Portal Berita Tentang Sains, Teknologi, Seni, Sosial, Budaya, Hankam dan Hal Menarik Lainnya
Senin, 19 September 2016
Kala Letusan Dahsyat Tambora Disangka Meriam Nyi Roro Kidul
Gunung
Tambora pernah meletus luar biasa pada abad 19 sehingga atmosfer bumi
tidak tertembus cahaya matahari. (Sumber earthscope.org)
CB, Jakarta - Hari itu, 5 April 1815, suara ledakan terdengar keras. Asalnya dari letusan pertama Gunung Tambora yang memuntahkan lava dan awan abu dengan ketinggian lebih dari 30 meter.
Gubernur
Jenderal Hindia Belanda, Thomas Stamfford Raffles kala itu berada di
Batavia, 1.287 kilometer jauhnya dari Tambora. Ia mengira suara itu
berasal dari ledakan meriam.
Dan, bukan dia seorang yang salah sangka.
Sementara itu di
Yogyakarta, komandan pasukan Inggris langsung mengerahkan pasukan. Ia
mengira pihak lawan -- Belanda atau Prancis -- sedang melancarkan
serangan.
Para pejabat yang berada di wilayah pesisir menduga,
itu adalah sinyal dari kapal yang menemui masalah di tengah laut. Mereka
pun memberangkatkan kapal penyelamat untuk mencari korban selamat.
Di
Makasar, komandan kapal British East India Company, Benares juga
melaporkan keberadaan tembakan meriam yang kian mendekat -- yang mungkin
berasal dari para perompak.
Kecurigaan melanda hati Raffles
yang juga seorang ilmuwan, saat suara ledakan dari arah tenggara
terus-menerus terjadi hingga pagi berikutnya. Sesaat setelah fajar,
hujan abu melanda, menandakan sebuah gunung -- entah di mana berada -- sedang meletus.
Letusan Gunung Tambora (Public Domain)
Bapak pendiri Singapura modern itu sama sekali tak mengira
Tambora jadi 'biang keladinya'. Gunung yang sebelumnya tidur panjang
selama 1.000 tahun itu sudah lama diyakini mati.
"Suara itu sepertinya sangat dekat...secara umum dikira letusan Merapi, Kelud, atau Bromo," tulis Raffles dalam memoarnya History of Java, seperti dikutip dari situs Scientific American.
Awan
abu menyelubungi Jawa, cahaya Matahari memudar, udara panas dan lembab
terasa mencekik, segala sesuatu terlihat tak alami. Namun, beberapa hari
kemudian, letusan mereda, abu vulkanik juga tak sepekat sebelumnya.
Ternyata, itu baru permulaan. Lima hari kemudian, pada 10 April 1815,
malapetaka terjadi. Tambora meletus dahsyat. Kekuatannya mencapai
level 7 Volcanic Explosivity Index (VEI).
Kekuatannya jadi yang
terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah. Empat kali lipat dari amuk
Krakatau pada 1883, dan 10 kali lipat dari erupsi Gunung Pinatubo di
Filipina pada 1991.
Erupsi diiringi halilintar
sambung-menyambung, bunyinya menggelegar bagaikan ledakan bom atom,
terdengar hingga ratusan kilometer. Langit gelap. Batu dan abu turun
deras dari langit, mengubur apapun yang ada di bawahnya.
"Sekitar
pukul 19.00 malam tiga bola api besar keluar dari Gunung Tombora.
Kemudian tiga bola api itu bergabung di udara dalam satu ledakan
dahsyat," demikian keterangan Raja Sanggar pada Letnan Owen Philips yang
diutus Raffles, seperti dikutip dari BBC.
Suara
dentuman yang dihasilkan jauh lebih keras dari sebelumnya. Awak kapal
Benares mengungkapkan, bunyinya mirip tiga atau empat meriam ditembakkan
sekaligus. "Saking kuatnya, kapal sampai terguncang." Setelah itu hujan
abu datang dan kegelapan melanda.
