MOSKOW
- Rusia menghentikan kesepakatan pasca-Perang Dingin dengan Amerika
Serikat (AS) soal pada pembuangan plutonium dari hulu ledak nuklir yang
dinonaktifkan. Keputusan diambil reaksi atas tindakan bermusuhan AS
terhadap Rusia.
Keputusan penghentian pembuangan plutonium dari hulu ludak nuklir Rusia muncul dalam sebuah dekrit rancangan undang-undang (RUU) yang ditandatangani oleh Presiden Rusia; Vladimir Putin.
”Perubahan radikal dalam lingkungan, ancaman terhadap stabilitas strategis yang ditimbulkan oleh tindakan bermusuhan AS terhadap Rusia, dan ketidakmampuan AS untuk memenuhi kewajiban dalam membuang plutonium senjata yang berlebihan di bawah perjanjian internasional, serta kebutuhan untuk mengambil tindakan cepat guna mempertahankan keamanan Rusia,” bunyi dekrit yang dijadikan dasar pembenaran Rusia untuk menangguhkan kesepakatan dengan AS pasca-Perang Dingin.
Meski menghentikan pembuangan plutonium, Rusia menegaskan tidak akan menggunakannya untuk tujuan militer, baik itu untuk memproduksi senjata baru atau untuk penelitian.
Meski keputusan itu sudah diteken Presiden Putin, namun harus menanti sikap parlemen Rusia, yang mungkin saja menolak keputusan pemimpin Kremlin itu. Leonid Slutsky, politikus yang hendak ditunjuk sebagai Kepala Komite Hubungan Luar Negeri di Parlemen Rusia yang baru terpilih, memberi sinyal mendukung Putin.
”Ini isu yang sangat penting. Ini tentang mengambil tindakan cepat untuk melindungi keamanan nasional Rusia. Kami akan berurusan dengan cepat usai RUU tersebut diajukan,” katanya kepada kantor berita Itar-TASS, yang dikutip Selasa (4/10/2016).
RUU sudah diajukan oleh kantor Presiden Rusia ke parlemen pada hari Senin. Inti RUU itu menyatakan bahwa kesepakatan soal pembuangan plutonium dari hulu ledak nuklir nonaktif dapat dilanjutkan, asalkan AS mengambil langkah yang bisa menghilangkan penyebab suspensi, yakni tidak bertindak bermusuhan pada Rusia.
RUU itu juga menyerukan pencabutan hukum Magnitsky dan sanksi terhadap wilayah, orang dan perusahaan Rusia yang dijatuhkan oleh AS selama krisis Ukraina. Hukum Magnitsky adalah hukum produk AS untuk menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah warga Rusia yang diyakini terkait dengan kematian pengacara Rusia; Sergei Magnitsky, di dalam tahanan.
Keputusan penghentian pembuangan plutonium dari hulu ludak nuklir Rusia muncul dalam sebuah dekrit rancangan undang-undang (RUU) yang ditandatangani oleh Presiden Rusia; Vladimir Putin.
”Perubahan radikal dalam lingkungan, ancaman terhadap stabilitas strategis yang ditimbulkan oleh tindakan bermusuhan AS terhadap Rusia, dan ketidakmampuan AS untuk memenuhi kewajiban dalam membuang plutonium senjata yang berlebihan di bawah perjanjian internasional, serta kebutuhan untuk mengambil tindakan cepat guna mempertahankan keamanan Rusia,” bunyi dekrit yang dijadikan dasar pembenaran Rusia untuk menangguhkan kesepakatan dengan AS pasca-Perang Dingin.
Meski menghentikan pembuangan plutonium, Rusia menegaskan tidak akan menggunakannya untuk tujuan militer, baik itu untuk memproduksi senjata baru atau untuk penelitian.
Meski keputusan itu sudah diteken Presiden Putin, namun harus menanti sikap parlemen Rusia, yang mungkin saja menolak keputusan pemimpin Kremlin itu. Leonid Slutsky, politikus yang hendak ditunjuk sebagai Kepala Komite Hubungan Luar Negeri di Parlemen Rusia yang baru terpilih, memberi sinyal mendukung Putin.
”Ini isu yang sangat penting. Ini tentang mengambil tindakan cepat untuk melindungi keamanan nasional Rusia. Kami akan berurusan dengan cepat usai RUU tersebut diajukan,” katanya kepada kantor berita Itar-TASS, yang dikutip Selasa (4/10/2016).
RUU sudah diajukan oleh kantor Presiden Rusia ke parlemen pada hari Senin. Inti RUU itu menyatakan bahwa kesepakatan soal pembuangan plutonium dari hulu ledak nuklir nonaktif dapat dilanjutkan, asalkan AS mengambil langkah yang bisa menghilangkan penyebab suspensi, yakni tidak bertindak bermusuhan pada Rusia.
