Rabu, 10 Agustus 2016

Vietnam Dilaporkan Telah Pasang Peluncur Rudal di Laut China Selatan

 
BBC/UNCLOS/GOOGLE MAP Peta wilayah sengketa di Laut China Selatan.
 
HONGKONG, CB – Vietnam dilaporkan telah mengambil tindakan diam-diam, yakni memasang sejumlah peluncur rudal atau peluru kendali di wilayah sengketa Laut China Selatan (LCS).
Hal itu disampaikan oleh sumber dari negara Barat, seperti dilaporkan oleh kantor berita Reuters pada Rabu (10/8/2016).
Para diplomat dan pejabat militer mengaku memiliki informasi intelejen, yang menunjukkan bahwa Hanoi menempatkan beberapa peluncur rudal ke lima pangkalan di sekitar kepulauan Spratly dalam beberapa bulan terakhir.
Menurut sumber, seperti dilaporkan Reuters, peluncur itu tidak terlihat dari pemantauan udara dan belum dipersenjatai.
Hanya saja butuh waktu sekitar dua hingga tiga hari untuk membuat peluncur rudal tersebut bisa menembakkan peluru kendali.
Beberapa pengamat militer menduga peluncur rudal baru milik Vietnam adalah bagian dari sistem artileri canggih bernama EXTRA yang baru-baru ini dibeli dari Israel.
Peluru EXTRA dikenal akurat sampai jarat 150 km dengan hulu ledak seberat 150 kg. Peluru ini bisa menyasar kapal maupun target darat.
Instalasi militer dan ladasan udara sepanjang 3.000 m milik China di Suby, Fiery Cross, dan Mischief Reef masih berada dalam jarak sasar EXTRA.
Peluncur peluru kendali tersebut punya kemampuan menyerang sarana militer dan landasan pesawat, yang tengah dibangun China di kawasan sengketa yang sama.
Kementerian Luar Negeri Vietnam menyebut laporan ini tidak cermat, tanpa menjelaskan lebih jauh.
Wakil Menteri Pertahanan Vietnam Letnan Jenderal Nguyen Chi Vinh saat berada di Sungapura, Juni lalu, mengatakan, Hanoi tidak mempunyai peluncur maupun senjata lain di Kepulauan Spratly.
Vietnam tidak melakukan itu, kata Nguyen, meski negaranya mempunyai hak melakukannya.
"Adalah bagian dari hak pertahanan diri untuk menempatkan senjata kami di wilayah manapun yang merupakan milik kami," kata dia.
Langkah Vietnam itu ditujukan sebagai penyeimbang tindakan agresif China yang sudah sejak lama mereklamasi tujuh pulau di kepulauan Spratly sekaligus berbagai instalasi militer di atasnya.
Vietnam khawatir tidak mempunyai pertahanan yang cukup.
Sejumlah analis militer mengatakan bahwa hal tersebut adalah tindakan pertahanan Vietnam yang paling besar terkait sengketa wilayah Laut China Selatan.
AP Kapal patroli Vietnam (kiri) terlibat tembak menembak meriam air dengan kapal China di perairan sengketa Laut China Selatan, Senin (12/5/2013).
 
Hanoi ingin menempatkan peluncur tersebut di tengah naiknya ketegangan menjelang pembacaan keputusan pengadilan arbitrase internasional di Den Haag atas sengketa wilayah antara Filipina dengan China.
Pada Juli lalu, Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) di Den Haag, Belanda, telah memutuskan bahwa China tidak mempunyai hak atas untuk mengklaim seluruh wilayah perairan Laut China Selatan.
Keputusan PCA itu ditolak mentah-mentah oleh Beijing, namun disambut oleh Filipina dan negara lain yang bersengketa di kawasan, termasuk Vietnam. Barat dan AS mendukung PCA.
Kementerian Pertahanan China mengatakan, militer terus memantau situasi di laut dan udara sekitar kepulauan Spratly.
“Kami berharap semua negara bergabung dengan China untuk menjaga stabilitas dan perdamaian di Laut China Selatan," kata Kementerian Pertahanan China dalam pernyataan tertulis untuk Reuters.
Amerika Serikat juga mengaku memantau keadaan. Washington terus mendesak agar semua pihak yang bersengketa di LCS untuk menghindari tindakan yang dapat memperburuk situasi.
“Kami mendesak mereka untuk mengintensifkan upaya perdamaian dan solusi diplomatik untuk persoalan ini," kata Kementrian Luar Negeri AS.
Carl Thayer, pakar militer Vietnam di Akademi Pertahanan Australia, mengatakan, penempatan peluncur peluru kendali itu  menunjukkan keseriusan tekad Vietnam menghalangi China.
"Landasan pacu China dan instalasi militer di Spratly merupakan tantangan langsung ke Vietnam, khususnya di perairan selatan dan udara," katanya.
Apa yang dilakukan Vietnam itu, kata Thayer,  menunjukkan kesiapan dan keseriusan mereka menanggapi China.
"China tidak mungkin untuk melihat ini sebagai murni defensif, dan itu bisa menandai tahap baru militerisasi Spratly," kata dia.






Credit  KOMPAS.com