Sengketa Laut China Selatan antara
China dan negara-negara ASEAN tak kunjung selesai setelah 15 tahun.
(Trevor Hammond/Planet Labs/Handout via Reuters)
Jakarta, CB --Menteri Luar Negeri China dan negara-negara anggota ASEAN
telah mengadopsi kerangka kode etik (CoC) negosiasi sengketa Laut China
Selatan. Meski mereka menilai langkah ini sebagai kemajuan, sejumlah
pengkritik justru memandangnya sebagai taktik Beijing untuk mengulur
waktu.
Kerangka itu tidak diumumkan secara publik, tapi bocoran cetak biru setebal dua halaman yang dilaporkan Reuters, Selasa (8/8), tampak masih bersifat umum dan bisa banyak diperdebatkan.
Misalnya, kerangka itu mendorong komitmen terhadap "tujuan dan
prinsip" Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Lautan
(UNCLOS) tapi tidak menjelaskan secara spesifik bagaimana pihak-pihak
terkait mesti menaatinya.
Dokumen ASEAN terpisah yang dikeluarkan pada Mei lalu menunjukkan
bahwa Vietnam mendorong ketentuan yang lebih kuat dan spesifik dalam
kerangka tersebut. Negara itu juga menginginkan mekanisme resolusi
sengketa dan penghormatan atas "kedaulatan, hak berdaulat dan
yurisdiksi."
Hak berdaulat yang dimaksud termasuk pada pencarian ikan dan sumber daya alam.
Semua pihak terkait menyebut kerangka itu hanya garis besar untuk menentukan bagaimana kode etik tersebut akan ditetapkan.
Sementara itu, para pengkritik mengatakan ketiadaan ikatan dan
penegakan hukum maupun mekanisme resolusi sengketa dalam garis besar itu
membuat efektivitasnya diragukan.
Negara-negara pengklaim yang tergabung dengan ASEAN telah lama
ingin membuat China menyepakati kode yang mengikat dan dapat ditegakkan
secara hukum. Beberapa di antara negara itu telah berdebat selama
bertahun-tahun soal tindakan Beijing yang dianggap melanggar kedaulatan.
Selama ini, China telah membangun sejumlah pulau buatan di perairan
tersebut dan melarang nelayan untuk memasukinya. Di antara pulau-pulau
itu, beberapa bahkan dilengkapi fasilitas militer, termasuk landasan
udara.
Beijing berkeras aktivitas di perairan yang mereka klaim dilakukan
untuk tujuan pertahanan. Namun, Malaysia, Taiwan, Brunei, Vietnam dan
Filipina, juga mengklaim sebagian atau seluruh Laut China selatan
beserta semua pulau dan terumbu karangnya.
Beberapa pengkritik dan diplomat meyakini ketertarikan mendadak
China pada kode etik yang baru datang setelah 15 tahun ini hanya cara
untuk mengulur proses negosiasi agar mempunyai cukup waktu menyelesaikan
objektif strategisnya di Laut China Selatan.
Menteri Luar Negeri China Wang Yi mengatakan pengadopsian kerangka
ini menjadi dasar kuat bagi negosiasi yang mungkin bisa dimulai tahun
ini, jika "situasi di Laut China Selatan secara umum stabil dan dengan
syarat tidak ada ikut campur besar dari pihak luar."
Kepada wartawan, dia mengatakan bahwa sempat ada "perkembangan konkret" sehingga momentum ini perlu dihargai.
Sejumlah negara, termasuk Vietnam dan Filipina, sebelumnya
menyatakan masih ingin membuat kode etik yang mengikat secara hukum.
Sementara para pakar menyebut China kemungkinan besar tidak akan
sepakat.
Credit CNN Indonesia