Petugas melakukan sosialisasi Jaminan Kesehatan
Nasional di RS Fatmawati, Jakarta (01/01). Mulai 1 Januari 2014,
pemerintah meluncurkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), JKN
merupakan program jaminan kesehatan yang akan diterapkan secara nasional
dan ditangani oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
TEMPO/Dasril Roszandi
CB, Jakarta - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan keputusan bersama hasil ijtima
soal sistem Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). MUI menilai
sistem premi hingga pengelolaan dana peserta BPJS Kesehatan tak sesuai
fikih.
"MUI berkesimpulan BPJS saat ini tak sesuai syariah karena diduga kuat mengandung gharar atau ketidakjelasan akad, yang memicu potensi mayesir, dan melahirkan riba," kata Wakil Ketua Dewan Pengurus Harian Dewan Syariah Nasional MUI Jaih Mubarok kepada Tempo melalui telepon, Rabu, 29 Juli 2015.
Menurut Jaih, keputusan ini lahir sebulan lalu dalam ijtima
ulama Komisi Fatwa MUI di Tegal. Acara itu melahirkan beberapa
keputusan dan fatwa baru di berbagai bidang, salah satunya soal BPJS
Kesehatan. Jaih turut hadir dalam pembahasan di ijtima.
Menurut Jaih, tiga alasan yang mendorong keluarnya keputusan tersebut
antara lain ketidakjelasan status iuran atau premi BPJS. "Kedudukan
akadnya atau iuran itu apa? Apa bahasa hukumnya? Apakah termasuk hibah?"
kata Jaih.
Sebab, kata Jaih, dalam prinsip syariah harus diatur bagaimana status,
kejelasan bentuk, dan jumlah akad atau iuran. Jika tidak, maka BPJS
telah melakukan gharar atau penipuan.
Kedua, menurut
Jaih, iuran yang disetorkan para peserta tak jelas kedudukannya.
"Setelah disetorkan, apakah itu milik negara, BPJS, atau peserta?" kata
dia.
Selanjutnya: prinsip asuransi syariah
Menurut Jaih, dalam prinsip asuransi syariah--untuk
menggambarkan kondisi iuran BPJS--iuran adalah hibah kelompok peserta
asuransi. Maka, perusahaan asuransi atau BPJS seharusnya berlaku sebagai
wakil kolektif. Ketika risiko terjadi, maka perwakilan akan menjadi
perpanjangan tangan dari peserta kolektif ke individu.
Berikutnya,
MUI mempertanyakan investasi iuran peserta yang dikelola BPJS. MUI
khawatir BPJS mengelola iuran tersebut dengan deposito, saham, dan cara
lain di bank non-syariah. "Ke sektor yang halal tidak? Potensi riba bisa
terjadi kalau ternyata didepositokan ke bank yang memberi bunga," kata
Jaih.
MUI mengetok palu keputusan ini menjadi fatwa karena
mereka belum mendiskusikan kembali dengan BPJS dan pemerintah. Tim Dewan
Syariah Nasional MUI mendorong pemerintah segera memperbaiki
penyelenggaraan BPJS Kesehatan sesuai syariah.
Credit
TEMPO.CO
Fatwa Haram, Dirut BPJS Akan Temui MUI
Petugas melayani warga di Kantor Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Sulsel, 1 Juli 2015.
BPJS akhirnya secara resmi beroperasi penuh mulai 1 Juli 2015, yang
ditandai dengan tambahan program Jaminan Pensiun. TEMPO/Hariandi Hafid
CB, Jakarta - Direktur Utama
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Fahmi Idris akan melakukan
audiensi dengan Majelis Ulama Indonesia terkait dengan isu haramnya
BPJS. Menurut dia, audiensi bersama MUI ini dihadiri pula oleh Dewan
Jaminan Sosial Nasional.
