10/2016). (REUTERS/Carlos Garcia Rawlins )
 
Port-au-Prince, Haiti (CB) - Haiti menghadapi krisis kemanusiaan yang membutuhkan "respons masif" dari masyarakat internasional dengan sedikitnya 1,4 juta orang membutuhkan bantuan darurat setelah topan Matthew menerjang wilayahnya menurut Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Badai menewaskan sedikitnya 372 orang di negara Karibia yang miskin itu, dengan jumlah korban diperkirakan meningkat tajam saat petugas penyelamat menjangkau lebih banyak daerah.

Matthew meratakan rumah, mencemari sumber air bersih dan membunuh hewan ternak, dan korban memohon agar bantuan bisa datang lebih cepat.

PBB mengajukan permohonan dana bantuan 120 juta dolar AS (sekitar Rp1,55 triliun) untuk memenuhi kebutuhan di Haiti selam tiga bulan ke depan.

"Respons masif diperlukan," kata Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki moon kepada wartawan Senin (10/10)

"Beberapa kota dan desa hampir hilang dari peta," katanya sebagaimana dikutip kantor berita AFP.

"Angka-angka dan kebutuhan ini akan meningkat saat lebih banyak daerah dapat dijangkau."

Setelah menghantam Haiti pada 4 Oktober sebagai badai kategori empat, membawa angin berkecepatan 230 kilometer per jam, Badai Matthew melanda bagian tenggara Amerika Serikat dan menewaskan 20 orang.


Krisis Kemanusiaan Terburuk
Di Haiti, lebih dari 300 sekolah rusak, panen dan cadangan makanan juga rusak menurut Ban.

Kepala Bantuan PBB Stephen O'Brien mengatakan badai memicu krisis kemanusiaan terburuk di Haiti sejak gempa 2010.

Departemen Grande Anse di bagian barat daya Haiti adalah daerah yang paling parah terdampak dengan 198 korban jiwa, 97 korban cedera, dan 99.400 orang harus tinggal di tempat-tempat penampungan sementara.

Lebih dari 175.500 orang menempati tempat-tempat penampungan di bagian lain negara itu.

Sementara pengiriman pasokan bantuan lumpuh karena jalan dan komunikasi terputus.

"Saya memahami kefrustrasiannya," Jean-Luc Poncelet, perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) di negara itu, mengatakan setelah tiba di bandara di luar Jeremie, salah satu kota yang paling parah terdampak.

Namun dia mengatakan bahwa dampak badai di selatan dan barat Semenanjung Tiburon "sangat parah."

"Ketika kau tidak punya alat komunikasi, tidak ada radio, tidak ada telepon, tidak ada jalan, dan bahkan helikopter tidak bisa mendarat-- ini menjelaskan penundaan masif itu," katanya kepada kantor berita AFP.

Helikopter militer Amerika membongkar boks-boks pasokan dari United States Agency for International Development untuk disimpan PBB di Jeremie sebelum dikirim ke bagian lain di wilayah selatan untuk disalurkan.

Seorang petugas di bandara yang menolah namanya disebut karena tidak punya kewenangan bicara kepada media mengatakan bahwa ada hampir 20 ton pasokan yang meliputi terpal, beras, minyak goreng dan perangkat kesehatan yang dibawa masuk.

Itu menambah pasokan 47 ton yang sudah dibawa masuk helikopter militer Amerika Serikat dari Ibu Kota Port-au-Prince.

Namun membawa bantuan ke warga Haiti yang sekarang kekurangan air bersih untuk minum dan tinggal di rumah-rumah tak beratap sekarang tidak mudah.

Di jalan utama yang melintasi pengurunan di pusat semenanjung, warga beberapa desa menutup jalan dengan pohon, batu dan puing untuk menghentikan konvoi bantuan yang lewat sehingga tidak bantuan pasokan tidak sampai ke lokasi sasaran.

Credit  ANTARA News