Kamis, 23 Agustus 2018

Tolak Akui Kekejaman Militer, Suu Kyi Bela Kebijakan Atas Rohingya


Tolak Akui Kekejaman Militer, Suu Kyi Bela Kebijakan Atas Rohingya
Foto/Ilustrasi/SINDOnews/Ian

SINGAPURA - Pemimpina Myanmar, Aung San Suu Kyi, membela tindakan pemerintahnya di negara bagian Rakhine. Lebih dari 700 ribu Muslim Rohingya melarikan diri dari rumah mereka dan mencari perlindungan di negara tetangga Bangladesh.

Berbicara pada sebuah ceramah di Singapura, Suu Kyi menolak untuk mengakui kekejaman yang dilakukan oleh militer Myanmar. Sebaliknya ia membenarkan kampanye pemerintahnya terhadap komunitas Muslim yang terkepung.

"Kami, yang hidup melalui transisi di Myanmar, melihatnya berbeda dari mereka yang mengamatinya dari luar dan yang akan tetap tak tersentuh oleh hasilnya," katanya, dalam respon yang jelas terhadap kritik tentang bagaimana pemerintahnya menangani penderitaan Rohingya seperti dikutip dari Al Jazeera, Rabu (22/8/2018).

PBB telah menggambarkan kampanye militer Myanmar di Rakhine sebagai pembersihan etnis teks book. Jurnalis dan kelompok hak asasi manusia yang melaporkan dari wilayah itu telah mendokumentasikan perkosaan yang meluas, pembunuhan, dan penghancuran rumah oleh pasukan pemerintah.

Meskipun demikian, penerima Hadiah Nobel Perdamaian itu telah menolak untuk mengutuk aksi kekerasan tersebut. Ia bahkan menolak untuk menyebut nama Rohingya untuk merujuk ke kelompok etnis tersebut.

Myanmar percaya bahwa Rohingya adalah orang Bengali yang bermigrasi ke negara itu secara tidak sah selama pemerintahan Inggris di benua itu. Myanmar menolak klaim bahwa Rohingya berasa dari wilayah itu berabad-abad lalu.

Sejak 2012, insiden intoleransi agama dan hasutan terhadap umat Islam telah meningkat di seluruh negeri, dengan Rohingya sering diserang dan digambarkan sebagai ancaman terhadap ras dan agama.

Dalam kesempatan itu, Suu Kyi juga mengatakan sulit untuk mengatakan kapan Rohingya yang dapat kembali. Ia pun menyalahkan Bangladesh atas keterlambatan itu.

"Sangat sulit bagi kami untuk menetapkan jangka waktu itu sendiri secara sepihak, karena kami harus bekerja dengan Bangladesh untuk melakukan itu".

Pemerintah Myanmar telah menandatangani beberapa perjanjian untuk mempersiapkan kembalinya Rohingya. Namun badan-badan PBB menuduh Myanmar terpaksa melakukan itu dan kelompok-kelompok hak asasi manusia mengkhawatirkan keselamatan warga Rohingya saat kembali.

PBB, yang belum diberikan akses ke Rakhine sejak Agustus 2017, khawatir pengungsi yang kembali tidak akan menjadi kebebasan bergerak jika mereka kembali.

Knut Ostby, seorang pejabat PBB dan koordinator kemanusiaan di Myanmar, mengatakan perjanjian repatriasi telah dilanda penundaan berulang dan pihak berwenang belum mengizinkan mereka mengakses ke wilayah tersebut. 






Credit  sindonews.com