"Informasi yang ada di media masih
simpang-siur. Karena itu, kami akan lakukan audiensi dengan MUI terlebih
dahulu," kata Fahmi melalui keterangan tertulis, Kamis, 30 Juli 2015.
Menurut Fahmi, MUI belum mengeluarkan fatwa haram, yang ada adalah
rekomendasi hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa yang dikeluarkan beberapa
hari lalu. "Sifatnya terkait dengan panduan jaminan kesehatan nasional
dan BPJS Kesehatan," ucap Fahmi.
Isi rekomendasi Ijtima Ulama, menurut yang dipahami BPJS, ada dua.
Pertama, agar pemerintah membuat standar minimum atau taraf hidup layak
dalam kerangka jaminan kesehatan yang berlaku bagi setiap penduduk tanpa
melihat latar belakangnya.
Kedua, agar pemerintah membentuk
aturan, sistem, dan format modus operandi BPJS Kesehatan supaya sesuai
dengan prinsip syariah. "Secara tekstual, belum ada fatwa haram itu,"
ujar Fahmi.
Sebelumnya, MUI mengeluarkan keputusan bersama
hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V di Tegal, Jawa Tengah,
beberapa hari lalu. MUI menilai sistem premi dan pengelolaan dana
peserta BPJS Kesehatan tak sesuai dengan fikih.
"MUI berkesimpulan, BPJS saat ini tak sesuai dengan syariah karena diduga kuat mengandung
gharar atau ketidakjelasan akad, yang memicu potensi
mayesir, dan melahirkan riba," tutur Wakil Ketua Dewan Pengurus Harian Dewan Syariah Nasional MUI Jaih Mubarok kepada
Tempo.
Dalam prinsip syariah, kata Jaih, segala dana dalam BPJS harus diatur
bagaimana status, kejelasan bentuk, dan jumlah akad atau iuran. Jika
tidak, BPJS telah melakukan
gharar atau penipuan.
Credit TEMPO.CO
MUI Anggap BPJS Haram, JK: Apanya yang Haram?
Mantan Wapres Jusuf Kalla (kiri) bersama Ibu
Mufidah (kanan) menunjukan kertas suara ketika mengikuti Pilkada DKI
Jakarta di sekitar kediamannya, Jl Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Rabu
(11/7). ANTARA/Saptono
CB,
Jakarta - Wakil Presiden
Jusuf Kalla mengatakan masih akan menyelidiki lebih lanjut soal fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan penyelenggaraan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tak sesuai dengan prinsip
syariah. Jusuf Kalla mengaku belum membaca secara keseluruhan soal fatwa
tersebut.
"Saya memang belum baca, tapi yang dimaksud halal itu jelas, agama
Islam itu sederhana. Selama tidak haram ya halal," kata Kalla, di kantor
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Rabu, 29 Juli 2015.
"Pertanyaannya apanya yang haram. Itu masih kami kaji."
MUI
menyatakan penyelenggaraan BPJS Kesehatan tak sesuai dengan prinsip
syariah. Pemerintah diminta untuk membenahi pelaksanaan BPJS Kesehatan
ini agar lebih syariah.
Fatwa itu diputus pada sidang pleno
Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V tahun 2015 yang berlangsung di
Pesantren At-Tauhidiyah pada 7-10 Juni lalu. Putusan dikeluarkan pada 9
Juni.
Dalam keputusan tersebut, Islam bertujuan untuk
merealisasikan jaminan yang bersifat umum dan mencakup semua umat Islam.
Dengan demikian, masyarakat dapat hidup dalam keadaan aman, damai, dan
saling menolong. Sejumlah hadis yang dilampirkan juga menyatakan hal
serupa.
MUI juga merujuk pada
ijma ulama,
dalil aqli, AAOIFI Tahun 2010 Nomor 26 tentang Al-Ta'min Al-Islamy;
Fatwa DSN MUI Nomor 21 tentang pedoman asuransi syariah; Fatwa DSN-MUI
Nomor 52 tentang akad
wakalah bil ujrah pada asuransi syariah dan reasuransi syariah; dan Fatwa DSN-MUI Nomor 43 tentang ganti rugi (
ta'widh).
