Enam pemimpin negara dunia itu di forum PBB menyoroti pelanggaran HAM di Papua Barat dan Papua serta mendukung Papua Barat menentukan nasibnya sendiri. Oleh Nara, sikap enam pemimpin itu sebagai intervensi terhadap urusan dalam negeri Indonesia dan dukungan terhadap sparatis.
Enam pemimpin yang dihadapi diplomat cantik ini adalah Presiden Nauru, Presiden Marshall Island, serta empat Perdana Menteri dari Vanuatu, Solomon Island, Tuvalu dan Tonga.
Pidato Nara dalam bahasa Inggris yang melawan enam pemimpin dunia itu telah beredar di YouTube. Berikut terjemahan pidato Nara selengkapnya.
"Bapak Presiden,
Indonesia hendak menggunakan hak jawab kami terhadap penyataan yang disampaikan Perdana Menteri Kepulauan Solomon dan Vanuatu. Juga disuarakan Nauru, Kepulauan Marshall, Tuvalu dan Tonga terkait masalah-masalah di Papua, provinsi di Indonesia.
Indonesia terkejut mendengar di sidang yang penting ini, di mana para pemimpin bertemu di sini untuk membahas implementasi awal SDGs (The Sustainable Development Goals).
Transformasi dari tindakan kolektif kita, dan tantangan global lainnya seperti perubahan iklim, di mana negara Pasifik yang akan paling terdampak.
Para pemimpin tersebut memilih untuk melanggar piagam PBB dengan mengintervensi kedaulatan negara lain dan melanggar integritas teritorialnya.
Kami menolak mentah-mentah sindiran terus menerus dalam pernyataan mereka.
Itu jelas mencerminkan ketidakpahaman mereka terhadap sejarah situasi saat ini dan perkembangan progresif di Indonesia, termasuk di Provinsi Papua dan Papua Barat, serta manuver politik yang tidak bersahabat dan retoris.
Pernyataan bernuansa politik mereka itu dirancang untuk mendukung kelompok-kelompok separatis di provinsi-provinsi tersebut, yang konsisten mengganggu ketertiban umum dan melakukan serangan teroris bersenjata terhadap masyarakat sipil dan aparat keamanan.
Pernyataan negara-negara itu benar-benar melanggar tujuan piagam HAM PBB dan melanggar prinsip hukum internasional tentang relasi persahabatan antarnegara serta kedaulatan dan integritas teritori suatu negara.
Saya ulangi, itu sudah melanggar kedaulatan dan integritas teritori suatu negara.
Hal itu sangat disesalkan dan berbahaya bagi negara-negara untuk menyalahgunakan PBB, termasuk Sidang Majelos Umum PBB ini.
Negara-negara ini sudah menggunakan Majelis Umum PBB untuk mengajukan agenda domestik mereka. Dan bagi beberapa negara untuk mengalihkan perhatian dari pesoalan politik dan persoalan sosial di negara mereka.
Negara-negara itu juga menggunakan informasi yang salah dan mengada-ada sebagai landasan pernyataan mereka. Sikap negara-negara tersebut meremehkan Piagam PBB dan membahayakan kredibilitas forum ini.
Tuan Presiden,
Komitmen Indonesia terhadap HAM tak perlu dipertanyakan lagi. Indonesia adalah pendiri Dewan HAM PBB.
Indonesia sudah menjadi anggota dewan tersebut selama tiga periode dan saat ini menjadi anggota untuk keempat kalinya.
Indonesia adalah penggagas komisi HAM antarpemerintah ASEAN dan komisi independen permanen OIC.
Indonesia sudah meratifikasi delapan dari sembilan instrumen utama HAM, semuanya terintegrasi dalam sistem hukum nasional kami dibanding hanya empat oleh negara Kepulauan Solomon, dan lima oleh negara Vanuatu.
Indonesia ada di antara segelintir negara yang memiliki Rencana Aksi Nasional HAM. Dan saat ini generasi keempat dari rencana tersebut dari 2015 sampai 2019.
Indonesia memiliki Komnas HAM yang aktif dan kuat sejak 1993, masyarakat sipil yang aktif dan bebas.
Indonesia juga merupakan negara demokrasi yang dewasa di dalam fungsi-fungsinya. Dengan demokrasi yang begitu dinamis bersama dengan komitmen sangat tinggi terhadap promosi dan perlindungan HAM di semua level, hampir-hampir mustahil pelanggaran HAM terjadi tanpa diketahui dan diperiksa.
Indonesia juga merupakan negara demokrasi yang dewasa di dalam fungsi-fungsinya, bersama dengan komitmen sangat tinggi terhadap promosi dan perlindungan HAM di semua level, hampir-hampir mustahil pelanggaran HAM terjadi tanpa diketahui dan diperiksa.
Bapak Presiden,
Kami tegaskan kembali ada mekanisme domestik di tingkat nasional di Indonesia, juga di tingkat provinsi di Papua dan Papua Barat. Indonesia akan terus memberi fokus yang tepat pada pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat dan untuk kepentingan terbaik bagi semua.
Sebagai kesimpulan, Tuan Presiden, ada pepatah di kawasan Asia Pasifik yang mengatakan, "Ketika seseorang menunjukkan jari telunjuknya pada orang lain, jari jempolnya otomatis menunjuk pada wajahnya sendiri. Terima kasih."
Credit Sindonews
Diplomat Cantik Indonesia Ini "Tampar" 6 Pemimpin Negara
NEW YORK
- Nara Rakhmatia, diplomat muda Indonesia berhasi mencuri perhatian
dalam sidang PBB di New York. Perempuan cantik yang akan genap berusia
34 tahun pada Desember nanti itu berhasil membungkam tudingan dari
sejumlah kepala negara di Kepulauan Pasifik terkait kondisi HAM di Papua
dan Papua Barat.
