Selasa, 11 Oktober 2016

Pesan Toleransi Umar bin Khattab dari Yerusalem

 Menara Masjid Umar bin Khatab (kiri) di Yerusalem, Palestina.
Menara Masjid Umar bin Khatab (kiri) di Yerusalem, Palestina.
 
CB, JAKARTA -- Saat Umar bin Khattab menjadi khalifah, usaha-usaha pembebasannya pun sampai di Yerusalem. Ceritanya, meskipun pada saat itu Yerusalem telah dibebaskan oleh pasukan Umar, tetapi secara formal Patriak Kristen tidak akan menyerahkan Yerusalem, kecuali kepada Umar secara langsung.

Umar pun datang ke Yerusalem dan diterima Patriak Kristen di Gereja Qiyâmah. Di tempat inilah dibuat perjanjian yang sampai sekarang naskahnya masih bisa dibaca karena terdokumentasi dengan baik.

Yerusalem pada saat itu sudah diganti namanya menjadi Aelia Capitolina (kota Aelia), sehingga perjanjian yang dibuat pun diberi nama Perjanjian Aelia.

Ada cerita menarik ketika Umar hendak shalat dan bertanya di mana ia bisa shalat. Patriak mempersilakan Umar untuk shalat di gereja itu, tetapi dia menolak. Umar kemudian keluar dari gereja dan shalat di anak tangga.

Selesai salat, Umar menjelaskan alasan dia tidak mau shalat di gereja tersebut. Kalau Umar shalat di gereja tersebut, dikhawatirkan kelak tentara Islam mengambil gereja ini dan menjadikannya masjid.
Karena itu, Umar shalat di luar agar Patriak tidak kehilangan gereja. Gereja ini kemudian menjadi tempat paling suci di Yerusalem bagi Kristen. Di tempat Umar shalat kemudian didirikan masjid kecil, tetapi menaranya tinggi melebihi menara gereja sebagai pertanda bahwa Islam lebih unggul dari Kristen.

Untuk menunjukkan toleransi yang tinggi, shalat berjamaah terlarang di masjid, yang berarti tidak boleh dikumandangkan azan, karena dikhawatirkan akan mengganggu gereja.

Dengan diantar Patriak Umar kemudian pergi ke tempat Nabi Sulaiman dahulu mendirikan al-Masjid al-Aqsha yang ternyata sudah menjadi velbak.  Hellena memerintahkan supaya Shakhrah itu dijadikan velbak, tempat pembuangan sampah.

Ini adalah perbuatan Hellena yang sebenarnya ditujukan untuk menghina bangsa Yahudi dengan menjadikan kiblatnya sebagai velbak.

Melihat kenyataan demikian, Umar marah dan menyuruh Patriak membantu membersihkan tumpukan sampah yang sudah menggunung dengan tangannya sendiri. Setelah bersih, Umar melihat batu suci itu dan mengatakan bahwa itu adalah batu yang digambarkan Nabi sebagai tempat menjejakkan kakinya untuk Mikraj naik ke langit.






Credit  REPUBLIKA.CO.ID