Desakan mengenai perubahan iklim ini
sebenarnya sudah cukup lama dirasakan oleh PBB. UNFCCC sendiri lahir
dari desakan publik internasional. (Reuters/Christian Hartmann)
El Nino yang berembus menambah parah tingkat gas rumah kaca hingga rekor pun ditembus. Hal ini mendesak para pemimpin dari 196 negara untuk duduk bersama demi memecahkan masalah perubahan iklim yang diperkirakan akan menggerus sendi-sendi kehidupan.
Desakan mengenai perubahan iklim ini sebenarnya sudah cukup lama dirasakan oleh PBB. UNFCCC sendiri lahir dari desakan publik internasional.
Semua bermula sekitar dua dekade silam, jauh sebelum mata publik internasional tertuju pada isu pemanasan global.
Kala itu, tepatnya 1985, Amerika Serikat gempar ketika beredar pemberitaan bahwa ditemukan lubang pada lapisan ozon di Antartika pada 1985. Beberapa riset ilmuwan mengenai pemanasan global yang sebelumnya hanya menjadi tumpukan kertas, mulai diulas.
Namun, isu pemanasan global baru mulai menggema di Amerika Serikat pada 1988.
Kongres AS pun menjadi saksi ketika seorang ilmuwan NASA, James Hansen, mengatakan bahwa ia yakin 99 persen, perubahan iklim sedang terjadi di depan mata dan kemungkinan besar dipicu oleh kegiatan manusia.
Saat itu, politisi konservatif masih skeptis terhadap pandangan ini. Namun, kandidat presiden kala itu, George H. W Bush atau Bush Sr., dalam pidatonya mengatakan, "Siapa yang beranggapan bahwa kita tidak dapat melakukan sesuatu atas efek gas rumah kaca, maka dia harus melupakan ’Efek Gedung Putih.’”
Meskipun efek pemanasan global masih hanya dirasakan di AS, isu ini menjadi perbincangan hangat pula di beberapa negara lain.
Pada September 1988, Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher, mengingatkan rakyatnya bahwa, “Kita tanpa sadar telah memulai eksperimen yang masif terhadap sistem planet."
Awal medio 1990, isu pemanasan global pun menggema di berbagai belahan dunia. Di tengah tekanan publik pada Desember 1990, Majelis Umum PBB sepakat untuk membentuk perjanjian untuk menangani perubahan iklim.
Maka dibentuklah The Intergovernmental Negotiating Committee for a Framework Convention on Climate Change (INC/FCCC) sebagai wadah tunggal proses negosiasi antarpemerintah di bawah naungan Majelis Umum PBB.
Komite ini mengadakan pertemuan sebanyak empat kali sepanjang Februari 1991 hingga Mei 1992, menyusun kerangka kerja perubahan iklim yang akan diluncurkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, pada 1992.
Mei 1992, INC/FCCC mengajukan draf akhir untuk diadopsi di New York. Sepekan kemudian, draf dirilis dan dibuka untuk penandatanganan para pihak dalam KTT Bumi.
Dalam KTT tersebut, 154 negara menandatangi kerangka kerja perubahan iklim yang disebut The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Maret 1994. Konvensi Perubahan Iklim pun mulai berlaku.
Semua pihak penandatangan UNFCCC pun menggelar pertemuan tahunan guna membahas strategi menghadapi perubahan iklim. Pertemuan ini disebut Conference of the Parties (COP) atau konferensi pihak-pihak terkait dalam UNFCCC.
UNFCCC pun membentuk dua badan subsider, yaitu Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) dan Subsidiary Body for Implementation (SBI) yang akan memberikan rekomendasi atau mandat spesifik bagi COP.
COP pertama atau COP1 digelar di Berlin Jerman atau dikenal dengan nama The Berlin Mandate. Dalam pertemuan ini, semua pihak menyuarakan kesulitan yang mereka hadapi untuk mencapai komitmen SBSTA dan SBI.
Setelah COP2 dihelat di Swiss, sebuah sejarah yang dianggap sebagai tonggak pergerakan melawan perubahan iklim ditorehkan saat COP3 digelar di Kyoto, Jepang, pada 1997.
Dengan proses negosiasi alot, para peserta akhirnya sepakat untuk mengadopsi Protokol Kyoto. Di bawah protokol ini, semua negara maju berkewajiban untuk mereduksi emisi gas melalui mekanisme Kyoto, meliputi perdagangan emisi, mekanisme pembangunan bersih, dan implementasi bersama.
