SIDI BOUZEID – Faida Hamdy tak mengira bahwa
perbuatannya menyita sebuah kios sayur lima tahun lalu di Tunisia,
berujung pada perubahan drastis di dunia Arab. Ya, pada lima tahun lalu
itulah, peristiwa “Arab Spring” pecah dan menjalar ke Mesir, Libya,
hingga Suriah dan Irak saat ini.
Gelombang pemberontakan terjadi di mana-mana sejak 18 Desember 2010 silam. Masing-masing penguasa di Tunisia, Mesir, hingga Libya digulingkan dengan revolusi.
Semua itu hanya gara-gara Faida yang kala itu seorang pejabat kelas menengah, menyita sebuah kios sayur di sebuah jalan berdebu di bagian tengah Tunisia.
Sang pemilik yang belakangan diketahui seorang pemuda bernama Mohammed Bouazizi, meluapkan protes keras dan rasa frustrasinya dengan cara yang ekstrem – membakar tubuhnya sendiri.
Gelombang pemberontakan terjadi di mana-mana sejak 18 Desember 2010 silam. Masing-masing penguasa di Tunisia, Mesir, hingga Libya digulingkan dengan revolusi.
Semua itu hanya gara-gara Faida yang kala itu seorang pejabat kelas menengah, menyita sebuah kios sayur di sebuah jalan berdebu di bagian tengah Tunisia.
Sang pemilik yang belakangan diketahui seorang pemuda bernama Mohammed Bouazizi, meluapkan protes keras dan rasa frustrasinya dengan cara yang ekstrem – membakar tubuhnya sendiri.
Lantas di kemudian hari, lusinan pemuda Arab turut meniru aksi
ekstremnya, hingga berujung pada gelombang unjuk rasa yang menuntut
diturunkannya Presiden Tunisia saat itu, Zine el-Abidin Ben Ali.
Gelombang revolusi itu menjalar ke Mesir yang memaksa Presiden Hosni Mubarak digulingkan. Begitu pun diktator Libya, Muammar Gaddafi, sampai Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh turut “kena batunya”.
Gelombang revolusi itu juga menjalar ke Bahrain, Kuwait, Lebanon, Oman, Maroko dan Yordania, serta Suriah yang hingga kini, menjadi zona panas atas lahirnya konflik pemberontakan yang turut “direcoki” hadirnya organisasi teroris ISIS.
“Kadang saya berharap, saya tak pernah melakukannya. Saya merasa bertanggung jawab atas semua (yang terjadi di dunia Arab). Kadang saya menyalahkan diri sendiri dan mengatakan semua ini terjadi karena saya,” beber Faida, seperti disitat The Telegraph, Jumat (18/12/2015).
“Saya menciptakan sejarah dan aksi saya berkontribusi terhadap sejarah itu sendiri dan sekarang, lihatlah kondisi kami (dunia Arab) sekarang. Bouazizi dan saya sama-sama korban. Dia kehilangan nyawanya dan hidup saya tak seperti dulu lagi. Ketika saya melihat kawasan Arab dan negara saya, saya menyesali semuanya. Kematian ada di mana-mana dan ekstremisme berkembang,” tandasnya.
Gelombang revolusi itu menjalar ke Mesir yang memaksa Presiden Hosni Mubarak digulingkan. Begitu pun diktator Libya, Muammar Gaddafi, sampai Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh turut “kena batunya”.
Gelombang revolusi itu juga menjalar ke Bahrain, Kuwait, Lebanon, Oman, Maroko dan Yordania, serta Suriah yang hingga kini, menjadi zona panas atas lahirnya konflik pemberontakan yang turut “direcoki” hadirnya organisasi teroris ISIS.
“Kadang saya berharap, saya tak pernah melakukannya. Saya merasa bertanggung jawab atas semua (yang terjadi di dunia Arab). Kadang saya menyalahkan diri sendiri dan mengatakan semua ini terjadi karena saya,” beber Faida, seperti disitat The Telegraph, Jumat (18/12/2015).
“Saya menciptakan sejarah dan aksi saya berkontribusi terhadap sejarah itu sendiri dan sekarang, lihatlah kondisi kami (dunia Arab) sekarang. Bouazizi dan saya sama-sama korban. Dia kehilangan nyawanya dan hidup saya tak seperti dulu lagi. Ketika saya melihat kawasan Arab dan negara saya, saya menyesali semuanya. Kematian ada di mana-mana dan ekstremisme berkembang,” tandasnya.
Credit Okezone