Selasa, 09 Agustus 2016

NU, Campa, Para Wali di Jawa, dan Manipulasi Sejarah Keruntuhan Majapahit


 Seorang pedagang keliling melintas di depan deretan rumah bergaya arsitektur Majapahit di Desa Bejijong, Kawasan Cagar Budaya Nasional Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, Kamis (10/3).
Seorang pedagang keliling melintas di depan deretan rumah bergaya arsitektur Majapahit di Desa Bejijong, Kawasan Cagar Budaya Nasional Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, Kamis (10/3).
 
NU, Campa, Para Wali di Jawa, dan Manipulasi Sejarah Keruntuhan Majapahit
Oleh: Prodf DR Abdul Hadi WM (Guru Besar Universitas Paramadina)


Kesultanan Samudra Pasai (1270-1516 M) adalah kerajaan Islam besar pertama di Nusantara yang secara resmi memutuskan madzab Sunnah wal Jamaah sebagai madzab resmi kerajaan.

Kota mutakhir di Indonesia yang menyebut dirinya sebagai kota Ahlul Sunnah wal Jamaah adalah Sumenep di ujung timur pulau Madura. Alangkah jauh jarak antara Pasai dan Sumenep.

Orang-orang Aswaja di Jawa Timur, termasuk NU yang mengaku representasi dari Ahlul Sunnah wal Jamaah, banyak yang tak tahu hubungan Islam yang berkembang di Jawa Timur dan Islam yang telah pesat berkembang di Samudra Pasai pada abad ke-13 M. Mereka juga diajari agar tidak kenal bahwa legenda putri Campa (Cempo yang dikenal luas masyarakat Jawa Timur) ada hubungan dengan kisah kecantikan putri-putri Jeumpa Aceh (Pasai) yang pada abad ke-14 M banyak memikat bangsawan Majapahit termasuk raja-raja mereka.

Ahli sejarah di Jawa dan Belanda mengecoh kita dengan senantiasa menyebut bahwa Campa di Kamboja, bukan di Aceh. Mereka lupa bahwa sejarah kedatangan dan penyebaran Islam di Jawa dimulai di kota-kota pesisir seperti Surabaya, Gresik, Tuban, dan Sedayu. Kota-kota itu terletak berhadapan dengan Selat Madura.

 
Seorang pedagang keliling melintas di depan deretan rumah bergaya arsitektur Majapahit di Desa Bejijong, Kawasan Cagar Budaya Nasional Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, Kamis (10/3).
Ilustrasi Kerajaan Samudra Pasai.
 
 
 

Kekerabatan Para Wali dengan Keluarga Istana Samudra Pasai

Dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan Hikayat Banjar, dipaparkan bahwa sekitar tahun 1365 M, setelah pasukan Majapahit menaklukkan Sriwijaya di Palembang, kemudian menaklukkan kesultanan Samudra Pasai. Banyak tawanan perang dibawa oleh tentara Gajah Mada ke Jawa Timur.

Mereka terdiri dari putra-putri keraton Pasai, bangsawan, ulama, pedagang, mantan jendral, tabib, dan lain sebagainya. Mereka diberi tempat di Ampel Denta, Surabaya.

Lambat atau cepat komunitas Muslim bertambah besar jumlahnya. Arus pelayaran dan perdagangan dari Aceh ke Jawa Timur dan sebaliknya semakin ramai. Islam berkembang dengan pesat. Puluhan wali penyebar Islam lahir di kota-kota pesisir Jawa Timur.
Bukan hanya di Gresik, Tuban, Surabaya dan Sedayu, tetapi juga di Lamongan, Demak, Pati, Rembang, Madura dan lain-lain. Bahkan sampai ke pedalaman seperti Kediri, Jombang dan Madiun.

Wali-wali awal di pulau Jawa seperti Maulana Malik Ibrahim malah berkerabat dengan Ratu Nahrisyah dari Pasai. Sunan Giri dan Sunan Ampel belajar agama di Samudra Pasai. Raja-raja Majapahit kawin dengan putri Pasai dan Islam pun merembes ke lingkungan istana Majapahit.




Seorang pedagang keliling melintas di depan deretan rumah bergaya arsitektur Majapahit di Desa Bejijong, Kawasan Cagar Budaya Nasional Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, Kamis (10/3).
Patung terakota berwajah pria di era Majapahit yang diyakini M Yamin sebagai Gajah Mada.

Manipulasi Sejarah Keruntuhan Majapahit

Abad ke-15 M Majapahit mengalami kemunduran di bidang ekonomi dan politik. Eksistensinya tertolong oleh kota-kota pesisir yang dipenuhi para pedagang dan pengusaha Muslim. Raja Majapahit terakhir Prabu Brawijaya diceritakan mempunyai banyak isteri. Di antaranya Putri Campa dan Putri Cina.

Yang terakhir ini berasal dari Palembang dan dari hasil perkawinannya dengan putri Cina Muslim lahir anak yang kelak dikenal sebagai Raden Patah dan menjadi raja pertama kesultanan Demak. Adanya hubungan dengan Cina itu misalnya terlihat pada jejak hadiah dari Kaisar Ming untuk sultan Pasai awal abad ke-15 M yang dikenal dengan sebutan Lonceng Cakradonya.

Lonceng tersebut dibawa oleh Laksamana Cheng Ho dalam pelayaran ekspedisinya yang pertama ke Nusantara. Sekarang lonceng ini dipajang di depan kantor gubernur Aceh.  Dan harap diketahui pula bahwa Daud Beureuh juga seorang keturunan Tionghoa Muslim. Kerajaan Pasai ini berdiri dua puluh tahun sebelum berdirinya kerajaan Hindu Majapahit dan bersamaan dengan kemunduran Sriwijaya.

Jadi, yang menyebabkan kerajaan Majapahit runtuh bukan Islam, tetapi pembrontakan di dalam lingkungan kerajaan itu sendiri. Sriwijaya juga tidak hancur disebabkan serangan kerajaan Islam. Kerajaan Buddhis itu jatuh justru oleh serangan kerajaan Hindu Majapahit.
















Credit Republika.co.id