Gahetna.nl
Perjalanan kafilah rombongan jamaah haji meninggalkan kota Makkah menuju padang Arafah pada tahun 1935.
Imam Syafi’i adalah salah satu dari empat imam besar
yang warisannya mengenai masalah peradilan dan yurisprudensi hukum
Islam. Imam Syafi'i lahir di kota Gaza di Palestina pada tahun 767 M.
Nama kecilnya adalah Mohammad Ibn Idris.Imam Syafi'i merupakan
keturunan keluarga Hasyim dari suku Quraish yang juga menjadi keluarga
MuhammadSAW.
Rantai leluhur Imam Shafi'i terdiri dari sebagai berikut: Imam Abu
Abdullah Muhammad Ibn Idris Ibn Abbas Ibn Utsman Ibn Syafi'i Ibn Saa'ib
Ibn Ubayd Ibn Abd Yazid Ibn Hasyim Ibn Muththalib Ibn Abd Munaf Qurayshi
Muttalibi Hashimi.
Kehidupan Awal
Ayah Imam Syafi'i meninggal di
Ash-Sham saat masih kecil. Setelah kematian ayahnya, ibu Imam Syafi'i
pindah ke Makkah, saat Imam Syafi'i baru berusia dua tahun. Akar
keluarga ibu Imam Shafi'i berasal dari Yaman dan ada juga beberapa
anggota keluarga di Makkah, tempat di mana ibunya percaya dan berharap
agar dia mendapat perhatian dengan baik.
Imam Syafi'i menghabiskan tahun-tahun awal pembentukan karakternya
di Makkah dan memperoleh pendidikan agama di kota-kota di Makkah dan
Madinah. Di Makkah, Imam Syafi'i belajar di bawah Mufti Muslim Ibn Ibn
Khalid Az-. Dia dibesarkan di antara suku Banu Huzayl di Makakh yang
sesuai dengan banyak suku Arab di era itu sangat berpengalaman dalam
seni puisi, sebuah tradisi yang disampaikan kepada Imam Syafi'i yang
juga menjadi sangat mahir dalam hal itu.
Pendidikan awalnya ditandai dengan kemiskinan akut. Ini karena ibunya
tidak mampu membayar biaya pendidikannya. Meski begitu, gurunya sangat
terkesan dengan kemampuannya sehingga dia menganggapnya sebagai siswa
formal dengan biaya tanpa biaya tambahan.
Seperti dilansir Saudii Gazette.com, saking
miskinnya, ibunya tidak bisa membelikannya kertas karena keadaannya
ekonominya begitu buruk. Alhasil. Sosok remaja Mohammad Ibn Idris
terpaksa menggunakan tulang, batu dan daun kelapa untuk menulis tugas
belajarnya.
Tapi kekurangan tersebut bukan untuk mencegahnya memperoleh
pengetahuan. Mohammad muda Ibn Idris tidak hanya menghafal seluruh teks,
tapi juga mampu memahami konteks dan sejarah etimologis yang terkait
dengan berbagai ayat Alquran pada usia 10 tahun.
Sedangkan ketika berusia 15 tahun dia telah mampu mengumpulkan
kedalaman dan ketelitian pengetahuan ajaran Islam. Melihat kemampuan
anak didiknya itu, maka Mufti Makkah pada waktu itu kemudian memberi
wewenang kepadanya untuk mengeluarkan fatwa .
Secara kronologis, Imam Mohammad Ibn Idris lahir
hamper 57 tahun setelah kelahiran Imam Malik,. Untuk itu, maka karya
monumental Hadith Mu'atta dari Imam Malik oleh Imam Syafii atau
Mohammad Ibnu Idris pelajari bersama dengan Alqur'an di usia dini
seperti yang disebutkan di atas.
Teologi bukanlah satu-satunya keahliannya, namun Imam Syafi'i juga
mahir mengajar tentang puisi, linguistik, dan silsilah.
Murid-muridnyapun berasal dari beragam disiplin ilmu.
Mengenai siapa yang menjadi guru Imam Syafi’i, di masa asal masa
belajarnya pamannya sendiri, yakni Sufyan Ibn Uyaynah Makki salah satu
gurunya. Sedangkan para guru lainnya antara lain adalah Muslim Ibn
Khalid Zanji, Haatim Ibn Ismail, Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Yahya,
Hishaam Ibn Yusuf Sinani, Marwan Ibn Mu'aawiyah, Muhammad Ibn Ismail,
Dawood, Ibn Abdul Rahman, Ismail Ibn Ja'far dan Hisham Ibn Yusuf.
