Kamis, 26 November 2015

Menilik Sejarah Panjang Konflik Rusia-Turki


Menilik Sejarah Panjang Konflik Rusia-Turki  
Pemerintahan Presiden Vladimir Putin kembali berseteru dengan Turki yang dipimpin Recep Tayyip Erdogan. (Chris McGrath/Getty Images)
 
Jakarta, CB -- Jatuhnya pesawat Rusia oleh Turki pekan ini menjadi babak baru konflik dua negara. Sebelumnya selama berabad-abad lampau, Turki dan Rusia memiliki sejarah panjang konflik bersenjata, atas dasar perebutan wilayah dan agama.

Disebutkan oleh The Independent, dalam riwayatnya, pertikaian dua negara pertama kali muncul di abad ke-16 saat berkuasanya dua kekaisaran besar di masing-masing wilayah.

Di Moskow berdiri kekaisaran Romawi Ketiga, yang menaungi umat Kristen Ortodoks setelah jatuhnya Konstantinopel ke tangan Kekhalifahan Ottoman Turki di tahun 1453. Sementara Ottoman memperluas wilayah hingga ke Timur Tengah dan Balkan yang dihuni oleh masyarakat Ortodoks Slavs yang dilindungi oleh pemerintah Rusia kala itu.


Puncak konflik dua kekaisaran adalah Perang Crimea pada tahun 1853-1856. Turki saat itu bersekutu dengan Inggris dan Perancis melawan Rusia. Perang berakhir tanpa ada pemenang. Tahun 1877-1878, perang dua negara kembali terjadi, kali ini dimenangkan oleh Rusia, menghasilkan kemerdekaan Bulgaria.

Perang Dunia I menghancurkan dua kekaisaran dan menciptakan pemerintahan baru di dua negara. Awalnya, hubungan antara Uni Soviet yang baru terbentuk dengan pemerintahan Turki sekuler yang dipimpin Mustafa Kemal Attaturk sangat baik, ditandai dilepaskannya klaim wilayah timur laut Turki dan daerah menuju Selat Turki, jalur ke Laut Mediterania, oleh Rusia.

Namun hubungan kedua negara kembali memburuk setelah Konvensi Montreux tahun 1936 yang mengatur dikembalikannya Selat Turki dan penguasaan sepenuhnya perairan itu oleh pemerintahan Ankara.

Dalam Perang Dunia II, Turki membuat Rusia yang saat itu digempur Nazi marah. Pasalnya kendati Turki tidak terlibat perang dan bersikap netral, namun mereka mengizinkan kapal perang Jerman melintasi Selat Turki.

Pada tahun 1945 Joseph Stalin meminta kembali Selat Turki dari Attaturk. Pemerintah Barat menentangnya, dan selama 45 tahun Perang Dingin, Turki dan Rusia berseberangan.

Tahun 1952, Turki bergabung dengan NATO, menjadikannya negara anggota kedua yang berbatasan dengan Uni Soviet. Tahun 1962, terjadi krisis rudal Kuba. Saat itu Soviet dikecam karena memiliki rudal balistik di Kuba. Pemerintah John F Kennedy akhirnya sepakat menarik rudal Amerika Serikat dari Turki demi menghindari perang nuklir.

Dengan runtuhnya Uni Soviet, hubungan Rusia dengan Turki membaik. Kedua negara menghasilkan banyak kerja sama di bidang energi dan manufaktur. Nilai perdagangan mereka kini per tahun mencapai US$33 miliar, menjadikan Rusia mitra dagang kedua terbesar Turki setelah Jerman.

Saat ini kedua negara kembali bertikai, memuncak dengan insiden jatuhnya jet Rusia. Pemerintah Kremlin saat ini membantu rezim Bashar al-Assad di Suriah, sementara sebaliknya, Turki menginginkan Assad hengkang demi mengakhiri konflik berdarah.
Credit  CNN Indonesia