Nyi Roro Kidul atau Tarung Para Jin
Di Sumatera, pemimpin lokal yang mendengar suara ledakan keras pada
11 April 1815 cepat-cepat menuju Fort Marlborough, pemukiman Inggris di
Bengkulu. Mereka mengira, konflik sedang pecah.
Pun dengan
pemimpin lainnya lain di Sumatera dan sekitarnya. Setelah menerima
informasi bahwa tak ada serangan yang terjadi, mereka mengaitkannya
dengan kejadian supranatural.
"Para tetua menyimpulkan itu adalah adu kuat para jin, demikian dilaporkan pejabat di Fort Marlborough.
Ratu
Pantai Selatan yakni Nyi Roro Kidul merupakan sosok dewi legendaris
Indonesia yang begitu terkenal dengan berbagai mitos-mitosnya yang
Sementara itu di Gresik, Jawa Timur, penduduk setempat
sepakat bahwa suara itu adalah 'meriam supranatural' penguasa laut
selatan, Nyi Roro Kidul yang ditembakkan untuk merayakan pernikahan
salah satu anaknya.
"Dan abu adalah ampasnya," demikian dikutip dari buku The Year Without Summer: 1816 and the Volcano That Darkened the World and Changed History Paperback karya William K. Klingaman.
Tsunami
pertama mencapai Jawa Timur sekitar tengah malam pada 10-11 April.
Tremor melanda wilayah tengah, 18 jam setelah letusan.
Yang paling menderita dari letusan Tambora adalah para manusia.
Vulkanolog dari Cambridge University, Clive Oppenheimer dalam bukunya Eruptions that Shook the World
memperkirakan, 60.000-120.000 nyawa terenggut, baik secara langsung --
oleh awan panas, tsunami -- maupun tak langsung, akibat kelaparan dan
wabah penyakit yang berjangkit berbulan-bulan kemudian.
Kabar pertama meletusnya Tambora mencapai Inggris pada November 1815. Media The Times
mempublikasikan secarik surat dari seorang pedagang di Hindia Belanda.
"Kita baru mengalami letusan paling luar biasa yang mungkin belum pernah
terjadi di manapun di muka Bumi," tulis dia, seperti dimuat situs
sains, NewScientist.
Lautan sejauh mata memandang
dipenuhi batang pohon, batu yang mengapung, juga jasad manusia gembung,
yang menghalangi laju kapal.
Dua hari setelah letusan dahsyat,
Sumbawa gelap gulita. "Tanaman padi sama sekali rusak, tak ada yang
tersisa. Manusia dalam jumlah besar tewas seketika, lainnya
meregangnyawa setiap harinya." Dampak Global
Erupsi Tambora juga berdampak global. Abu dan panas sulfur dioksida
menyembur melubangi atmosfer, suhu rata-rata global merosot 2 derajat
Celcius atau sekitar 3 derajat Fahrenheit.
Di belahan dunia lain,
efek Tambora juga merenggut ribuan nyawa. Bukan karena letusannya,
melainkan akibat epidemi tifus dan kelaparan merata di wilayah Eropa.
Rusuh tak terelakkan, rumah-rumah dan toko dibakar dan dijarah.
Badai salju melanda New England Juli tahun itu, panen gagal. Eropa pun mengalami kondisi yang sama parahnya.
Letusan Gunung Tambora (Public Domain) Demikian pula di Yunan, Daratan Tiongkok, orang-orang terpaksa
memakan tanah liat, karena cuaca yang buruk menggagalkan panen padi.
Penyair
Li Yuyang dalam puisinya mengisahkan tentang rumah-rumah yang tersapu
banjir. Para orangtua terpaksa menjual anak-anak mereka, ditukar dengan
sekantung gandum. Suami menyaksikan istri dan buah hatinya mati perlahan
akibat kelaparan.
Tambora bahkan mengubah peta sejarah, 18 Juni
1815, cuaca buruk yang diakibatkan Tambora konon ikut membuat Napoleon
Bonaparte kalah perang di Waterloo. Hari terpedih dalam sejarah
gilang-gemilang Sang Kaisar Prancis.