Rabu, 05 Agustus 2015

Puerto Rico Gagal Bayar Utang, Siapa Paling Bersalah?


CB, San Juan - Meja-meja tampak kosong di kedai kopi milik Walter Martin di distrik kolonial San Juan. Mimik muka Martin serius bercampur khawatir. Keringat tampak mengalir di dahinya.

Ia mematikan pendingin ruangan untuk mengurangi tagihan listrik. Dengan berkurangnya pelanggan, ia mengurangi jam kerja karyawan. Untuk menutupi kerugian, ia menaikkan harga untuk makanan atau minumannya.

Namun, kini bayang-bayang keterpurukan ekonomi berada di depan mata bagi para warga Puerto Rico. Kebanyakan dari mereka harus memotong kebutuhan  pribadi atau mencoba kabur dari pulau menuju Amerika Serikat.

"Kami di sini membuat banyak penyesuaian," kata Martin seperti dikutip dari bnd.com. "Kami harus banyak membuat banyak keputusan, sebab kalau tidak..."
Ia mengembuskan nafas dan tidak ingin meneruskan kalimatnya.

Hampir 10 tahun berkubang dalam lumpur krisis ekonomi, Puerto Rico kini benar-benar tenggelam semenjak Gubernur Alejadro Garcia Padilla mengumumkan 'death spiral' kebangkrutan negara commonwealth AS ini.

Pulau ini gagal membayar  $58 juta total utang yang jatuh tempo pada Senin 3 Agustus 2015. Kebangkrutan ini jelas menghantam penduduknya, bukan Wall Street.  Utang kebanyakan dimiliki oleh para penduduk Puerto Rico.

"Belum lagi overspending dari pemerintahnya, pemakaian energi yang berlebihan dan ketergantungan akan utang itu sendiri,"  kata Ted Hampton, analis dari Moody's, seperti dikutip dari CNN.

"Singkatnya, masalah Puerto Rico seperti ini: utang teritori ini sebesar New York --sebuah negara bagian dengan ekonomi terbesar-- tapi populasi cuma sebesar Connecticut yaitu hanya 3,5 juta orang," jelas Hampton.

Tingkat pengangguran juga tinggi, di atas 12%.  Lebih dari 144 ribu para Puerto Rican terbang ke AS dari 2010 hingga 2013, dan lebih dari dua per tiga penduduk yang lahir di pulau itu sekarang tinggal di negara induk.

Sekolah-sekolah tutup dan bisnis lesu dengan adanya eksodus besar-besaran ini. Pulau dengan populasi 3,5 juta penduduk ini diperkirakan akan turun menjadi kurang dari 3 juta saja di tahun 2050 nanti.

"Berkurangnya jumlah penduduk semakin memperah kondisi keuangan di negara teritori ini. Setiap orang yang meninggalkan Puerto Rico, berarti berkurangnya pajak pendapatan negara itu. Ini semacam lingkaran setan saja," tambah Hampton.

Sayangnya, tidak semua penduduk Puerto Rico menerima 'berita' ini dengan benar, terutama para lulusan collagenya.

"Mereka begitu lulus langsung meninggalkan pulau ini," kata MaritzaStanchich, pengajar dari Universitas Puerto Rico dan kolumnis.

"Dan ini sudah berlangsung lebih dari 10 tahun," jelasnya.

Salah satu mantan murid Stanchich dan istrinya berencana ke Austin, Texas, setelah mengetahui kondisi ekonomi pulau ini semakin parah. Dia sebelumnya tidak pernah meninggalkan teritori ini dan  tidak punya rencana apapun meninggalkan tanah kelahirannya.

"Meski belum sangat terjerumus, aku tetap saja khawatir," kata pria 26 tahun yang tidak ingin disebut namanya karena masih bekerja di kantor pemerintah teritori  itu.
Perusahaan listrik negara di Puerto Rico, PREPA, berutang hingga 4 juta dolar--yang nyaris tidak mungkin terbayarkan.  PREPA dituding sebagai salah satu penyebab ruginya pemerintah Puerto Rico. Total utang yang dimiliki PREPA mencapai 9 juta dolar. Kalau boleh dibandingkan, ketika Detroit umumkan kebangkrutan, utangnya 'hanya' $7 juta.

Masalahnya, Puerto Rico bukan negara bagian, bukan negara dan mempunyai pilihan yang sedikit saat mereka dalam kesulitan seperti ini. Mereka tidak serta-merta mengumumkan kebangkrutan semudah Detroit, juga tidak bisa meminta keringanan seperti Argentina.

PREPA adalah cerita tersendiri. Perusahaan ini masih mengimpor dan memakai minyak mentah. Sementara itu, banyak pulau di Karibia lain mengubah pemakaian bahan bakar fosil  dengan pemakaian bahan bakar gas dan bahan bakar terbarukan. 
 PREPA masih saja ngotot menggunakan energi yang sangat tidak efisien ini, kata para analis Moody's.

"Ada dua masalah yang akan menciptakan konflik di sini," kata Ted Hampton, Moody's  analisis. "Ekonomi Puerto Rico semakin terpuruk dan penduduknya meninggalkan pulau  ini menuju Amerika Serikat."

