Trump tengah berada dalam pilihan sulit terkait sanksi AS atas Rusia. (REUTERS/Jim Young)
Jakarta, CB --
Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah meninjau
versi final undang-undang sanksi Rusia dan berencana menandatanganinya.
Pengumuman yang dirilis Gedung Putih pada Jumat (28/7) itu sontak
membuat Rusia berang dan langsung melakukan respons.
Kementerian Luar Negeri Rusia mengumumkan di hari yang sama, bahwa AS diminta mengurangi jumlah diplomatnya, sebagai respons atas pengumuman tersebut.
Namun hanya dua hari berselang, Presiden Rusia Vladimir Putin mengubah pernyataan itu dan menyebut 755 orang diplomat AS yang bekerja di kedutaan besar di Moskow serta di konsulat jenderal di St. Petersburg, Yekaterinburg dan Vladivostok, harus hengkang dari Kremlin, sebelum 1 September.
Bagi Moskow, itu merupakan langkah paling agresif terhadap Washington, sejak akhir Perang Dingin pada era 90an.
Keputusan tersebut juga semakin menjauhkan janji Trump semasa kampanye, yakni memperbaiki hubungan dengan Rusia.
Dalam wawancaranya dengan stasiun televisi pemerintah, Minggu (30/7) dikutip CNN, Putin dengan tegas mengatakan “755 orang dari 1000 lebih staf kedutaan besar dan konsulat AS, harus menghentikan aktivitas mereka di Rusia”. Angka tersebut, tutur Putin, termasuk para diplomat dan karyawan administratif.
Hak Veto
Di sisi lain, Trump sebenarnya masih memiliki hak veto dan bisa menolak menandatangani undang-undang tersebut. Namun, langkah itu dianggap akan jadi bunuh diri politik bagi taipan real estate tersebut.
Jika Trump menolak menandatangani sanksi, itu akan memperdalam kecurigaan masyarakat akan kolusinya dengan Rusia saat kampanye tahun lalu. Selain itu, Kongres AS juga bisa dengan cepat membatalkan hak veto presiden menggunakan penolakan publik yang akan menggarisbawahi ketidakmampuan pemimpin negara dalam mengendalikan situasi.
Sementara, jika Trump menandatangani sanksi, itu bisa memperburuk konfrontasi dengan Rusia sekaligus mementahkan upaya perbaikan hubungan dan membuat kedua negara sulit membalikkan situasi.
Mantan Direktur Analisis Rusia di CIA George Beebe mengatakan penetapan
sanksi hanya akan membuat Rusia 'melawan' AS di panggung internasional.
"Dia [Trump] ada dalam situasi kalah-kalah di sini," ungkap Beebe. "Tidak ada pilihan bagus bagi dia dalam masalah ini."
Hal serupa diungkapkan Wakil Presiden Wilson Center Aaron David Miller.
"Hanya ada sedikit ruang gerak yang rasional ataupun politis bagi Trump untuk melakukan veto," terang Miller, sembari menekankan tudingan kolusi kampanye, aksi Putin atas Ukraina dan Suriah serta keputusannya mengusir diplomat AS, saling berhubungan dan tidak bisa dipisahkan.
"Tidak ada rasionalisasi ataupun alasan untuk melakukan veto. Bagi Trump, itu akan jadi bunuh diri politik," tegasnya.
Partai Republik di Capitol Hill juga optimistis Trump tidak akan memveto sanksi terhadap Rusia. Namun, jika itu terjadi, baik Republik maupun Demokrat memastikan akan mematikan langkah Trump.
"Itu akan jadi langkah yang tidak bijak dan bisa digagalkan segera," kata perwakilan Partai Republik dari Oklahoma, Tom Cole.
"Presiden memang punya hak veto tapi itu tidak akan mengubah suara kongres," tambah Cole.
Selain itu, Cole mengungkapkan dalam undang-undang tersebut juga terdapat rincian sanksi terbaru bagi Iran dan Korea Utara, selain Rusia, yang harus disetujui Trump.
'Balas Dendam' yang Tertunda
Tindakan Putin menendang keluar ratusan diplomat AS dipandang sebagai upaya balas dendam yang tertunda, setelah Barack Obama memulangkan 35 diplomat Rusia pada Desember, menyusul tudingan ikut campur Kremlin dalam pemilu presiden.
Adapun, saat Trump memenangkan pemilu tahun lalu, Kremlin menyambutnya dengan gembira dan menyatakan itu merupakan "era baru bagi Rusia-AS" dan bisa memuluskan jalan Moskow meminta keringanan sanksi yang dijatuhkan AS dan Uni Eropa atas aksinya mencaplok Crimea dari Ukraina.
