MOSKOW
- Bekas pemimpin Uni Soviet, Mikhail Gorbachev, memperingatkan bahwa
memanasnya ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Rusia telah
membawa dunia ke titik berbahaya. Gorbachev menggarisbawahi ancaman
Rusia yang akan menembak jatuh setiap jet tempur AS jika berani
menyerang pasukan Suriah.
Ancaman Rusia itu, kata dia, menggambarkan situasi terburuk jika dibandingkan situasi Perang Dingin di masa lalu. ”Saya pikir dunia telah mencapai titik yang berbahaya,” kata Gorbachev kepada kantor berita RIA Novosti.
”Saya tidak ingin memberikan setiap resep beton, tapi saya ingin mengatakan bahwa ini perlu berhenti. Kita perlu memperbarui dialog. Menghentikan itu adalah kesalahan terbesar,” ujarnya, yang dikutip Selasa (11/10/2016).
AS telah menangguhkan bulan perundingan dengan Rusia soal krisis Suriah pada 3 Oktober 2016. Keputusan AS itu menyusul tuduhan bahwa Rusia merusak kesepakatan gencatan senjata dengan meluncurkan serangan udara tanpa henti di wilayah Aleppo yang dikuasai pemberontak Suriah.
Situasi kian memanas, setelah Menteri Luar Negeri AS, John Kerry, menyerukan agar Rusia dan Pemerintah Suriah diselidiki atas dugaan melakukan kejahatan perang di Aleppo. Seruan John Kerry digemakan Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Marc Ayrault, kemarin.
Sebaliknya, Rusia memandang AS sudah bertindak bermusuhan terhadap Moskow. Puncaknya, Rusia menggelar latihan perang nuklir yang melibatkan 40 juta orang. Selain itu, Rusia diketahui sudah mengerahkan rudal nuklir Iskander-M ke Kalingningrad yang membuat negara-negara NATO di Baltik cemas.
”Hal ini diperlukan untuk kembali ke prioritas utama. Ini adalah perlucutan senjata nuklir, perang melawan terorisme, pencegahan bencana lingkungan,” kata Gorbachev, yang menyerukan AS dan Rusia dialog untuk menghindari perang.
Gorbachev memerintah Uni Soviet dari tahun 1985 sampai negara itu runtuh tahun 1991 dan berubah menjadi Rusia. Dia dianggap sebagai sosok yang mengakhiri Perang Dingin antara AS dan Rusia.
Dia jarang ikut campur dalam urusan politik sejak lengser. Tapi, dia kerap mengkritik Kremlin dan Barat atas runtuhnya hubungan kedua pihak. Pada tahun 2014 Gorbachev menyalahkan Amerika atas retorika anti-Rusia yang bisa memicu Perang Dingin baru.
Ancaman Rusia itu, kata dia, menggambarkan situasi terburuk jika dibandingkan situasi Perang Dingin di masa lalu. ”Saya pikir dunia telah mencapai titik yang berbahaya,” kata Gorbachev kepada kantor berita RIA Novosti.
”Saya tidak ingin memberikan setiap resep beton, tapi saya ingin mengatakan bahwa ini perlu berhenti. Kita perlu memperbarui dialog. Menghentikan itu adalah kesalahan terbesar,” ujarnya, yang dikutip Selasa (11/10/2016).
AS telah menangguhkan bulan perundingan dengan Rusia soal krisis Suriah pada 3 Oktober 2016. Keputusan AS itu menyusul tuduhan bahwa Rusia merusak kesepakatan gencatan senjata dengan meluncurkan serangan udara tanpa henti di wilayah Aleppo yang dikuasai pemberontak Suriah.
Situasi kian memanas, setelah Menteri Luar Negeri AS, John Kerry, menyerukan agar Rusia dan Pemerintah Suriah diselidiki atas dugaan melakukan kejahatan perang di Aleppo. Seruan John Kerry digemakan Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Marc Ayrault, kemarin.
Sebaliknya, Rusia memandang AS sudah bertindak bermusuhan terhadap Moskow. Puncaknya, Rusia menggelar latihan perang nuklir yang melibatkan 40 juta orang. Selain itu, Rusia diketahui sudah mengerahkan rudal nuklir Iskander-M ke Kalingningrad yang membuat negara-negara NATO di Baltik cemas.
”Hal ini diperlukan untuk kembali ke prioritas utama. Ini adalah perlucutan senjata nuklir, perang melawan terorisme, pencegahan bencana lingkungan,” kata Gorbachev, yang menyerukan AS dan Rusia dialog untuk menghindari perang.
Gorbachev memerintah Uni Soviet dari tahun 1985 sampai negara itu runtuh tahun 1991 dan berubah menjadi Rusia. Dia dianggap sebagai sosok yang mengakhiri Perang Dingin antara AS dan Rusia.
Dia jarang ikut campur dalam urusan politik sejak lengser. Tapi, dia kerap mengkritik Kremlin dan Barat atas runtuhnya hubungan kedua pihak. Pada tahun 2014 Gorbachev menyalahkan Amerika atas retorika anti-Rusia yang bisa memicu Perang Dingin baru.
Credit Sindonews