Selasa, 24 November 2015

Kecemasan Warga Muslim Perancis Setelah Serangan Paris


 
screenshot YouTube Pria muslim ini menarik simpati warga ketika dia menyatakan bahwa dirinya bukan teroris.
PARIS, CB - Seorang petugas pemadam kebakaran keturunan Aljazair, Faisal, ikut mengevakuasi ribuan orang dari Stade de France dalam serangan teror di Paris pada 13 November lalu.

Faisal membimbing para penggemar sepak bola yang panik ke tempat aman saat beberapa pengebom bunuh diri meledakkan diri di luar stadion.

Sekarang Faisal takut pembantaian pada 13 November di ibukota Perancis itu akan memperdalam sebuah perpecahan berbahaya "mereka dan kita" antara lima juta penduduk Muslim Perancis dengan sisa masyarakat lainnya.

Kaum militan di balik serangan itu tampaknya merupakan warga Eropa keturunan Arab. Petugas pemadam kebakaran berusia 40 tahun itu khawatir bahwa kaum Muslim Perancis akan menderita diskriminasi yang lebih besar sebagai akibat dari serangan tersebut.

"Jika Anda memiliki nama Muslim, mereka berhenti melihat Anda sebagai orang Perancis dan mereka mulai melihat Anda sebagai seorang Arab, seorang teroris potensial," kata Faisal.

Serangan tersebut juga akan memperburuk masalah yang ada. Faisal takut banyak warga Muslim tidak merasa sebagai bagian dari Perancis, dan bahkan membenci Perancis.

Kebencian itulah yang berusaha dieksploitasi kelompok ISIS.

Seperti orang-orang lain yang tinggal di kawasan Boulevard Barbes, Faisal mengecam serangan tersebut.

"Saya sedang bekerja di dalam Stade de France pada Jumat malam itu ketika kami mendapat panggilan radio untuk mengevakuasi semua orang. Namun ketika serangan semacam itu terjadi, hal tersebut memperdalam pemisahan antara kami dan masyarakat lainnya," kata petugas pemadam kebakaran itu.

Komunitas Muslim Perancis, yang termasuk yang terbesar di Eropa, sangat beragam seperti juga negara itu sendiri.

Namun banyak orang yang menyuarakan kecemasan tentang posisi mereka dalam sebuah negara dengan sejarah kolonial berdarah di Afrika Utara dan sebuah komitmen terhadap sekularisme yang oleh beberapa orang lihat bertentangan dengan tradisi Islam.

Kecemasan itu melonjak saat politisi seperti mantan perdana menteri Alain Juppe menyerukan kepada warga Muslim untuk secara terbuka "mengatakan bahwa mereka tidak ada hubungannya dengan barbarisme itu".

Seorang penulis opini, Hatem Nafti, beraksi terhadap Juppe di  harian berhaluan kiri, Liberation. Nafti mengatakan, "Orang Muslim tidak perlu menjustifikasi diri mereka... Apakah mereka bersalah hanya karena mereka Muslim?"

Teralienasi

Mohammad (30 tahun), seorang pria kelahiran Perancis dan merupakan keturunan Aljazair, dan temannya Samir mencoba untuk mencari akar persoalan.

"Masalahnya bermula dari cara mereka memperlakukan para imigran 40-50 tahun lalu. Mereka menempatkan orang-orang Arab di daerah pinggiran kota yang jauh dari orang lain," kata Mohammad yang memiliki toko CD dan DVD di Barbes.

Beberapa dekade setelah gelombang besar pertama migrasi tahun 1960-an, ribuan orang masih tinggal di proyek perumahan murah di pinggiran kota Paris. Di sana kejahatan kecil marak dan kehidupan benar-benar terasa berbeda dari pusat kota yang berkilauan.

Di sana pekerjaan sulit didapat. Angka pengangguran tahun 2013 diperkirakan mencapai 23 persen. Di bagian lain kota itu, angka pengangguran hanya sembilan persen.

Pinggiran kota itu, dan sebagian distrik ke-18 di Paris, di mana Barbes berada, mengalami kerusuhan besar tahun 2005 yang menegaskan kondisi keterasingan atau alienasi.

Menurut sejumlah peneliti, perasaan diperlakukan secara berbeda inilah yang dapat dimanfaatkan ISIS. Orang-orang di pinggiran itu, terutama para pemuda yang hidup tanpa arah,  dibujuk untuk mengikuti gerakan bertujuan sesat.

Disintegrasi

Didier Lapeyronnie, pengajar sosiologi di Universitas La Sorbonne di Paris, mengatakan banyak warga Muslim Perancis "tidak merasa mereka merupakan bagian dari masyarakat nasional".

Bagi sebuah minoritas kecil dari mereka, ekstremisme dapat digunakan untuk membangun sebuah pandangan alternatif.

"Terorisme tidak selalu terkait dengan marginalisasi," kata Lapeyronnie. Namun ia menambahkan, "Di sejumlah daerah ... sebuah penyimpangan budaya (counter-culture), counter-society telah dibuat, dan Islam digunakan untuk membangun sebuah pandangan."

"Ada sebuah kegagalan politik terkait model integrasi... sebuah proses disintegrasi," katanya.

Seorang pakar yang berbasis di Paris, Karim Bitar, mengatakan ISIS mengambil keuntungan penuh dari kondisi tersebut.

Kelompok itu "memiliki strategi ganda yang terasah baik terkait memanfaatkan perasaan teraniaya kaum Sunni di Irak dan Suriah dan sekaligus memanfaatkan rasa keterasingan para pemuda Muslim yang diperlukakan secara berbeda di Eropa," katanya kepada AFP.

Sekitar 1.000 orang pria dan perempuan Perancis telah bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah.

Kelompok itu memiliki "segalanya dengan merekrut para pemuda Perancis. ISIS dapat meningkatkan kemampuan operasionalnya dan mereka secara psikologis mencetak kemenangan dengan mempertajam kontradiksi dalam masyarakat Barat," kata Bitar dari Institute for International and Strategic Affairs.

Demi Petualangan

Orang-orang yang direkrut dari Eropa tidak perlu tahu banyak tentang Islam. Mereka juga tidak harus selalu karena lari dari kenyataan kehidupan.

Dua pelaku serangan di Paris, Brahim dan Salah Abdelslam, mengelola sebuah bar di Belgia yang ditutup karena laporan bahwa para pelanggan merokok ganja di sana.

Orang-orang yang direkrut "sering demi memicu adrenalin, petualangan, kegembiraan dan melarikan diri kepenatan eksistensial mereka," kata Bitar.

Samir di toko musik di Barbes itu setuju dengan hal tersebut.

"Mereka (para militan) merekrut orang-orang dengan catatan kriminal untuk melakukan pekerjaan kotor mereka, menawarkan orang-orang itu perlindungan," kata Samir, seorang penjaga keamanan.

"Sangat menyakitkan bahwa mereka tidak melihat perbedaan antara saya dan para teroris itu."


Credit  KOMPAS.com