Jumat, 17 April 2015

Software Kecerdasan Buatan Disamakan dengan Nuklir


Software Kecerdasan Buatan Disamakan dengan Nuklir  
Ilustrasi tanda peringatan radioaktif dari inti atom. (Thinkstock/Stockbyte)
 
 
Jakarta, CB -- Ada banyak peranti lunak atau software kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang telah dikembangkan, mulai dari aplikasi perintah suara hingga fitur pengenalan wajah. Namun manusia diharap lebih berhati-hati dalam mengembangkan kecerdasan buatan, karena beberapa pihak menyamakannya dengan teknologi nuklir.

Ketika nuklir dikembangkan oleh para ilmuwan, tujuan utamanya kala itu adalah mendapatkan akses ke energi yang hampir tak terbatas yang tersimpan di dalam atom.

“Kita benar-benar ingin melakukannya dengan benar untuk pertama kali, karena mungkin ini satu-satunya kesempatan yang kita miliki,” kata Max Tegmark, seorang fisikawan di Massachusetts Institute of Technology, dalam acara bincang-bincang radio Science Friday pada 10 April lalu, dan dikutip oleh Live Science.


Para ilmuwan berpendapat kecerdasan buatan merupakan potensi mencapai hidup yang lebih baik di tengah masyarakat. Menurut direktur pelaksanan laboratorium Microsoft Reseacrh di Seattle, Eric Horvitz, teknologi ini bisa dimanfaatkan untuk menyelamatkan ribuan nyawa dengan mencegah kecelakaan mobil atau menghindari kesalahan dalam dunia kedokteran.

Tetapi ia mengakui, ada kemungkinan kelewat batas di mana manusia berupaya membuat program komputer yang mampu terus meningkatkan diri dan manusia akan kehilangan kontrol atas hal itu.

Ilmuwan komputer Stuart Russel dari University of California, Berkeley, berpendapat bahwa dalam waktu yang lama masyarakat telah percaya membuat hal-hal yang cerdas akan membuat hidup lebih baik.


Tetapi ada kekhawatiran membuat mesin yang sangat cerdas itu sebenarnya tidak selaras dengan tujuan umat manusia. Ketika sudah mencapai tahap ini, mesin cerdas sulit berubah menjadi apa yang diinginkan masyarakat.

Ia mencontohkan tenaga nuklir yang sebelumnya dikembangkan untuk energi, tetapi dikesampingkan tujuan utama dan akhirnya membuat bom atom. “Sayangnya, hal pertama yang kita lakukan adalah membuat sebuah bom atom," kata Russell.

Berangkat dari hal itu manusia akhirnya sadar harus ada pembatasan dalam mengembangkan sesuatu. Hari ini, menurut Russel, 99 persen dari penelitian fusi adalah tentang aksi menjaga sesuatu yang berbahaya agar selalu di bawah kontrol atau dalam batasan.

“Kecerdasan buatan akan pergi dengan cara yang sama,” tegas Russel.

Para pemikir teknologi dan sains seperti Bill Gates, Stephen Hawking, dan Elon Musk, telah memperingatkan kecerdasan buatan akan menjadi salah satu ancaman terbesar untuk manusia jika dikembangkan di luar batas.

Para ilmuwan ini telah menyadari hal itu. Tegmark mengatakan pengembangan kecerdasan buatan adalah “perlombaan antara pertumbuhan kekuatan teknologi dan pertumbuhan kebijaksanaan manusia” dalam menangani teknologi itu sendiri.


Dalam sebuah konferensi di Puerto Rico, Januari lalu, yang diselenggarakan oleh organisasi nirlaba Future of Life Institute (FLI), para pemikir dan pemimpin industri kecerdasan buatan sepakat membuat pernyataan bersama bahwa sudah saatnya mendefinisikan tujuan pembuatan mesin yang cerdas.

FLI, yang didirikan oleh Tegmark, merupakan lembaga sosial yang menjalankan program penelitian global dengan tujuan menjaga kecerdasan buatan agar tetap bermanfaat bagi manusia. Lembaga ini bertindak sebagai pengawas dalam penelitian pengembangan kecerdasan buatan yang dilakukan setiap perusahaan di dunia.

Setelah konferensi Januari lalu, ratusan ilmuwan, termasuk Tegmark dan Musk menandatangani surat terbuka yang menggambarkan potensi manfaat kecerdasan buatan sekaligus memperingatkan bahayanya.

Credit  CNN Indonesia