Rabu, 09 Agustus 2017

ASEAN dan China Adopsi Kerangka Kode Etik Laut China Selatan


ASEAN dan China Adopsi Kerangka Kode Etik Laut China Selatan Sengketa Laut China Selatan antara China dan negara-negara ASEAN tak kunjung selesai setelah 15 tahun. (Trevor Hammond/Planet Labs/Handout via Reuters)


Jakarta, CB --Menteri Luar Negeri China dan negara-negara anggota ASEAN telah mengadopsi kerangka kode etik (CoC) negosiasi sengketa Laut China Selatan. Meski mereka menilai langkah ini sebagai kemajuan, sejumlah pengkritik justru memandangnya sebagai taktik Beijing untuk mengulur waktu. 
 
Kerangka itu tidak diumumkan secara publik, tapi bocoran cetak biru setebal dua halaman yang dilaporkan Reuters, Selasa (8/8), tampak masih bersifat umum dan bisa banyak diperdebatkan.
 
Misalnya, kerangka itu mendorong komitmen terhadap "tujuan dan prinsip" Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Lautan (UNCLOS) tapi tidak menjelaskan secara spesifik bagaimana pihak-pihak terkait mesti menaatinya.
 
Dokumen ASEAN terpisah yang dikeluarkan pada Mei lalu menunjukkan bahwa Vietnam mendorong ketentuan yang lebih kuat dan spesifik dalam kerangka tersebut. Negara itu juga menginginkan mekanisme resolusi sengketa dan penghormatan atas "kedaulatan, hak berdaulat dan yurisdiksi."
 
Hak berdaulat yang dimaksud termasuk pada pencarian ikan dan sumber daya alam.
 
Semua pihak terkait menyebut kerangka itu hanya garis besar untuk menentukan bagaimana kode etik tersebut akan ditetapkan. 
 
Sementara itu, para pengkritik mengatakan ketiadaan ikatan dan penegakan hukum maupun mekanisme resolusi sengketa dalam garis besar itu membuat efektivitasnya diragukan.

Negara-negara pengklaim yang tergabung dengan ASEAN telah lama ingin membuat China menyepakati kode yang mengikat dan dapat ditegakkan secara hukum. Beberapa di antara negara itu telah berdebat selama bertahun-tahun soal tindakan Beijing yang dianggap melanggar kedaulatan.
 
Selama ini, China telah membangun sejumlah pulau buatan di perairan tersebut dan melarang nelayan untuk memasukinya. Di antara pulau-pulau itu, beberapa bahkan dilengkapi fasilitas militer, termasuk landasan udara.
 
Beijing berkeras aktivitas di perairan yang mereka klaim dilakukan untuk tujuan pertahanan. Namun, Malaysia, Taiwan, Brunei, Vietnam dan Filipina, juga mengklaim sebagian atau seluruh Laut China selatan beserta semua pulau dan terumbu karangnya.
 
Beberapa pengkritik dan diplomat meyakini ketertarikan mendadak China pada kode etik yang baru datang setelah 15 tahun ini hanya cara untuk mengulur proses negosiasi agar mempunyai cukup waktu menyelesaikan objektif strategisnya di Laut China Selatan.

Menteri Luar Negeri China Wang Yi mengatakan pengadopsian kerangka ini menjadi dasar kuat bagi negosiasi yang mungkin bisa dimulai tahun ini, jika "situasi di Laut China Selatan secara umum stabil dan dengan syarat tidak ada ikut campur besar dari pihak luar."
 
Kepada wartawan, dia mengatakan bahwa sempat ada "perkembangan konkret" sehingga momentum ini perlu dihargai.
 
Sejumlah negara, termasuk Vietnam dan Filipina, sebelumnya menyatakan masih ingin membuat kode etik yang mengikat secara hukum. Sementara para pakar menyebut China kemungkinan besar tidak akan sepakat.






Credit  CNN Indonesia