RUU itu juga menyerukan pencabutan hukum Magnitsky dan sanksi terhadap wilayah, orang dan perusahaan Rusia yang dijatuhkan oleh AS selama krisis Ukraina. Hukum Magnitsky adalah hukum produk AS untuk menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah warga Rusia yang diyakini terkait dengan kematian pengacara Rusia; Sergei Magnitsky, di dalam tahanan.
Credit Sindonews
Keadaan Memaksa Rusia Tangguhkan Perjanjian Pelucutan Nuklir dengan AS
MOSKOW
- Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, mengatakan keadaan memaksa
Rusia menangguhkan perjanjian pelucutan senjata nuklir dengan Amerika
Serikat (AS). Menurutnya, Moskow tidak akan membiarkan AS berbicara
dengan Rusia dalam bahasa kekuatan.
Pernyataan Lavrov ini menyusul keputusan Presiden Rusia Vladimir Putin yang telah menandatangani dekrit RUU tentang penagguhan Perjanjian Pengelolaan dan Disposisi Plutonium (PMDA) dengan AS sejak tahun 2000. Dekrit Putin mengamanatkan Rusia menghentikan pembuangan plutonium dari hulu ledak nuklir nonaktif dengan alasan AS melakukan tindakan bermusuhan terhadap Rusia.
“Presiden Federasi Rusia menyetujui keputusan tentang penghentian Perjanjian Pengelolaan dan Disposisi Plutonium (PMDA) dengan Amerika Serikat dari tahun 2000. Kami ingin menggarisbawahi bahwa ini adalah ‘keadaan memaksa’,” kata Lavrov, seperti dikutip Sputniknews, Selasa (4/10/2016).
Rusia tak terima dengan tindakan Washington yang telah mengambil sejumlah langkah tidak ramah terhadap Moskow. Secara khusus, Rusia kesal dengan penjatuhan sanksi oleh AS sejak krisis Ukraina yang oleh Moskow dianggap tindakan yang mengada-ada.
RUU yang diteken Putin itu telah diajukan ke parlemen Rusia untuk mendapat persetujuan atau tidak. ”Perubahan radikal dalam lingkungan, ancaman terhadap stabilitas strategis yang ditimbulkan oleh tindakan bermusuhan AS terhadap Rusia, dan ketidakmampuan AS untuk memenuhi kewajiban dalam membuang plutonium senjata yang berlebihan di bawah perjanjian internasional, serta kebutuhan untuk mengambil tindakan cepat guna mempertahankan keamanan Rusia,” bunyi dekrit yang dijadikan dasar pembenaran Rusia untuk menangguhkan kesepakatan dengan AS pasca-Perang Dingin tersebut.
Meski demikian, Lavrov mengklaim Rusia masih berusaha untuk menjalankan kewajiban internasionalnya terkait senjata nuklir.
Pernyataan Lavrov ini menyusul keputusan Presiden Rusia Vladimir Putin yang telah menandatangani dekrit RUU tentang penagguhan Perjanjian Pengelolaan dan Disposisi Plutonium (PMDA) dengan AS sejak tahun 2000. Dekrit Putin mengamanatkan Rusia menghentikan pembuangan plutonium dari hulu ledak nuklir nonaktif dengan alasan AS melakukan tindakan bermusuhan terhadap Rusia.
“Presiden Federasi Rusia menyetujui keputusan tentang penghentian Perjanjian Pengelolaan dan Disposisi Plutonium (PMDA) dengan Amerika Serikat dari tahun 2000. Kami ingin menggarisbawahi bahwa ini adalah ‘keadaan memaksa’,” kata Lavrov, seperti dikutip Sputniknews, Selasa (4/10/2016).
Rusia tak terima dengan tindakan Washington yang telah mengambil sejumlah langkah tidak ramah terhadap Moskow. Secara khusus, Rusia kesal dengan penjatuhan sanksi oleh AS sejak krisis Ukraina yang oleh Moskow dianggap tindakan yang mengada-ada.
RUU yang diteken Putin itu telah diajukan ke parlemen Rusia untuk mendapat persetujuan atau tidak. ”Perubahan radikal dalam lingkungan, ancaman terhadap stabilitas strategis yang ditimbulkan oleh tindakan bermusuhan AS terhadap Rusia, dan ketidakmampuan AS untuk memenuhi kewajiban dalam membuang plutonium senjata yang berlebihan di bawah perjanjian internasional, serta kebutuhan untuk mengambil tindakan cepat guna mempertahankan keamanan Rusia,” bunyi dekrit yang dijadikan dasar pembenaran Rusia untuk menangguhkan kesepakatan dengan AS pasca-Perang Dingin tersebut.
Meski demikian, Lavrov mengklaim Rusia masih berusaha untuk menjalankan kewajiban internasionalnya terkait senjata nuklir.
Credit Sindonews