Sedangan guru Imam Syafii yang paling terkenal adalah pendahulunya,
yakni Imam Malik, pencetus mahzab Maliki yang juga merupakan salah satu
dari empat aliran pemikiran terkemuka dalam Islam.
Jadi, Imam Syafi'i tidak hanya belajar dari buku Imam Malik yang
sangat terkenal, Mu'atta sejak usia dini, namun seperti yang dilansir
beberapa orang, dia juga mendapat kehormatan saat berada di kota
Madinah, untuk belajar langsung di tangan tuan mazhab pemikiran itu.
Setelah berguru ada ulama terkemuka, maka Mohammad Ibn Idris (Imam
Syafi’i) kemudian melanjutkan untuk memunculkan aliran pemikirannya
sendiri yang sekarang dikenal mahzab Syafi'i .
Jam terbesar di dunia kini ada di Makkah.
Kontribusi paling penting dari Syafi'i kepada badan
akademis pengetahuan Islam adalah pembentukan dasar-dasar yang kuat
tentang prinsip-prinsip fikih Islam. Pemikirannya mengenai ajaran Islam
itu kemudian diwujudkan dalam sebuah buku penting, yakni karya
Al-Risala yang dianggap oleh banyak orang sebagai karya akademis
terpenting di bidang ini., yakni pinsip-prinsip fikih Islam.
Pada zamannya, saat itu pemikiran Imam Syafo’i dibenak banyak orang
saat itu sebagai ‘ajaran revivalis’. .Proses cara kajian penelitiannya
adalah dimulai dengan mencari makna harfiah dari sebuah ayat Alquran
dan kemudian beralih ke hadits terkait (tradisi Nabi Muhammad SAW.
Setelah itu kemudian berkembang menjadi sebuah konsensus pendapat
semua orang terpelajar yang berkumpul (Ijma) yang menerapkan penalaran
dengan analogi (Qiyas).
Setelah mengkaji soal fiqih, Imam Syafi’i juga dinobatkan sebagai
pelopor gagasan untuk membuat perbedaan antara aplikasi peradilan
mengenai pertimbangan hukum (Istihsan) dan penalaran hukum murni dengan
analogi (Qiyas).
Sedangkan terkait dengan kemurahan hati Imam Syafi'i terjadi dalam
banyak peristiwa. Salah satunya kisahya yang terkenal adalah terkait
dengan kemurahan hatinya di bulan Ramadhan saat dia hendak pindah ke
Makkah.Saat itu, kalau perjalanannya sampai di perbatasan Makkah, dia
terkejut dengan kehidupan warganya yang sangat miskin. Keadaan ini
berbanding terbalik dengan posisi dirinya yang bisa dibilang cukup kaya
karena dia mempunyai uang hingga 10.000 dirham. Uang sebanyak itu
merupakan jumlah uang yang sangat besar pada masa itu.
Melihat kesengsaraan itu hati Imam Syafi’i pun terketuk. Dan tak
tanggung-tanggung dia kemudian memberikan seluruh uangnya itu,
sampai-sampai dia harus meminjam sejumlah uang di Makkah untuk membiayai
hidupnya sendiri.
Sikap kedermawanan Imam Syafi itu ternyata dia contoh dari karakter
Nabi Muhammad SAW. Rupanya Imam Syafi’i selama ini telah bertekad
mencontoh tindakan Rasullah yang selalu memberikan pakaian, makanan,
dan uang secara ekstensif di bulan Ramadhan.
Sampai akhir hayatnya, imam Imam Syafi'i berada di perkumpulan orang
terpelajar. Dilaporkan dia pun menghabiskan hari-hari terakhirnya di
sebuah lembaga pendidikan yang dikelola Abdullah Ibnul Hakam, seorang
sarjana terkenal pada masanya.
Imam Syafi’i diperkirakan meninggal usia 54 tahun, pada sebuah hari
Jumat di bulan Rajab di tahun 204 H (820 M). Gubernur Mesir waktu itu
mengakui keunggulan akademisnya dengan tidak hanya menghadiri
pemakamannya tapi benar-benar memimpin doa-doa sewaktu pemakaman
tersebut. Tempat peristirahatan terakhir Imam Syafi’i diperkirakan
berada di kaki perbukitan gunung Mukatram.
Credit
ihram.co.id