Selasa, 28 Agustus 2018

Tim Pencari Fakta PBB: Militer Myanmar Bantai Rohingya


Tim Pencari Fakta PBB: Militer Myanmar Bantai Rohingya
Tim Pencari Fakta PBB mendesak panglima militer Myanmar Min Aung Hlaing mundur karena terbukti berniat melakukan genosida terhadap Rohingya. (Reuters/Hla Hla Htay)


Jakarta, CB -- Tim Independen Pencari Fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak panglima militer Myanmar Min Aung Hlaing mundur karena terbukti berniat melakukan genosida terhadap Rohingya bersama lima jenderal lainnya.

"Ada informasi cukup untuk membenarkan/menjamin dibukanya penyelidikan dan penuntutan terhadap para pejabat senior dalam rantai komando Tatmadaw (tentara) Myanmar, sehingga pengadilan kompeten dapat menentukan tanggung jawab mereka terkait genosida dengan situasi yang terjadi di Rakhine," demikian kutipan laporan tim tersebut.

Tak hanya militer, dalam laporannya itu tim tersebut juga menyimpulkan pemerintahan di bawah Aung San Suu Kyi membiarkan ujaran kebencian berkembang dan gagal melindungi etnis minoritas dari kejahatan kemanusiaan yang dilakukan militer negara bagian Rakhine, Kachin, dan Shan.



"Kejahatan di negara bagian Rakhine dan cara mereka melakukan kejahatan itu memiliki sifat, gravitasi, dan ruang lingkup serupa dengan pihak-pihak yang mengizinkan genosida berlangsung," bunyi laporan 20 halaman tersebut seperti dikutip Reuters, Senin (27/8).



Dalam jumpa pers di Jenewa, ketua panel tersebut, Marzuki Darusman, mengatakan salah satu langkah yang bisa dilakukan dalam waktu dekat adalah mendesak para petinggi militer Myanmar turun dari jabatannya.

"Satu-satunya langkah maju saat ini adalah menyerukan pengunduran dirinya [Aung Hlaing]," kata Marzuki yang merupakan mantan Jaksa Agung RI itu.

Selain Aung Hlaing dan lima jenderalnya, Marzuki mengatakan pejabat militer lain termasuk personel tambahan, warga sipil, hingga gerilyawan juga masuk daftar pelaku yang turut memperburuk krisis kemanusiaan ini.

Dalam laporan itu, tim pecari fakta mendesak Dewan Keamanan PBB memastikan semua pelaku dimintai pertanggungjawaban. Tim tersebut menyarankan agar Myanmar segera diselidiki oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atau melalui pengadilan ad hoc.



Tim pencari fakta juga mendesak komunitas internasional memberlakukan embargo senjata terhadap Myanmar.

"DK PBB harus mengadopsi sanksi individu, termasuk larangan perjalanan dan membekukan aset mereka, terhadap para pelaku yang paling bertanggung jawab atas kejahatan serius di bawah hukum internasional ini," bunyi laporan tersebut.

Laporan tersebut dirilis menyusul krisis kemanusiaan yang kembali memburuk di Rakhine pada Agustus 2017 lalu. Saat itu, militer melancarkan operasi pembersihan dengan dalih memberangus "teroris Rohingya" yang sebelumnya sempat menyerang belasan pos keamanan di Rakhine.

Alih-alih menangkap pelaku penyerangan, militer diduga mengusir, menyiksa, hingga membunuh etnis minoritas Rohinya yang tinggal di Rakhine. Dengan bantuan warga lokal, militer bahkan disebut membakar desa-desa Rohingya di wilayah itu.

Kekerasan itu pun memicu sedikitnya 700 ribu Rohingya untuk melarikan diri ke perbatasan Bangladesh.



Tim pencari fakta telah membuka penyelidikan sejak akhir tahun lalu dan berhasil mewawancarai sedikitnya 875 korban dan saksi mata di perbatasan Bangladesh dan beberapa negara lain.

Tak hanya itu, tim yang terdiri dari lima panelis independen itu juga ikut menganalisis dokumen, foto satelit, gambar, hingga rekaman video terkait krisis kemanusiaan itu.

Dalam laporannya, tim pencari fakta mengatakan tindakan militer, termasuk membakar desa-desa "sangat tidak proporsional."

Dihubungi melalui telepon oleh Reuters, juru bicara militer Myanmar Mayor Jenderal Tun Tun Nyu tidak bisa segera mengomentari laporan PBB tersebut. Juru bicara Suu Kyi, Zaw Htay, juga tak dapat segera dimintai tanggapan terkait pernyataan PBB itu.





Credit  cnnindonesia.com