Senin, 03 Oktober 2016

Warga Kolombia Tolak Perjanjian Damai dengan FARC

 Presiden Kolombi Juan Manuel Santos (depan kiri) dan pemimpin FARC Rodrigo Londono usai menandatangani perjanjian damai di Cartagena, Kolombia yang mengakhiri perang 50 tahun, Senin, 26 September 2016.
Presiden Kolombi Juan Manuel Santos (depan kiri) dan pemimpin FARC Rodrigo Londono usai menandatangani perjanjian damai di Cartagena, Kolombia yang mengakhiri perang 50 tahun, Senin, 26 September 2016.
 
 
 CB, CARTAGENA -- Warga Kolombia menolak perjanjian damai dengan kelompok oposisi Farc. Ini terlihat dengan hasil referendum yang menunjukkan 50,24 persen warga Kolombia menolak perjanjian damai antara Pemerintah Kolombia dengan FARC.
Sementara hanya 49,8 persen warga yang mendukung perjanjian damai dengan FARC tersebut. Penolakan itu membuat perjanjian damai antara Pemerintah Kolombia dengan FARC menjadi tak jelas.

Perjanjian damai tersebut ditandatangani Presiden Kolombia Juan Manuel Santos dan Pemimpin FARC, Timoleon Jimenez setelah beberapa tahun negosiasi. Perjanjian damai ini harus diratifikasi dan dijadikan hukum di Kolombia.

Kelompok FARC setuju menurunkan senjatanya setelah 52 tahun memberontak. Mereka sepakat dengan perjanjian damai karena akan menjadi partai politik dan ikut dalam kancah perpolitikan di Kolombia.

Seperti dilansir BBC, Senin (3/10), Presiden Kolombia Juan Manuel Santos memperingatkan tak ada rencana B untuk mengakhiri konflik yang telah membunuh 260 ribu orang tersebut. Pekan lalu, Presiden Santos, para pemimpin dunia, dan Komandan FARC merayakan berakhirnya konflik antara Pemerintah Kolombia dan FARC yang merupakan salah satu konflik bersenjata terpanjang di kota bersejarah Cartagena.

Namun saat ini Presiden Santos mengalami masa-masa sulit yang terjadi di Kolombia. Jika ia tetap pada pernyataannya tak ada rencana B. Kemudian suatu ketika gencatan senjata dihentikan, maka perang dengan FARC akan terjadi lagi.

Mantan Presiden Kolombia Alvaro Uribe menyatakan, Pemerintah Kolombia saat ini memperlakukan FARC dengan terlalu lunak. "Jika tak ada pemilih yang menang maka pemerintah harus kembali ke meja negosiasi," katanya.



Credit  REPUBLIKA.CO.ID



Warga Kolombia: FARC Seharusnya Masuk Penjara, Bukan Jadi Partai

FARC
FARC
 
CB., CARTAGENA-- Warga Kolombia menolak perjanjian damai pemerintha dengan kelompok pemberontak FARC. Ini terlihat dengan hasil referendum yang menunjukkan 50,24 persen warga Kolombia tak setuju perjanjian itu.
Perjanjian damai tersebut ditandatangani oleh Presiden Kolombia Juan Manuel Santos dan Pemimpin FARC, Timoleon Jimenez setelah beberapa tahun negosiasi. Perjanjian damai ini harus diratifikasi dan dijadikan hukum di Kolombia.

Kelompok pemberontak FARC setuju untuk menurunkan senjatanya setelah 52 tahun memberontak. Mereka sepakat dengan perjanjian damai karena akan menjadi partai politik dan ikut dalam kancah perpolitikan di Kolombia.
Seorang pemilih, Alejandro Jaramillo mengatakan, ia memilih tak berdamai dengan kelompok pemberontak FARC. "Saya ingin mengajarkan kepada anak-anak saya bahwa tak semua hal bisa dimaafkan, seharusnya pemberontak itu masuk penjara bukan jadi partai," katanya, Ahad, (2/10).

Seorang Profesor filsafat Adriana River (43 tahun) mengatakan, sangat menyedihkan Pemerintah Kolombia melupakan kejahatan perang yang dilakukan FARC.
"Pemerintah melupakan kematian saudara kami, kesakitan, kepedihan korban mutilasi yang dilakukan Farc, kita semua menderita akibat perbuatan mereka namun kita diminta berdamai, itu menyakitkan," katanya sambil menangis.

Pihak-pihak yang tak setuju dengan perjanjian damai tersebut menilai Pemerintah Kolombia terlalu lunak terhadap FARC.
Seperti dilansir BBC, sebelumnya Presiden Kolombia Juan Manuel Santos diperingatkan tak ada rencana B untuk mengakhiri konflik yang telah membunuh 260 ribu orang tersebut.

Sementara itu, Mantan Presiden Kolombia Alvaro Uribe menyatakan, Pemerintah Kolombia saat ini memperlakukan FARC dengan terlalu lunak. "Jika tak ada pemilih yang menang maka pemerintah harus kembali ke meja negosiasi.
 .
Jumlah anggota kelompok pemberontak Farc saat ini tinggal separuhnya yakni 7.000 orang. Mereka setuju untuk menurunkan senjatanya dan memilih bertarung melalui kotak suara.




Credit  REPUBLIKA.CO.ID


Warga Kolombia: Pemberontak Seharusnya Masuk Penjara

FARC
FARC
 
CB, BOGOTA -- Seorang pemilih, warga Kolombia Alejandro Jaramillo mengatakan ia memilih tak berdamai dengan kelompok pemberontak FARC.
"Saya ingin mengajarkan kepada anak-anak saya tak semua hal bisa dimaafkan, seharusnya pemberontak itu masuk penjara bukan jadi partai," katanya.

Seorang profesor filsafat Adriana River (43 tahun) mengatakan, sangat menyedihkan Pemerintah Kolombia melupakan kejahatan perang yang dilakukan FARC. "Pemerintah melupakan kematian saudara kami, kesakitan, kepedihan korban mutilasi yang dilakukan FARC, kita semua menderita akibat perbuatan mereka namun kita diminta berdamai, itu menyakitkan," katanya sambil menangis.
 

Pihak-pihak yang tak setuju dengan perjanjian damai tersebut menilai Pemerintah Kolombia terlalu lunak terhadap FARC. Ini terlihat dengan membolehkan FARC masuk kembali ke dalam masyarakat, membuat partai politik dan tak masuk penjara.

Jumlah anggota kelompok pemberontak FARC saat ini tinggal separuhnya yakni 7.000 orang. Mereka setuju menurunkan senjatanya dan memilih bertarung melalui kotak suara.

Melalui perjanjian damai pekan lalu FARC yang melakukan pemberontakan pada 1964 akan diperbolehkan ikut pemilihan umum untuk memenangkan kursi kepresidenan pada 2018 mendatang. FARC juga akan mendapatkan 10 kursi di kongres Kolombia pada 2026 tanpa pemilihan.

FARC juga akan berhenti melakukan perdagangan obat-obatan. Selain itu juga akan ikut memperbaiki kondisi di daerah pedesaan di Kolombia.

Selama ini FARC melakukan kejahatan antara lain menjual obat-obatan terlarang, melakukan penculikan dan penyiksaan, menyebarkan teror. Konflik dengan FARC menyebabkan kematian 220 ribu warga Kolombia dan mengusir jutaan orang.



Credit  REPUBLIKA.CO.ID