"Keuntungan itulah yang membuat Presiden Putin menunda memberikan respons balasan atas pengusiran diplomat Rusia oleh Obama pada Desember, dan memilih menunggu hingga Trump menjabat di Gedung Putih," papar Angela Stent, Direktur Georgetown University's Center for Eurasian, Russian and Eastern European Studies.
Di sisi lain, hubungan AS-Rusia di tangan Trump mengalami banyak kemunduran, terutama setelah rumor kolusi mencuat.
Kisruh campur tangan Rusia dalam kampanye pilpres itu terbongkar lewat
penyelidikan yang dilakukan FBI dan informasi adanya pembicaraan rahasia
antara penasihat keamanan nasional Trump, Michael Flynn, dengan mantan
Duta Besar Rusia Sergei Kislyak.
Diduga pembicaraan itu berkaitan dengan 'barter' kemenangan Trump dengan keringanan sanksi Rusia.
Flynn memilih mengundurkan diri dari posisinya yang semakin membuat rumor kolusi Rusia semakin liar. Adapun, Trump memperburuk situasi dengan memecat Direktur FBI James Comey yang tengah memimpin penyelidikan.
Diketahui beberapa anggota tim sukses Trump, termasuk putranya Donald Trump Jr dan menantunya Jared Kushner, juga melakukan pertemuan rahasia dengan Kislyak dengan tujuan 'mencoreng' Hillary saat pemilu.
Kisruh politik domestik AS yang membawa-bawa nama Rusia, membuat antusiasme Kremlin terhadap pemerintahan Trump terus menurun.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan kendati Rusia melakukan "segala cara" untuk memperbaiki hubungan kedua negara, AS justru memicu terjadinya konfrontasi.
"Rangkaian kejadian terbaru menunjukkan bahwa pemegang kebijakan AS adalah para 'Russophobic' dan mengarah pada konfrontasi Washington oleh Moskow," papar Lavrov.
Sentimen Lavrov itu sudah diprediksi Stent. Penandatanganan sanksi akan menunjukkan bahwa Trump kehilangan kendali atas kebijakannya soal Rusia.
Dengan demikian, pemerintahan Putin akan melihat Washington sebagai ancaman terbesar bagi Moskow dan harus melakukan langkah balasan.
"Dia tidak bisa tidak bertindak. Dia harus menunjukkan Rusia tidak bisa dengan mudah dikendalikan AS," papar Stent.
Kementerian Luar Negeri Rusia mengumumkan di hari yang sama, bahwa AS diminta mengurangi jumlah diplomatnya, sebagai respons atas pengumuman tersebut.
Namun hanya dua hari berselang, Presiden Rusia Vladimir Putin mengubah pernyataan itu dan menyebut 755 orang diplomat AS yang bekerja di kedutaan besar di Moskow serta di konsulat jenderal di St. Petersburg, Yekaterinburg dan Vladivostok, harus hengkang dari Kremlin, sebelum 1 September.
Bagi Moskow, itu merupakan langkah paling agresif terhadap Washington, sejak akhir Perang Dingin pada era 90an.
Keputusan tersebut juga semakin menjauhkan janji Trump semasa kampanye, yakni memperbaiki hubungan dengan Rusia.
Dalam wawancaranya dengan stasiun televisi pemerintah, Minggu (30/7) dikutip CNN, Putin dengan tegas mengatakan “755 orang dari 1000 lebih staf kedutaan besar dan konsulat AS, harus menghentikan aktivitas mereka di Rusia”. Angka tersebut, tutur Putin, termasuk para diplomat dan karyawan administratif.
Hak Veto
Di sisi lain, Trump sebenarnya masih memiliki hak veto dan bisa menolak menandatangani undang-undang tersebut. Namun, langkah itu dianggap akan jadi bunuh diri politik bagi taipan real estate tersebut.
Jika Trump menolak menandatangani sanksi, itu akan memperdalam kecurigaan masyarakat akan kolusinya dengan Rusia saat kampanye tahun lalu. Selain itu, Kongres AS juga bisa dengan cepat membatalkan hak veto presiden menggunakan penolakan publik yang akan menggarisbawahi ketidakmampuan pemimpin negara dalam mengendalikan situasi.
Sementara, jika Trump menandatangani sanksi, itu bisa memperburuk konfrontasi dengan Rusia sekaligus mementahkan upaya perbaikan hubungan dan membuat kedua negara sulit membalikkan situasi.