Teritori Amerika Serikat ini sudah kehabisan uang tunai. Pada 2014, peringkat utang teritori ini diturunkan statusnya menjadi 'junk' atau 'sampah'. Sayangnya tidak banyak orang AS menyadari keadaan ini. Padahal sebagian besar dana pensiun ditanam di surat utang Puerto Rico.  Dengan kata lain, gagal bayar utang commonwealth ini akan berdampak kepada banyak rakyat AS.

Pemerintah AS  telah mencoba menaikkan pendapatan dengan menggenjot pajak penjualan hingga 11.5%, sangat tinggi dibanding negara bagian AS manapun. Otoritas juga menutup kantor-kantor pemerintah untuk mengerem pengeluaran. Namun tetap saja wilayah ini gagal bayar utang.


Utang $58 juta gagal dibayar. Dan bila tidak ada keajaiban untuk membayar, Puerto Rico akan menghadapi banyak tuntutan hukum sehingga pemulihan akan terhambat. Rakyat Puerto Rico dan juga rakyat AS akan menderita dengan keadaan ini.

Carmen Davila, pensiunan supir bis di AS yang memutuskan untuk kembali ke tanah lahirnya Puerto Rico, baru-baru ini menarik uangnya di bank. Ia takut pemerintah seperti pemerintah Yunani yang menutup bank dan membatasi penarikan.

"Ini belum pernah terjadi sebelumnya," kata Davila kepada bnd. "Puerto Rico memang selalu naik turun, tapi kita bisa menangani ini semua. Tapi sekarang ini mengkhawatirkan." tuturnya.

Eksodus penduduk ke Florida dan New York semakin terlihat. Sekarang hampir seluruh orang tahu siapa yang meninggalkan pulau atau siapa yang berencana.

Sekumpulan orang-orang di restoran, bioskop atau liburan di pantai dan gunung terlihat berkurang. Bahkan jalan utama San Juan yang terkenal dengan kemacetannya pun ikut terurai. Jose Hernandez bercerita bahwa ia sekarang hanya butuh 20 menit dari rumah ke tokonya di jantung San Juan. Padahal dulu ia bisa menghabiskan 2 jam di jalan.

"Banyak sekali jumlah orang berkurang. Padahal mereka diperlukan untuk memompa ekonomi," kata pemilik vendor lotere. "Sepi sekali kota ini. Kesepian yang paling parah selama hidupku. Sudah tidak ada orang-orang di jalanan. Mereka menghilang," kata pria 62 tahun yang sebenarnya ingin menyusul tapi tidak mau merepotkan cucu-cucunya yang lebih dulu eksodus.

Bisnis loterenya pun merosot tajam, hingga 10%, memaksa dia untuk mengurangi kebutuhan dan menghilangkan gaya hidup mewahnya seperti ke restoran dan menonton film.

"Yang dulunya bisa tiga atau empat kali jalan-jalan tiap bulan, sekarang cuma sekali dalam satu bulan," ujarnya. "Pokoknya Anda harus memotong banyak anggaran."

Sama halnya dengan Carmen Davila. Uang pensiun yang $600 per bulan tidak mencukupi pengeluarannya. Ia dan kerabatnya harus menyumbang yang mereka untuk kebutuhan sekolah 12 cucunya. Davila harus membantu mereka sementara orang tua anak-anak ini harus kerja dan sekolah. Ia ingin sekali kembali ke New York.

"Kami tidak punya cukup uang untuk hidup," tuturnya sedih.

Sebuah catatan panjang untuk memotong anggaran apa saja untuk menyelamatkan pulau ini dari kebangkrutan. Sayangnya, catatan itu berupa: pemecatan guru, pemotongan dana kesehatan, dan pengurangan subsidi ke universitas.

Meskipun teritori itu secara hukum tidak bisa mendeklarasikan bangkrut, tapi Gubernur Alejadro Garcia Padilla tampaknya tidak punya pilihan untuk memohon kepada negara induknya, bahwa Puerto Rico sudah tidak punya kemampuan lagi.

Ditambah lagi dengan sebuah tambahan pajak servis yang akan berlaku 1 Oktober nanti. Alih-alih menambah jumlah uang tunai di dana mereka, tapi malah menambah beban penduduk terutama para pelaku bisnis kecil dan menengah.

"Pemerintah (AS) akan memaksa kami (membayar utangnya) hingga orang-orang seperti kami benar-benar tidak punya apapun," kata Ignacio Velos yang berbisnis penyewaan apartemen.

Kembali ke kedai kopi milik Walter Martin, pria yang masih kerabat penyanyi top Ricky Martin ini tidak punya pilihan selain tetap bertahan.

Walter Martin mengatakan, "Aku harus mematikan AC, mengurangi pembelian sana-sini. Dengan begitu aku masih punya cukup simpanan."

Kedai kopinya adalah warisan dari ayahnya lima tahun lalu. Ini adalah mimpi lama sang ayah. Dan Martin muda harus tetap menghidupi mimpi itu. "Aku akan tinggal di sini, aku akan bertahan,"  kata dia

Credit  Liputan6.com