CB, Jakarta - Pemilu
Thailand di proyeksi akan kembali diundur. Semula pemilu akan dilakukan
pada November 2018, namun muncul sinyalemen pemilu akan mundur menjadi
Februari 2019.
"Kami masih mengkonfirmasikan bahwa pemilu akan diselenggarakan pada Februari 2019. Kita akan bicara soal itu nanti jika kami tidak mampu menggelar pemilu. Sekarang ini tidak ada faktor yang membuat kami menyelenggarakan pemilu lebih cepat," kata Perdana Menteri Thailand, Prayut Chan-o-cha.
Dikutip dari theaseanpost.com pada Kamis, 30 Agustus 2018, skeptisme dan frustrasi dirasakan masyarakat Thailand menyusul pemilu yang terus diundur-undur. Thailand sejak kudeta Mei 2014 dipimpin oleh pemerintahan militer atau Junta. Tak lama setelah berkuasa, Pemerintahan Junta menjanjikan pemilu segera digelar, namun faktanya hingga 2018 pemilu yang dijanjikan belum terwujud.
Jajak pendapat yang dilakukan Universitas Suan Dusit Rajabhat, pada 5 Juni - 9 Juni 2018 terhadap 1.130 responden memperlihatkan penyelenggaraan pemilu merupakan topik politik paling panas di Thailand saat ini. Para responden menduga-duga apakah pemilu akan jadi dilakukan
Vitit Muntarbhorn, pakar hak asasi manusia internasional dan profesor hukum di Universitas Chulalongkorn di Bangkok. Sumber: TEMPO/Suci Sekar
Vitit
Muntarbhorn, pakar HAM dan profesor hukum dari Universitas
Chulalongkorn, Thailand, mengaku juga menantikan pemilu segera
diselenggarakan. Pemilu bagi Thailand adalah sebuah transisi dari kudeta
2014.
"Saya harap kami akan menyelenggarakan pemilu dan pemerintahan yang berpihak pada masyarakat sipil berjalan, militer yang mau berpartisipasi dalam pemilu dipersilakan, namun ruang bagi masyarakat sipil harus dihormati dan dikembangkan," kata Muntarbhorn, Rabu, 29 Agustus 2018.
Muntarbhorn enggan berkomentar apakah menyukai pemerintahan Thailand saat ini atau tidak. Namun dia mendorong masyarakat sipil dalam hal kepemimpinan, inklusifitas dan partisipasi masyarakat.
"Kami masih mengkonfirmasikan bahwa pemilu akan diselenggarakan pada Februari 2019. Kita akan bicara soal itu nanti jika kami tidak mampu menggelar pemilu. Sekarang ini tidak ada faktor yang membuat kami menyelenggarakan pemilu lebih cepat," kata Perdana Menteri Thailand, Prayut Chan-o-cha.
Dikutip dari theaseanpost.com pada Kamis, 30 Agustus 2018, skeptisme dan frustrasi dirasakan masyarakat Thailand menyusul pemilu yang terus diundur-undur. Thailand sejak kudeta Mei 2014 dipimpin oleh pemerintahan militer atau Junta. Tak lama setelah berkuasa, Pemerintahan Junta menjanjikan pemilu segera digelar, namun faktanya hingga 2018 pemilu yang dijanjikan belum terwujud.
Jajak pendapat yang dilakukan Universitas Suan Dusit Rajabhat, pada 5 Juni - 9 Juni 2018 terhadap 1.130 responden memperlihatkan penyelenggaraan pemilu merupakan topik politik paling panas di Thailand saat ini. Para responden menduga-duga apakah pemilu akan jadi dilakukan
Vitit Muntarbhorn, pakar hak asasi manusia internasional dan profesor hukum di Universitas Chulalongkorn di Bangkok. Sumber: TEMPO/Suci Sekar
"Saya harap kami akan menyelenggarakan pemilu dan pemerintahan yang berpihak pada masyarakat sipil berjalan, militer yang mau berpartisipasi dalam pemilu dipersilakan, namun ruang bagi masyarakat sipil harus dihormati dan dikembangkan," kata Muntarbhorn, Rabu, 29 Agustus 2018.
Muntarbhorn enggan berkomentar apakah menyukai pemerintahan Thailand saat ini atau tidak. Namun dia mendorong masyarakat sipil dalam hal kepemimpinan, inklusifitas dan partisipasi masyarakat.
Credit tempo.co