Dalam
kampanye pemilihan presiden, Trump kerap berjanji akan memperbaiki
hubungan AS dengan Rusia. (REUTERS/Steffen Kugler/Courtesy of
Bundesregierung)
|
"Dia [Trump] ada dalam situasi kalah-kalah di sini," ungkap Beebe. "Tidak ada pilihan bagus bagi dia dalam masalah ini."
Hal serupa diungkapkan Wakil Presiden Wilson Center Aaron David Miller.
"Hanya ada sedikit ruang gerak yang rasional ataupun politis bagi Trump untuk melakukan veto," terang Miller, sembari menekankan tudingan kolusi kampanye, aksi Putin atas Ukraina dan Suriah serta keputusannya mengusir diplomat AS, saling berhubungan dan tidak bisa dipisahkan.
"Tidak ada rasionalisasi ataupun alasan untuk melakukan veto. Bagi Trump, itu akan jadi bunuh diri politik," tegasnya.
Partai Republik di Capitol Hill juga optimistis Trump tidak akan memveto sanksi terhadap Rusia. Namun, jika itu terjadi, baik Republik maupun Demokrat memastikan akan mematikan langkah Trump.
"Itu akan jadi langkah yang tidak bijak dan bisa digagalkan segera," kata perwakilan Partai Republik dari Oklahoma, Tom Cole.
"Presiden memang punya hak veto tapi itu tidak akan mengubah suara kongres," tambah Cole.
Selain itu, Cole mengungkapkan dalam undang-undang tersebut juga terdapat rincian sanksi terbaru bagi Iran dan Korea Utara, selain Rusia, yang harus disetujui Trump.
'Balas Dendam' yang Tertunda
Tindakan Putin menendang keluar ratusan diplomat AS dipandang sebagai upaya balas dendam yang tertunda, setelah Barack Obama memulangkan 35 diplomat Rusia pada Desember, menyusul tudingan ikut campur Kremlin dalam pemilu presiden.
Adapun, saat Trump memenangkan pemilu tahun lalu, Kremlin menyambutnya dengan gembira dan menyatakan itu merupakan "era baru bagi Rusia-AS" dan bisa memuluskan jalan Moskow meminta keringanan sanksi yang dijatuhkan AS dan Uni Eropa atas aksinya mencaplok Crimea dari Ukraina.
"Keuntungan itulah yang membuat Presiden Putin menunda memberikan respons balasan atas pengusiran diplomat Rusia oleh Obama pada Desember, dan memilih menunggu hingga Trump menjabat di Gedung Putih," papar Angela Stent, Direktur Georgetown University's Center for Eurasian, Russian and Eastern European Studies.
Di sisi lain, hubungan AS-Rusia di tangan Trump mengalami banyak kemunduran, terutama setelah rumor kolusi mencuat.
Direktur
FBI James Comey dipecat Trump saat tengah melakukan penyelidikan
mengenai kolusi Rusia dan pemilu AS. (Reuters/Gary Cameron)
|
Diduga pembicaraan itu berkaitan dengan 'barter' kemenangan Trump dengan keringanan sanksi Rusia.
Flynn memilih mengundurkan diri dari posisinya yang semakin membuat rumor kolusi Rusia semakin liar. Adapun, Trump memperburuk situasi dengan memecat Direktur FBI James Comey yang tengah memimpin penyelidikan.
Diketahui beberapa anggota tim sukses Trump, termasuk putranya Donald Trump Jr dan menantunya Jared Kushner, juga melakukan pertemuan rahasia dengan Kislyak dengan tujuan 'mencoreng' Hillary saat pemilu.
Kisruh politik domestik AS yang membawa-bawa nama Rusia, membuat antusiasme Kremlin terhadap pemerintahan Trump terus menurun.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan kendati Rusia melakukan "segala cara" untuk memperbaiki hubungan kedua negara, AS justru memicu terjadinya konfrontasi.
"Rangkaian kejadian terbaru menunjukkan bahwa pemegang kebijakan AS adalah para 'Russophobic' dan mengarah pada konfrontasi Washington oleh Moskow," papar Lavrov.
Sentimen Lavrov itu sudah diprediksi Stent. Penandatanganan sanksi akan menunjukkan bahwa Trump kehilangan kendali atas kebijakannya soal Rusia.
Dengan demikian, pemerintahan Putin akan melihat Washington sebagai ancaman terbesar bagi Moskow dan harus melakukan langkah balasan.
"Dia tidak bisa tidak bertindak. Dia harus menunjukkan Rusia tidak bisa dengan mudah dikendalikan AS," papar Stent.
Credit CNN Indonesia