MANILA
- Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengatakan bahwa dia akan
mengunjungi Rusia dan China tahun ini dan ingin menjalin “aliansi
terbuka” dengan kedua negara itu. Keinginan Duterte ini jadi kejutan,
mengingat Rusia saat ini jadi “musuh” utama Amerika Serikat (AS).
Filipina sudah lama jadi sekutu AS, di mana pasukan militer AS sudah lama ditempatkan di wilayah Filipina.
Pekan lalu, Duterte menyatakan, dia akan mengunjungi China—negara yang bersengketa dengan Filipina atas klaim wilayah Laut China Selatan. Kali ini, Duterte mengatakan bahwa Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev sudah mengharapkan dia berkunjung ke Moskow.
”Saya siap untuk tidak benar-benar break soal hubungan (dengan AS), tapi kami akan membuka aliansi dengan Cina dan ... Medvedev,” kata Duterte kepada wartawan, seperti dikutip Reuters, Selasa (27/9/2016).
Presiden Filipina ini menyambut investasi dan mengabaikan kekhawatiran lembaga pemeringkat Standard and Poor yang pada pekan lalu menyatakan kondisi ekonomi Filipina yang mulai goyah.
”Sudahlah tentang peringkat," katanya. "Saya akan membuka Filipina bagi mereka untuk melakukan bisnis, aliansi perdagangan dan perdagangan,” ujar Duterte.
Mata uang Peso Filipina jatuh pada hari Senin ke level terendah sejak 2009, dan para investor asing telah “membuang” saham lokal selama enam minggu berturut-turut. Kondisi itu dipicu retorika Duterte yang anti-AS.
Di Washington, juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Mark Toner, mengatakan Pemerintah Filipina tidak menghubungi AS tentang komentar yang dibuat oleh Duterte.
”Mereka bangsa yang berdaulat dan kita pasti tidak akan menahan mereka kembali mengejar hubungan yang lebih erat dengan salah satu dari negara-negara itu. Ini bukan zero-sum game,” ujarnya.
Duterte selama ini menghujat AS dan Presiden Barack Obama dengan ucapan-ucapan kotor. Reaksi Duterte itu dipicu oleh kritik AS atas perang narkoba di Filipina yang memakan banyak korban jiwa, baik pengedar maupun pengguna.
AS, PBB, Uni Eropa dan kelompok HAM kompak mengkritik pelanggaran HAM dalam perang narkoba yang dikobarkan Duterte di Filipina.
Filipina sudah lama jadi sekutu AS, di mana pasukan militer AS sudah lama ditempatkan di wilayah Filipina.
Pekan lalu, Duterte menyatakan, dia akan mengunjungi China—negara yang bersengketa dengan Filipina atas klaim wilayah Laut China Selatan. Kali ini, Duterte mengatakan bahwa Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev sudah mengharapkan dia berkunjung ke Moskow.
”Saya siap untuk tidak benar-benar break soal hubungan (dengan AS), tapi kami akan membuka aliansi dengan Cina dan ... Medvedev,” kata Duterte kepada wartawan, seperti dikutip Reuters, Selasa (27/9/2016).
Presiden Filipina ini menyambut investasi dan mengabaikan kekhawatiran lembaga pemeringkat Standard and Poor yang pada pekan lalu menyatakan kondisi ekonomi Filipina yang mulai goyah.
”Sudahlah tentang peringkat," katanya. "Saya akan membuka Filipina bagi mereka untuk melakukan bisnis, aliansi perdagangan dan perdagangan,” ujar Duterte.
Mata uang Peso Filipina jatuh pada hari Senin ke level terendah sejak 2009, dan para investor asing telah “membuang” saham lokal selama enam minggu berturut-turut. Kondisi itu dipicu retorika Duterte yang anti-AS.
Di Washington, juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Mark Toner, mengatakan Pemerintah Filipina tidak menghubungi AS tentang komentar yang dibuat oleh Duterte.
”Mereka bangsa yang berdaulat dan kita pasti tidak akan menahan mereka kembali mengejar hubungan yang lebih erat dengan salah satu dari negara-negara itu. Ini bukan zero-sum game,” ujarnya.
Duterte selama ini menghujat AS dan Presiden Barack Obama dengan ucapan-ucapan kotor. Reaksi Duterte itu dipicu oleh kritik AS atas perang narkoba di Filipina yang memakan banyak korban jiwa, baik pengedar maupun pengguna.
AS, PBB, Uni Eropa dan kelompok HAM kompak mengkritik pelanggaran HAM dalam perang narkoba yang dikobarkan Duterte di Filipina.
Credit Sindonews