Dalam sidang PBB tersebut enam negara Kepualauan Pasifik—Vanuatu, Solomon Island, Tonga, Nauru, Marshall Island dan Tuvalu yang blak-blakan menyatakan keprihatinan tentang pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua. Negara-negara itu di forum PBB menyerukan kebebasan bagi Papua Barat untuk menentukan nasibnya sendiri.
"Pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat dan mengejar untuk menentukan nasib sendiri bagi Papua Barat adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Banyak laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat yang menekankan penguatan hak untuk menentukan nasib sendiri, yang menghasilkan pelanggaran HAM langsung oleh Indonesia dalam upaya untuk meredakan segala bentuk oposisi," kata Perdana Menteri Solomon Island, Manasye Sogavare pada Sidang PBB Senin (26/9/2016) lalu.
Sedangkan Presiden Marshall Island, Hilda Heine, mendesak Dewan HAM PBB untuk melakukan penyelidikan yang kredibel atas pelanggaran di Papua Barat.
Diserang dengan tudingan tersebut, Nara tidak gentar. Alumnus perguruan tinggi negeri ibukota itu menjawab tudingan tersebut dengan tegas dan berani. ”Para pemimpin yang sama memilih bukan untuk melanggar Piagam PBB dengan mencampuri kedaulatan negara lain dan melanggar integritas teritorialnya,” kata Nara.
“Laporan bermotif politik mereka rancang untuk mendukung kelompok-kelompok separatis di provinsi tersebut (Papua Barat dan Papua) yang telah secara konsisten terlibat dalam menghasut kekacauan publik dan melakukan serangan teroris bersenjata,” tukas Nara.
Apa yang dilakukan oleh Nara ini jelas-jelas menampar para pemimpin negara-negara itu. Pasalnya, jawaban atas segala tudingan yang dialamatkan ke Indonesia itu meluncur dari seorang Diplomat Junior.
Nara Rakhmatia Masista adalah jebolan Sekolah Departemen Luar Negeri dan lulus pada tahun 2008. Ia sempat mengecam pendidikan di FISIP UI jurusan Hubungan Internasional dan lulus pada tahun 2002. Sebelum memutuskan bergabung dengan Kementerian Luar Negeri, Nara menghabiskan waktunya menjadi peneliti di CERIC (Center for Research on Inter-group Relations and Conflict Resolution) dan juga Center for East Asia Cooperation Studies.
Setelah bergabung dengan Kementerian Luar Negeri, Nara ditempatkan di Direktorat Kerjasama Antar Kawasan pada Direktorat Jenderal Urusan Asia Pasifik dan Afrika. Di Kemlu, spesialisasi Nara nampaknya adalah Organisasi Kerjasama Ekonomi Asia Pasific APEC dan sempat menjabat Head of Section for The Budget and Management Committee (BMC) APEC sebelum dikirim ke New York.
Dalam sidang PBB tersebut enam negara Kepualauan Pasifik—Vanuatu, Solomon Island, Tonga, Nauru, Marshall Island dan Tuvalu yang blak-blakan menyatakan keprihatinan tentang pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua. Negara-negara itu di forum PBB menyerukan kebebasan bagi Papua Barat untuk menentukan nasibnya sendiri.
"Pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat dan mengejar untuk menentukan nasib sendiri bagi Papua Barat adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Banyak laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat yang menekankan penguatan hak untuk menentukan nasib sendiri, yang menghasilkan pelanggaran HAM langsung oleh Indonesia dalam upaya untuk meredakan segala bentuk oposisi," kata Perdana Menteri Solomon Island, Manasye Sogavare pada Sidang PBB Senin (26/9/2016) lalu.
Sedangkan Presiden Marshall Island, Hilda Heine, mendesak Dewan HAM PBB untuk melakukan penyelidikan yang kredibel atas pelanggaran di Papua Barat.
Diserang dengan tudingan tersebut, Nara tidak gentar. Alumnus perguruan tinggi negeri ibukota itu menjawab tudingan tersebut dengan tegas dan berani. ”Para pemimpin yang sama memilih bukan untuk melanggar Piagam PBB dengan mencampuri kedaulatan negara lain dan melanggar integritas teritorialnya,” kata Nara.
“Laporan bermotif politik mereka rancang untuk mendukung kelompok-kelompok separatis di provinsi tersebut (Papua Barat dan Papua) yang telah secara konsisten terlibat dalam menghasut kekacauan publik dan melakukan serangan teroris bersenjata,” tukas Nara.
Apa yang dilakukan oleh Nara ini jelas-jelas menampar para pemimpin negara-negara itu. Pasalnya, jawaban atas segala tudingan yang dialamatkan ke Indonesia itu meluncur dari seorang Diplomat Junior.
Nara Rakhmatia Masista adalah jebolan Sekolah Departemen Luar Negeri dan lulus pada tahun 2008. Ia sempat mengecam pendidikan di FISIP UI jurusan Hubungan Internasional dan lulus pada tahun 2002. Sebelum memutuskan bergabung dengan Kementerian Luar Negeri, Nara menghabiskan waktunya menjadi peneliti di CERIC (Center for Research on Inter-group Relations and Conflict Resolution) dan juga Center for East Asia Cooperation Studies.
Setelah bergabung dengan Kementerian Luar Negeri, Nara ditempatkan di Direktorat Kerjasama Antar Kawasan pada Direktorat Jenderal Urusan Asia Pasifik dan Afrika. Di Kemlu, spesialisasi Nara nampaknya adalah Organisasi Kerjasama Ekonomi Asia Pasific APEC dan sempat menjabat Head of Section for The Budget and Management Committee (BMC) APEC sebelum dikirim ke New York.
Credit Sindonews