Senin, 27 April 2015

Gempa Nepal, Apa Pelajaran yang Bisa Dipetik Indonesia?




 
Niranjan Shrestha/ASSOCIATED PRESS Tim penyelamat melakukan pencarian di tengah puing-puing bangunan yang runtuh di Distrik Bhaktapur

CB - Apa arti gempa Nepal bermagnitudo 7,8 pada Sabtu (25/4/2015) bagi Indonesia?

Gempa yang hingga saat berita ini diturunkan menewaskan 2.000 orang itu seharusnya bukan hanya menjadi tontonan dan memicu keprihatinan, tetapi juga menjadi bahan pelajaran.

Gempa Nepal merupakan gempa dangkal. Pusat gempanya hanya 15 kilometer dari permukaan tanah. Gempa dangkal di daratan itu memang cenderung lebih mematikan.

Goncangan gempa di Nepal tinggi, mencapai 9 MMI. Tingginya goncangan gempa akibat wilayah sekitar Kathmandu yang terbentuk dari lapisan tanah lunak yag dahulu adalah danau purba.

Kasus yang sama pernah terjadi di Indonesia, yaitu pada gempa Yogyakarta bermagnitudo 6,5 pada 27 Mei 2006.

Pusat gempa Yogyakarta berada hanya kedalaman 17 kilometer. Sesar penyebab gempa sendiri berada di wilayah padat penduduk.

Parahnya dampak gempa juga dipicu oleh karakter tanah Yogyakarta yang merupakan endapat vulkanik yang rapuh.

Lapisan tanah yang rapuh dan lunak akan mengamplifikasi gelombang gempa. Akibatnya goncangan terasa lebih keras dan kerusakan lebih parah.

Belajar dari kasus gempa Nepal dan Yogyakarta, Indonesia harus mempersiapkan diri menghadapi gempa dangkal.

"Beberapa kota besar padat penduduk di Indonesia harus dipersiapkan infrastukturnya untuk menghadapi goncangan keras akibat gempa," kata Irwan Meilano.

Irwan yang pakar tektonik Pusat Penelitian Mitigasi Bencana, Institut Teknologi Bandung (ITB), kota Bandung berpotensi mengalami gempa yang sama dengan Nepal dan Yogyakarta.

"Kota Bandung memiliki sedimen tebal yang menutupi danau Bandung purba," katanya kepada Kompas.com, Minggu (26/4/2015).

Persiapan infrastruktur kota yang tahan gempa serta masyarakat yang tanggap bencana diperlukan untuk mengurangi tumbangnya korban manusia.

Gempa Nepal juga peru menjadi pelajaran sebab banyak gempa di Indonesia mengakibatkan longsor seperti halnya gempa Nepal memicu longsor di Everest.

Pakar gempa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko, mengungkapkan, longsor Everest terjadi karena jarak dengan pusat gempa kurang dari 100 kilometer.

Seklain itu, material di Everest berupa salju, rapuh. Akibat goncangan gempa yang mencapai 6-7 MMI di sekitar Everest, salju pun longsor.

Di Indonesia, banyak kejadian gempa memicu longsor. Bahkan, banyak orang justru tewas akibat longsornya, bukan gempanya.

Contoh gempa yang memicu longsor terjadi pada tahun 1998 di Papua. Gempa mengakibatkan longsor bawah laut sehingga memicu tsunami.

Pada 2 September 2009, gempa Tasikmalaya memicu tanah longsor. Setengah dari korban tewas meninggal karena longsor yang dipicu gempa.

Widjo mengatakan, faktor bahaya tanah longsor akibat gempa harus dikelola agar tidak menyebabkan korban jiwa.

Irwan mengatakan, perlu ada peta resmi potensi bencana yang mencakup peta gempa dan peta longsor akibat gempa.

"Kita masih menjadikan penggabungan peta gempa dan peta longsor dalam konteks riset. Belum menjadi peta hazard resmi," katanya.

Peta longsor akibat gempa berbeda dengan peta longsor biasa. Dalam peta longsor biasa, faktor eksternalnya adalah curah hujan. Sementara dalam peta longsor akibat gempa, faktor eksternal adalah gempa.


Credit  KOMPAS.com