Semuanya merujuk pada asuransi yang adil merata untuk semua penduduk
tanpa pengecualian. Asuransi juga harus menjamin hal-hal pokok, seperti
sandang, pangan, papan, pendidikan, sarana kesehatan, dan pengobatan
agar terpenuhi.
Credit TEMPO.CO
Fatwa Haram, MUI Dorong Pemerintah Bentuk BPJS Syariah
Wakil Ketua MUI Pusat, Ma`ruf Amin (tengah),
memberikan keterangan kepada awak media, di Gedung Majelis Ulama
Indonesia, Jakarta, 13 November 2014. MUI secara tegas menyatakan
menolak wacana penghapusan kolom agama ataupun penambahan agama.
TEMPO/Imam Sukamto
CB, Jakarta
- Wakil Ketua Dewan Pengurus Harian Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia Jaih Mubarok meminta pemerintah segera membahas putusan
MUI terkait sistem Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang tak
sesuai syariah. Musababnya, banyak masyarakat yang membutuhkan solusi
syariah untuk BPJS.
"Pemerintah
punya kewajiban melayani masyarakat yang menginginkan terjaminnya sistem
syariah di BPJS. Jadi ulama, BPJS, dan pemerintah perlu duduk bersama,"
kata Jaih saat dihubungi Tempo, Rabu, 29 Juli 2015.
Sama
seperti terbentuknya bank syariah, Jaih meminta pemerintah membentuk
BPJS syariah yang bebas dari penipuan dan riba. Menurut dia, lahirnya
keputusan BPJS dianggap haram atau tak sesuai syariah karena MUI menduga
pengelolaan iuran atau akad BPJS tidak jelas dan berpotensi riba karena
dikelola bank konvensional.
"Pengelolaannya
harus pakai parameter syariah. Misal pasar modal dan saham yang
terdaftar di syariah," kata Jaih. "Keadaan darurat ini harus
diselesaikan. Tidak bisa terus-menerus seperti ini."
Pekan
lalu MUI mengeluarkan fatwa bahwa sistem premi hingga pengelolaan dana
peserta BPJS Kesehatan tak sesuai fikih atau haram. Keputusan ini lahir
sebulan lalu dalam ijtima ulama Komisi Fatwa MUI di Tegal.
Tiga
alasan yang mendorong keluarnya keputusan tersebut antara lain
ketidakjelasan status iuran atau premi BPJS. "Kedudukan akadnya atau
iuran itu apa? Apa bahasa hukumnya? Apakah termasuk hibah?" kata Jaih.
Sebab, kata dia, dalam prinsip syariah harus diatur bagaimana status,
kejelasan bentuk, dan jumlah akad atau iuran. Jika tidak, maka BPJS
telah melakukan gharar atau penipuan.
Kedua,
Jaih mengatakan iuran yang disetorkan para peserta tak jelas
kedudukannya. "Setelah disetorkan, apakah itu milik negara, BPJS, atau
peserta?" kata dia.
Menurut
dia, dalam prinsip asuransi syariah--untuk menggambarkan kondisi iuran
BPJS-- iuran adalah hibah kelompok peserta asuransi. Maka perusahaan
asuransi atau BPJS seharusnya berlaku sebagai wakil kolektif. Ketika
risiko terjadi, maka perwakilan akan menjadi perpanjangan tangan dari
peserta kolektif ke individu.
Berikutnya,
MUI mempertanyakan investasi iuran peserta yang dikelola BPJS. MUI
khawatir BPJS mengelola iuran tersebut dengan deposito, saham, dan cara
lain di bank non-syariah. "Ke sektor yang halal tidak? Potensi riba bisa
terjadi kalau ternyata didepositokan ke bank yang memberi bunga," kata
Jaih.
Credit TEMPO.CO