Hukuman mati dilakukan pemerintah Irak
di tengah kecaman sejumlah kelompok HAM yang mengecam perlakuan aparat
terhadap tersangka teroris di penjara. (Thinkstock/allanswart)
Jakarta, CB --
Pengadilan Irak memvonis hukuman gantung bagi 27 pejuang ISIS atas
pembantaian 1,700 pasukan keamanan Perdana Menteri Haider al-Abadi pada
2014 lalu di kamp militer Speicher.
Setidaknya 4,000 hingga 11,000 kadet ditempatkan di pangkalan militer Speicher, dekat Tikrit, saat ISIS menyerbu tempat itu sekitar Juni 2014.
Saat pembantaian, kelompok pimpinan Abu Bakr al-Baghdadi itu mengelompokkan pasukan Irak tersebut berdasarkan golongan Muslim Sunni, Syiah, dan non-Muslim.
Kemudian, ISIS membantai sedikitnya 1,095 tentara non-Muslim dan Muslim Syiah. Sementara itu, jumlah tentara yang belum ditemukan akibat serangan tersebut mencapai 1,700 orang.
Ribuan tentara tersebut dibawa dengan truk ke sejumlah lokasi, termasuk bekas istana Saddam Hussein. Pejuang ISIS memaksa para tentara itu untuk berbaris dan kemudian menembak mati mereka secara bergantian. Sebagian tentara bahkan ada yang dipenggal kepalanya hidup-hidup.
Beberapa jasad dari para tentara itu kemudian dibuang ke Sungai, ada pula yang dikubur pada sejumlah kuburan massal.
Beberapa dari kuburan tersebut telah ditemukan pemerintah saat militer Irak berhasil merebut kembali wilayah-wilayah itu dari genggaman ISIS sekitar 2015 lalu.
Pengadilan Irak juga telah menggantung 36 anggota ISIS di depan publik setelah dinyatakan bersalah untuk kejahatan serupa pada Agustus 2016 lalu.
Sementara itu, sekitar 25 tersangka ISIS lolos dari hukuman gantung dan dibebaskan karena minimnya bukti yang didapat.
Meski begitu, hukuman mati dilakukan pemerintah di tengah kecaman sejumlah kelompok hak asasi manusia. Mereka merasa prihatin atas kemungkinan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat terhadap para tersangka teroris itu.
Lebih dari 5,000 terduga teroris ISIS kini tengah mendekam di penjara Irak.
"Dan banyak dari tahanan-tahanan tersebut terinfeksi penyakit dan masalah kesehatan lainnya karena kondisi penjara yang tak layak. Mayoritas dari tahanan tersebut tidak bisa jalan. Kaki mereka bengkak karena tidak bisa bergerak," tutur seorang sipir penjara dengan identitas anonim kepada The Independent.
Setidaknya 4,000 hingga 11,000 kadet ditempatkan di pangkalan militer Speicher, dekat Tikrit, saat ISIS menyerbu tempat itu sekitar Juni 2014.
Saat pembantaian, kelompok pimpinan Abu Bakr al-Baghdadi itu mengelompokkan pasukan Irak tersebut berdasarkan golongan Muslim Sunni, Syiah, dan non-Muslim.
Kemudian, ISIS membantai sedikitnya 1,095 tentara non-Muslim dan Muslim Syiah. Sementara itu, jumlah tentara yang belum ditemukan akibat serangan tersebut mencapai 1,700 orang.
Ribuan tentara tersebut dibawa dengan truk ke sejumlah lokasi, termasuk bekas istana Saddam Hussein. Pejuang ISIS memaksa para tentara itu untuk berbaris dan kemudian menembak mati mereka secara bergantian. Sebagian tentara bahkan ada yang dipenggal kepalanya hidup-hidup.
Beberapa jasad dari para tentara itu kemudian dibuang ke Sungai, ada pula yang dikubur pada sejumlah kuburan massal.
Beberapa dari kuburan tersebut telah ditemukan pemerintah saat militer Irak berhasil merebut kembali wilayah-wilayah itu dari genggaman ISIS sekitar 2015 lalu.
Pengadilan Irak juga telah menggantung 36 anggota ISIS di depan publik setelah dinyatakan bersalah untuk kejahatan serupa pada Agustus 2016 lalu.
Sementara itu, sekitar 25 tersangka ISIS lolos dari hukuman gantung dan dibebaskan karena minimnya bukti yang didapat.
Meski begitu, hukuman mati dilakukan pemerintah di tengah kecaman sejumlah kelompok hak asasi manusia. Mereka merasa prihatin atas kemungkinan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat terhadap para tersangka teroris itu.
Lebih dari 5,000 terduga teroris ISIS kini tengah mendekam di penjara Irak.
"Dan banyak dari tahanan-tahanan tersebut terinfeksi penyakit dan masalah kesehatan lainnya karena kondisi penjara yang tak layak. Mayoritas dari tahanan tersebut tidak bisa jalan. Kaki mereka bengkak karena tidak bisa bergerak," tutur seorang sipir penjara dengan identitas anonim kepada The Independent.
Credit cnnindonesia.com