Sementara itu, negara industri dan sebagian kawasan di Eropa tengah yang sedang dalam masa transisi perekonomian sepakat untuk mereduksi gas emisi rumah hijau dalam rentang waktu 2008-2012 hingga 6-8 persen di bawah tingkat 1990.
Setelah hampir satu dekade COP selalu diwarnai perang kepentingan politik dan negosiasi alot mengenai jumlah emisi yang harus dikurangi, kesepakatan besar kembali dicapai pada 2005. COP11 ini dihadiri oleh lebih dari 10 ribu delegasi, terbanyak sepanjang sejarah.
Pertemuan ini akhirnya menghasilkan Rencana Aksi Montreal, berisi kesepakatan untuk memperpanjang berlakunya Protokol Kyoto yang seharusnya kedaluwarsa pada 2012. Dengan demikian, semakin panjang pula waktu bagi para pihak yang tak setuju, termasuk AS, untuk meratifikasi Protokol Kyoto.
Setelah itu, konferensi bersejarah lainnya adalah COP13 yang diselenggarakan di Bali, Indonesia. Para peserta sepakat untuk mengadopsi Rencana Aksi Bali, berisi kerangka kerja dan struktur negosiasi setelah 2012, batas berlakunya Protokol Kyoto pertama.
Selain itu, para delegasi juga sepakat untuk membentuk Kelompok Kerja Ad Hoc Kerja Sama Aksi dalam Konvensi, badan subsider untuk melakukan negosiasi mendesak untuk melakukan implementasi perjanjian.
Namun, implementasi dari kerangka jangka panjang tersebut kandas pada COP15 di Denmark. New York Times memberitakan bahwa, "Presiden Obama dan pemimpin dunia lainnya memutuskan untuk menghentikan tugas sulit untuk mencapai kesepakatan perubahan iklim. Mereka justru sepakat untuk membuat misi dari konferensi di Copenhagen mencapai kesepakatan yang lebih tidak mengikat secara politik yang justru akan menghasilkan isu lebih sulit di masa depan."
AS, China, dan 23 pihak lainnya bersinergi membentuk kesepakatan politis sehingga banyak negara lain tak ingin berkomitmen kuat menjalankan Protokol Kyoto.
KTT
Perubahan Iklim di Paris terjadi hanya berselang sekitar dua pekan dari
serangan teror mematikan yang menewaskan 130 orang. (Reuters/Christian
Hartmann)
|
Namun, kesepakatan politik yang disetujui oleh 25 pihak dalam COP15 tidak diakui secara resmi oleh FCCC lantaran tak melibatkan semua peserta.
Akhirnya, diputuskan bahwa pemberlakuan Protokol Kyoto masih akan dirundingkan pada COP16. Dalam COP16 di Meksiko, para peserta dibayangi oleh laporan IPCC bahwa batas maksimum pemanasan global setiap negara adalah 2 persen. Semua peserta akhirnya sepakat untuk mencapai target tersebut.
Hingga sampailah pada 2012, COP18 di Qatar. Peserta akhirnya sepakat untuk melakukan amandemen Protokol Kyoto yang memuat komitmen selama 2012 hingga 2020. Target semua peserta, membatasi emisi karbondioksida global hanya 15 persen.
Dalam pertemuan ini, beberapa pedoman juga diubah mengingat ada negara yang pada saat Protokol Kyoto ditandatangani masih dianggap wilayah berkembang, kini sudah maju, seperti China. Target mereka pun tak bisa disamakan dengan negara berkembang.
Indonesia sendiri memasang target pengurangan emisi gas buang hingga 29 persen pada 2020. Namun hingga kini, Indonesia belum mencapai target.
Laporan mengenai pencapaian pengurangan emisi ini akan dibawa ke meja diskusi COP21 di Paris, Perancis. Langkah Indonesia pun dibayangi oleh kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap di beberapa negara Asia Tenggara.
Kebakaran ini tak pelak menyebabkan emisi gas buang di Indonesia dan sekitarnya bertambah. Namun, pemerintah Indonesia sudah mempersiapkan segala data mengenai penanganan dan menyusun rekomendasi penanganan pemanasan global ke depannya.
Dalam COP21, Indonesia akan mengajukan target pengurangan emisi hingga 40 persen pada 2030.
Credit CNN Indonesia