Jumat, 31 Agustus 2018

PBB Ungkap Kekejaman Militer Myanmar Terhadap Rohingya


Suasana kamp pengungsi Rohingya Balukhali, Bangladesh,
Suasana kamp pengungsi Rohingya Balukhali, Bangladesh,
Foto: Altaf Qadri/AP

Aksi pembersihan etnis Rohingya dilakukan secara terencana.



CB, JAKARTA -- Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB telah menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Dalam laporan tersebut dipaparkan tentang penganiayaan dan kekejaman yang dilakukan Tatmadaw (pasukan keamanan Myanmar) terhadap berbagai etnis di Rakhine, termasuk Rohingya.

Anggota Misi Pencari Fakta PBB melakukan wawancara dengan sejumlah etnis yang tinggal di Rakhine. Mereka semua adalah korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serius dari pasukan keamanan Myanmar. Menurut Misi Pencari Fakta PBB pelanggaran HAM yang dialami satu etnis dengan etnis lainnya memiliki kesamaan.

Hal itu misalnya, mereka diusir secara paksa dari tanahnya, ditahan secara sewenang-wenang, dan lainnya. Kemudian kaum perempuan mengalami kekerasan seksual. Salah satu korban mengungkapkan, pada 2017, dia dipukuli dan diperkosa Tatmadaw di sebuah pangkalan militer.

Hal-hal itu pula yang dialami Rohingya. "Di Negara Bagian Rakhine, umat Muslim seperti di penjara, mereka tidak bisa bepergian keluar. Tidak ada HAM untuk Muslim Rakhine. Saya tidak tahu mengapa Allah mengirim kita ke sana," kata salah satu Muslim Rohingya yang diwawancara Misi Pencari Fakta PBB.

Menurut Misi Pencari Fakta PBB, salah satu faktor yang mendorong diskriminasi terhadap Rohingya adalah kebijakan kewarganegaraan. Kebanyakan Rohingya, secara de facto, tak memiliki kewarganegaraan. Hak kewarganegaraan mereka dirampas secara sewenang-wenang.

Hal itupun tak dapat diselesaikan melalui Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar pada 1982. Dalam UU itu dijelaskan tentang proses verifikasi yang harus dilalui sebelum mendapatkan kartu kewarganegaraan. Masalahnya terletak pada konsep "ras nasional" dan retorika eksklusif yang berasal di bawah kediktatoran perdana menteri Myanmar Ne Win pada 1960.

Etnis Rohingya dianggap sebagai imigran gelap Bengal oleh masyarakat dan pemerintah Myanmar. "Hubungan antara ras nasional dan kewarganegaraan memiliki konsekuensi yang menghancurkan bagi Rohingya," kata Misi Pencari Fakta PBB dalam laporannya.

Kemudian apa yang terjadi pada Agustus 2017 sebenarnya tak dapat dipisahkan dari penindasan sistematis terhadap Rohingya pada 2012 yang telah menyebabkan disintegritas komunitas masyarakat di Rakhine. Hal itu kemudian dipantik kembali oleh aksi penyerangan pos militer Myanmar di luar Rakhine oleh gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) pada 25 Agustus 2017.

Hanya berselang beberapa jam setelah penyerangan itu, pasukan keamanan Myanmar segera melancarkan operasi brutal ke Rakhine. Dengan dalih merespons ancaman terorisme ARSA, pasukan Myanmar menggeruduk ratusan desa di Maungdaw, Buthidaung, dan Rathedaung.

Operasi yang semula mengincar gerilyawan ARSA, akhirnya turut berimbas pada seluruh warga sipil Rohingya. Otoritas Myanmar menyebut operasi itu sebagai "operasi pembersihan". Ribuan Rohingya tewas terbunuh pascaoperasi tersebut. Banyak pula perempuan-perempuan Rohingya yang diperkosa secara brutal. Sementara 725 ribu Rohingya melarikan diri dan mengungsi ke Bangladesh.

"Semua orang hanya berlari untuk hidup mereka. Saya bahkan tidak bisa membawa anak-anak saya," kata salah satu Rohingya yang diwawancara Misi Pencari Fakta PBB.

Citra satelit pun telah menggambarkan bagaimana kondisi permukiman dan desa di Rakhine pascaoperasi militer Myanmar. Setidaknya 392 desa atau 40 persen dari seluruh permukiman di Rakhine hancur sebagian dan hancur total. Sebanyak 80 persen di antaranya dibakar pasukan Myanmar.

Sebanyak 70 persen desa yang dibakar berada di Maungdaw, tempat mayoritas Rohingya tinggal. Pasar, sekolah, dan masjid adalah termasuk bangunan-bangunan yang dibakar pasukan keamanan Myanmar. "Daerah-daerah yang dihuni oleh Rohingya secara khusus ditargetkan, dengan pemukiman yang berdekatan atau di dekatnya (Rakhine) aman tanpa diserang," ujar laporan itu.

Atas temuan-temuan tersebut, Misi Pencari Fakta PBB menyebut bahwa militer Myanmar memiliki niat untuk melakukan genosida terhadap Rohingya. Sebab apa yang disebut sebagai "operasi pembersihan" tak dilakukan secara spontan, tapi terencana.

Misi Pencari Fakta menyerukan agar para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk  Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing, dibawa ke Pengadilan Pidana Internasional (ICC).

Sementara itu Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB Zeid Ra'ad Al Hussein mengatakan, pemimpin de facto Myanmar seharusnya mundur dari jabatannya. Sebab dia dianggap membiarkan pembantaian Rohingya terjadi. "Dia berada dalam posisi yang seharusnya bisa melakukan sesuatu. Dia bisa saja untuk terus diam, atau lebih baik mengundurkan diri," ujarnya pada Kamis (30/8), dikutip laman BBC.

Menurut Al Hussein, Suu Kyi tak perlu lagi menjadi juru bicara militer Myanmar dan menyangkal tentang pembantaian Rohingya di Rakhine. "Dia tidak perlu mengatakan bahwa ini adalah gunung es dari misinformasi. Ini adalah rekayasa," katanya.

Pada November 2017, Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repatriasi pengungsi dan pembentukan tim Joint Wroking Group. Namun pelaksanaan kesepakatan itu belum optimal. Cukup banyak pengungsi Rohingya di Bangladesh yang enggan kembali ke Rakhine.

Mereka mengaku masih trauma atas kejadian yang menimpanya pada Agustus tahun lalu. Selain itu, kesepakatan repatriasi pun tak menyinggung perihal jaminan keamanan dan keselamatan bagi warga Rohingya yang kembali.





Credit  republika.co.id