Presiden Duterte diadukan atas tindakannya dalam memerangi narkoba di Filipina
CB,
MANILA -- Para pembela dan keluarga delapan korban 'perang terhadap
narkoba' Filipina pada Selasa (28/8) menyampaikan pengaduan kepada
Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Pengaduan ini merupakan petisi
kedua yang menuduh Presiden Rodrigo Duterte melakukan pembunuhan dan
kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dokumen pengaduan setebal 50 halaman itu berisi permintaan agar
Duterte dikenai dakwaan atas dugaan pembunuhan, tanpa proses pengadilan,
ribuan orang dalam gerakan penumpasan narkoba yang dijalankan Duterte.
Para pembela dan keluarga mengatakan tindakan penumpasan itu termasuk
berupa hukuman mati semena-mena oleh polisi, yang bertindak bagaikan
kebal hukum.
Mereka mengatakan para pengkritik gerakan
'dianiaya' dan kasus-kasus yang diajukan oleh keluarga para korban
menguap entah ke mana. Pengajuan petisi terbaru itu dipimpin oleh
jaringan pegiat, pendeta, masyarat miskin dan masyarakat kota, yang
telah menanggung beban gerakan selama dua tahun yang berlangsung keras.
Dalam
kurun waktu itu, polisi telah menewaskan sekitar 4.400 orang hingga
menakutkan dunia internasional. "Duterte juga secara pribadi bertanggung
jawab memerintahkan kepolisian untuk melancarkan pembunuhan massal,"
kata Neri Colmenares, pengacara yang mewakili kelompok pembela dan
keluarga korban, kepada para wartawan.
Duterte bersikeras
bahwa ia mengatakan kepada kepolisian untuk boleh membunuh hanya dalam
keadaan mempertahankan diri. Saat menyampaikan pidato nasional bulan
lalu, ia mengatakan perang terhadap narkoba tetap akan dijalankan tanpa
belas kasihan dan mengerikan.
Menurut juru bicara
kepolisian nasional, Benigno Durana, satu-satunya perintah yang
diberikan Duterte kepada kepolisian adalah agar memerangi narkoba dan
kejahatan dengan mengikuti aturan hukum.
Petisi ICC
(International Criminal Court) itu, yang disebut dengan komunikasi,
disampaikan setelah aduan serupa diajukan pada April 2017 oleh seorang
pengacara Filipina dan didukung oleh dua anggota parlemen oposisi. ICC
mulai melakukan pemeriksaan awal atas aduan itu pada Februari.
Kelompok-kelompok
pembela hak asasi manusia meyakini bahwa jumlah keseluruhan korban
tewas bisa lebih besar dibandingkan dengan data yang diberikan
kepolisian.
Juru bicara kepresidenan Harry Roque mengatakan
petisi terbaru itu 'mendapat kutukan' karena Filipina sudah tidak
menjadi pihak Statuta Roma ICC.
Duterte pada Maret menarik
diri secara sepihak dari perjanjian pembentukan ICC. Ia mengatakan
perjanjian antarbangsa itu melampaui penanganan tindak pidana dan asas
praduga tak bersalah atas dirinya dan berupaya menggambarkan dirinya
sebagai "pelanggar hak asasi manusia yang kejam dan tak berperasaan".
Duterte
bahkan pernah mengancam akan menangkap jaksa ICC Fatou Bensouda kalau
ia datang ke Filipina untuk menyelidikinya. Ia juga mengatakan akan
meyakinkan negara-negara lain untuk mengikuti langkahnya, keluar dari
ICC.