Selasa, 07 Agustus 2018

Kocar-kacir oleh Serangan Drone, Tentara Maduro Dikritik



Kocar-kacir oleh Serangan Drone, Tentara Maduro Dikritik
Para tentara Venezuela kocar-kacir oleh serangan drone yang ditargetkan terhadap Presiden Nicolas Maduro. Foto/REUTERS

CARACAS - Para tentara Venezuela berhamburan ketika drone meledak tepat saat Presiden Nicolas Maduro pidato hari Sabtu waktu Caracas. Pemandangan itu membuat tentara dikritik karena menunjukkan betapa rentannya sang presiden yang semestinya mereka lindungi.

Insiden itu terjadi saat perayaan ulang tahun ke-81 Garda Nasional Venezuela. Ada dua drone yang menyerang. Satu meledak di lokasi pidato Maduro dan satu lagi menghantam sebuah bangunan apartemen.

Maduro yang merupakan penerus pemimpin sosialis Hugo Chavez meyakini serangan drone itu untuk membunuhnya. Beberapa orang telah ditangkap terkait insiden tersebut.

Insiden itu tak terduga, karena salah satu jalan utama di Caracas ditutup saat perayaan ulang tahun Garda Nasional. Dalam perayaan itu, Presiden Maduro dilindungi para petinggi militer.

Tayangan televisi nasional menunjukkan, Maduro dan Ibu Negara Cilia Flores mengamati langit dengan raut wajah khawatir saat ledakan drone terjadi. Meski tak ada korban jiwa, beberapa tentara terlihat berlumuran darah di bagian kepala terkena serpihan ledakan.

Saat Maduro dan istrinya kaget oleh serangan drone, kamerea stasiun televisi negara tiba-tiba menyorot ke ratusan tentara yang kocar-kacir berlarian ke lokasi aman.

"Insiden ini membuat Maduro tampak rentan, tetapi benar bahwa lingkarannya memiliki kekuatan untuk menindak musuh karena mereka masih mengendalikan semua pengungkit kekuasaan," kritik Raul Gallegos, direktur asosiasi konsultan Control Risks, seperti dikutip Reuters, Senin (6/8/2018).

"Kelemahan apa pun yang dikompensasi oleh alasan Maduro sekarang harus menindak musuh-musuh internalnya secara nyata," ujar Gallegos.

Insiden ini dianggap gagal menghasilkan gelombang dukungan spontan dari para pendukung pemerintah, yang banyak di antaranya terguncang dari hiperinflasi,  pemadaman listrik, dan kekurangan pangan.

Namun, musuh pemerintah memperingatkan kemungkinan tindakan keras setelah Maduro menuduh lawannya berusaha membunuhnya dengan objek terbang itu. Total, sudah enam orang telah ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka.

Menteri Dalam Negeri Nestor Reverol mengatakan, para tersangka meluncurkan dua pesawat tak berawak yang sarat dengan bahan peledak di atas para militer di luar gedung. Menurutnya, salah satu drone "diatasi" oleh pasukan keamanan, sementara yang kedua jatuh sendiri dan menabrak sebuah gedung apartemen.

Maduro awalnya menyalahkan Presiden Kolombia Juan Manuel Santos dan penduduk negara bagian Florida AS atas serangan itu. Namun, Kementerian Luar Negeri Kolombia dengan tegas menolak tuduhan Maduro.

"Serbuan terhadap personel militer, disiarkan langsung, membuat pasukan bersenjata dan panglima militer terlihat sangat buruk," kata Hebert Garcia Plaza, mantan jenderal yang berbalik menjadi kritikus pemerintah Maduro. 

Seruan terbuka untuk intervensi militer telah tumbuh setelah protes anti-pemerintah besar-besaran tahun lalu gagal menggulingkan Maduro. Alih-alih terguling, dia justru terpilih kembali sebagai presiden dalam pemilu Mei lalu yang dikecam Barat.

Puluhan tentara telah ditahan atas tuduhan bersekongkol melawan Maduro. Tahun lalu, seorang perwira polisi Venezuela yang "nakal" membajak sebuah helikopter dan menembaki gedung-gedung pemerintah dalam apa yang dia sebut sebagai tindakan melawan seorang diktator. Perwira itu lantas diburu dan dibunuh oleh pasukan Venezuela.

Tak lama setelah serangan dua drone, kelompok yang menamakan diri "National Movement of Soldiers in T-shirts" mengaku bertanggung jawab atas ledakan pada hari Sabtu. Kelompok yang mengklaim sebagai musuh Maduro itu mengaku sebagai perencana penerbangan dua drone, satu di antaranya ditembak jatuh sniper pasukan Venezuela.

"Drone itu datang untuk saya, tetapi ada perisai cinta," kata Maduro pada Sabtu malam. "Saya  yakin saya akan hidup selama bertahun-tahun lagi."



Credit  sindonews.com